Idul Fitri, Gestapu, dan Amanat Politik Orde Baru
Momentum Idul Fitri juga menjadi kesempatan yang digunakan para pemimpin negeri menyampaikan keputusan dan langkah politiknya. Hal ini dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto dalam momen Lebaran.
”Di dalam masjid ini aku berkata, aku tidak bisa memberi saya punya political solution.” (Soekarno, 25 Januari 1966)
Kegundahan ini disampaikan oleh Presiden Soekarno saat shalat Idul Fitri di Masjid Baitul Rachim di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Saat itu, Selasa pagi, Soekarno menyampaikan banyak keluh kesah tentang situasi politik yang tak menentu, terutama setelah gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan sebutan Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Pada masa itu, gerakan ini juga disebut sebagai Gestok atau Gerakan Satu Oktober.
Upaya penuntasan kasus ini secara politik sulit untuk dilakukan mengingat besarnya guncangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Padahal, untuk melakukan penyelesaian politik atau yang disebut oleh Soekarno sebagai political solution, butuh situasi yang tenang, sehingga keputusan politik yang diambil tidak memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial dan ekonomi bangsa.
Soekarno sendiri telah beberapa kali meminta kepada berbagai lapisan dan kelompok masyarakat untuk dapat tenang. Namun, imbauan ini berbuah kondisi yang sebaliknya. Gelombang demonstrasi justru terjadi yang menambah pelik situasi. Beberapa di antaranya meminta agar pemerintah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dianggap berada di balik peristiwa Gestapu.
”Aku berulang-ulang meminta tenang, tenang. Dan, apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam,” keluh Soekarno (Kompas, 26 Januari 1966).
Di tengah kecamuk situasi politik, Soekarno pun memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk meminta masyarakat agar kembali tenang. Publik juga diminta untuk ikut serta berkontribusi dalam membantu penyelesaian politik terkait kekacauan yang terjadi. ”Kalau belum tenang, saya tidak akan memberikan political solution,” ujar Soekarno menegaskan.
Keputusan Soekarno untuk memanfaatkan momen Idul Fitri membahas persoalan politik di Indonesia bukanlah hal yang pertama dilakukan. Hal ini telah dicoba pada momen-momen Idul Fitri sebelumnya. Bahkan, momen ini pernah dimanfaatkan oleh Soekarno untuk menyampaikan pesan politiknya pada periode revolusi.
Persatuan dan pembangunan
Strategi Soekarno memanfaatkan momen Idul Fitri untuk menyampaikan pesan politik dari pemerintahan kepada masyarakat juga diikuti oleh Soeharto. Namun, konteks pesan yang disampaikan berbeda.
Jika Soekarno fokus pada semangat revolusi dan upaya penyelesaian persoalan politik, pada era Soeharto momen Idul Fitri dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan yang bermuatan persatuan dan pembangunan.
Pemanfaatan momen Idul Fitri untuk menyampaikan pesan politik ini dilakukan secara rutin oleh Soeharto, khususnya pada lima tahun pertama periode pemerintahan. Soeharto mencoba menggunakan momen yang sakral ini untuk memupuk rasa persatuan dan menggalang dukungan sosial dalam proyek pembangunan yang dilakukan.
Narasi pembangunan telah disampaikan oleh Soeharto dalam pidatonya sejak tahun pertama masa jabatan Soeharto sebagai kepala negara. Dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri di halaman Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Desember 1968, Soeharto mengimbau masyarakat untuk memerangi kemiskinan melalui pembangunan.
Narasi serupa juga disampaikan oleh Soeharto pada tahun 1970. Soeharto sekali lagi menyampaikan kepada masyarakat dalam pidatonya saat shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, untuk bertanggung jawab mengatasi kemiskinan melalui program pembangunan.
Dari beberapa pidato yang disampaikan saat Idul Fitri pada lustrum pertama periode pemerintahan, Soeharto tampak ingin membangun narasi bahwa kemiskinan, yang juga memperoleh perhatian khusus dalam ajaran Islam, dapat diatasi melalui program pembangunan. Narasi ini secara berulang disampaikan dalam momen sakral yang disebarkan kepada seluruh penjuru Indonesia melalui berbagai media massa saat itu.
Jika menengok suasana zaman, wajar jika narasi kemiskinan dan pembangunan menjadi hal utama yang disampaikan oleh Soeharto dalam pidatonya ketika shalat Idul Fitri. Pasalnya, pada lustrum pertama era pemerintahan Soeharto dasar-dasar pembangunan mulai dirancang. Program ini diyakini dapat bermanfaat untuk memperbaiki ekonomi Indonesia sehingga berdampak pada perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan, pesan pentingnya pembangunan juga diiringi oleh permintaan Soeharto kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan narasi bahwa pembangunan tidak membuahkan hasil. Menurut Soeharto dalam pidatonya pada perayaan Idul Fitri 1974 di Masjid Istiqlal, Jakarta, tindakan ini merupakan ”sikap yang ingkar akan nikmat karunia Allah SWT”.
Selain menancapkan gagasan pembangunan di tengah-tengah ruang publik, momen Idul Fitri juga dimanfaatkan oleh Soeharto untuk membangun persatuan setelah sempat terkoyak dalam peristiwa Gestapu. Narasi persatuan sering kali didengungkan oleh Soeharto di tengah-tengah puluhan ribu masyarakat Ibu Kota yang memadati Masjid Istiqlal.
Pesan persatuan ini salah satunya disampaikan oleh Soeharto dalam perayaan momen Idul Fitri pada Desember 1969. Dalam pidatonya, Soeharto menekankan pentingnya persatuan untuk kemajuan bangsa.
Lahirnya pesan persatuan pada shalat Idul Fitri tidak terlepas dari situasi sosial saat itu yang belum stabil. Guna mengembalikan rasa tenang dan kepercayaan kepada masyarakat, Soeharto tampak menggunakan momen yang sakral ini untuk menyampaikan pesan-pesan persatuan di tengah-tengah rakyat Indonesia.
Selain politik pembangunan dan pesan persatuan, momen Idul Fitri juga dimanfaatkan oleh Soeharto untuk memberikan pandangan tentang sikap politik luar negeri Indonesia. Hal ini salah satunya dilakukan pada tahun 1973.
Dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara Arab, Soeharto menyatakan dukungannya pada Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Timur Tengah. Saat itu, kondisi di Timur Tengah memang tengah berkecamuk antara negara-negara Arab dan Israel.
Baca juga : Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial
Momentum
Jika menengok momen yang digunakan, tampak baik Soekarno maupun Soeharto ingin memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk menyampaikan pesan dan sikap politik.
Dalam komunikasi politik, kedua tokoh bangsa ini berusaha memanfaatkan momentum psikologis dari masyarakat Indonesia sebagai penerima pesan. Momen sakral, yang biasanya identik dengan ketenangan, kedamaian, dan rasa kekeluargaan, coba untuk dimanfaatkan untuk menyampaikan berbagai pesan agar mudah diterima oleh masyarakat.
Selain pertimbangan psikologis, posisi umat Islam dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia juga turut menjadi faktor pendorong bagi kepala negara untuk memilih momen hari raya keagamaan dalam menyampaikan pesan politik. Dengan fakta ini, wajar jika Idul Fitri dimanfaatkan sebagai momentum untuk menyampaikan ragam pandangan dan sikap politik pemerintah.
Meskipun tidak secara rutin, strategi ini masih dilakukan oleh sejumlah kepala negara pada periode pemerintahan berikutnya dalam beberapa momen. Namun, pesan yang disampaikan tidak lagi terfokus pada sikap politik, tetapi pesan moral seperti persatuan dan persaudaraan sesuai momen keagamaan yang dirayakan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?