Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial
Sejarah merekam Ramadhan menjadi momen yang dinantikan oleh warga berabad-abad silam. Ramadhan juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memuluskan ragam siasat politik.
Sama seperti saat ini, Ramadhan adalah momen yang dinantikan oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam setelah berkembangnya Islam di Kepulauan Nusantara. Momen ini terkadang juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memuluskan ragam siasat politik.
Puasa bukanlah tradisi baru bagi masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kebiasaan untuk menahan diri dari makan, minum, atau segala sesuatu yang disukai telah dilakukan pada era autokrasi atau kerajaan.
Jejak ini salah satunya terlihat dari sumpah yang disampaikan oleh Amangkubumi Majapahit Gajah Mada atau yang dikenal dengan sebutan Sumpah Palapa. Dalam sumpahnya, Gajah Mada berjanji akan menyatukan Nusantara sebelum mengakhiri puasa. Sumpah ini berbunyi ”lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa”.
Banyak tafsir dari para sejarawan tentang pengertian amukti palapa. Sebagian mengartikannya sebagai puasa dari berbagai bahan makanan. Artinya, Gajah Mada diperkirakan hanya memakan bahan makanan tertentu untuk melaksanakan sumpahnya. Konsep ini juga dikenal dengan sebutan puasa mutih dalam istilah Jawa.
Apa pun pengertiannya, konsep menahan diri atau berpuasa terlihat telah dilakukan sejak abad ke-14 Masehi sesuai dengan tahun pengucapan sumpah palapa. Bisa jadi, konsep ini telah dilakukan dalam wujud pertapaan pada periode kerajaan sebelumnya. Dengan tradisi dan jejak sejarah yang dimiliki, wajar jika puasa mudah diterima oleh masyarakat saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara.
Awal Ramadhan
Seiring perkembangan Islam di wilayah kepulauan Nusantara, semakin banyak masyarakat yang melakukan ibadah puasa. Bulan Ramadhan pun menjadi hal yang dinantikan oleh umat Islam, termasuk saat Indonesia berada di bawah penguasaan pemerintah kolonial Belanda.
Penantian bulan Ramadhan ini terkadang juga diselingi oleh perselisihan tentang penentuan awal puasa. Hal ini pernah terjadi di Batavia pada tahun 1868. Saat itu, puasa mulai dilakukan pada bulan Desember.
Perdebatan untuk menentukan awal bulan puasa di Batavia terjadi antara kelompok yang menganjurkan penggunaan metode rukyat dan hisab. Metode rukyat dilakukan dengan cara mengamati hilal atau bulan sabit tipis untuk menentukan awal puasa. Sementara dengan metode hisab, awal puasa ditentukan dengan menggunakan tabel astronomi.
Untuk menyikapi perbedaan ini, ulama terkemuka saat itu, Sayid Usman, diminta memberikan penjelasan dan saran untuk menentukan awal puasa. Pada saat itulah Sayid Usman membuat sebuah tulisan berjudul al-Qawl al-shawab yang berarti pernyataan yang benar.
Berdasarkan tulisan ini, kedua belah pihak bersepakat untuk menentukan awal puasa dengan menggunakan metode rukyat. Keputusan ini terus diterapkan selama 14 tahun tanpa menimbulkan perpecahan.
Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Nico JG Kaptein, dalam bukunya berjudul Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia-Belanda: Biografi Sayid Usman 1822-1914 (2017) mengungkapkan bahwa perdebatan penentuan awal Ramadhan kembali muncul pada tahun 1882. Perdebatan ini timbul karena pengamatan hilal menghasilkan dua pandangan yang berbeda.
Satu orang pengamat saat itu mengaku melihat hilal, sementara pengamat lainnya menyatakan tidak melihat hilal. Sebagai jalan tengah, Sayid Usman kembali diminta pandangannya. Pada kondisi inilah kembali muncul karya dari Sayid Usman untuk menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh saksi untuk melihat hilal. Karya ini ditulis dengan bahasa Melayu dan judul bahasa Arab, yakni Tawdhih al-adillah ’ala syuruth syuhud al-ahillah.
Selain di Batavia, penentuan awal puasa juga menjadi hal yang dinantikan oleh masyarakat Aceh. Hal ini terekam dalam catatan Snouck Hurgronje, seorang kaki tangan Belanda, saat melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat di Aceh pada tahun 1891 hingga 1892.
Ulama di Aceh kala itu juga terbagi dua dalam menentukan awal mula Ramadhan. Metode hisab telah digunakan oleh ulama yang memahami ilmu falak berbasis prinsip astronomi Arab pada abad pertengahan. Sementara metode rukyat digunakan oleh sebagian ulama jika kondisi langit dalam keadaan cerah.
Menurut catatan Hurgronje, saat itu telah terdapat kebijakan dari para sultan di Aceh untuk menentukan awal Ramadhan. Dewan ulama bertugas untuk menentukan awal Ramadhan pada Jumat terakhir di bulan Syakban (bulan sebelum Ramadhan).
Hasil keputusan penentuan awal puasa diumumkan melalui suara tembakan senjata pada hari sebelum puasa. Hurgronje, dalam laporannya yang kembali diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (2019), menemukan bahwa suara tembakan senjata menjadi sumber penyebaran informasi bagi masyarakat Aceh pada akhir abad ke-19 untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Baca juga: Lebaran di Era Kolonial: Dari Beduk hingga Ketupat Dadakan
Kepentingan politik
Di tengah antusiasme masyarakat dan adanya perbedaan pandangan untuk menentukan awal Ramadhan, hal lainnya yang menarik untuk dicermati adalah kepentingan politik pemerintah kolonial di tengah pelaksanaan puasa Ramadhan. Lahirnya sejumlah kebijakan itu sulit untuk dilepaskan dari keinginan pemerintah kolonial untuk menancapkan kepentingannya di tengah-tengah masyarakat pribumi.
Kepentingan politik ini salah satunya terlihat dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1830. Saat itu, Perang Diponegoro enggan melanjutkan peperangan sepanjang bulan Ramadhan. Hal ini pun diungkapkan oleh Pangeran Diponegoro kepada perwakilan angkatan perang Belanda.
Sepanjang bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya fokus untuk melakukan ibadah. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyusun strategi guna meluluhkan perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro dan sekitar 800 anggota pasukannya.
Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda untuk mendekati Diponegoro. Tujuannya agar Diponegoro bersama pasukannya tersentuh dengan segala hal yang dilakukan oleh Belanda sehingga dapat menyerah tanpa syarat. Serangan langsung enggan dilakukan oleh Belanda untuk menghindari pertempuran mengingat banyaknya pasukan yang dimiliki oleh Diponegoro.
Salah satu upaya pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengizinkan keluarga untuk bergabung dengan Diponegoro selama menjalankan ibadah puasa. Menurut sejarawan Inggris, Peter Carey, dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2017), beberapa anggota keluarga yang diizinkan bergabung di antaranya putri, putra, hingga ibu dari Diponegoro.
Diponegoro bahkan pernah dikunjungi secara langsung oleh Jenderal De Kock, tokoh militer dan pemerintahan Hindia Belanda. Pertemuan ini dilakukan secara santai antara kedua pihak. Bahkan, baik Diponegoro maupun De Kock saling bertukar cerita dalam pertemuan itu.
Namun, berdasarkan keterangan dari Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang diselundupkan ke rombongan Diponegoro, Belanda memperoleh informasi bahwa Diponegoro tetap tidak bersedia menyerah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda menyusun strategi dua hari jelang berakhirnya bulan Ramadhan untuk menangkap Diponegoro
Pada akhirnya, Diponegoro berhasil ditangkap pada pekan pertama bulan Syawal atau beberapa hari setelah berakhirnya bulan Ramadhan. Penangkapan ini memang menimbulkan sekelumit pertanyaan, seperti, apakah Diponegoro tidak menyadari siasat politik Belanda sebelum penangkapan? Terlepas dari pertanyaan dan peristiwa penangkapan, yang jelas, bulan Ramadhan telah dimanfaatkan oleh Belanda untuk memuluskan siasat politiknya dalam Perang Jawa.
Siasat politik lainnya dilakukan oleh pemerintah kolonial pada ranah pendidikan, yakni dengan memberikan libur sekolah kepada para pelajar setelah penerapan politik etis pada medio awal abad ke-20. Kebijakan ini dilakukan untuk memberikan kesempatan berpuasa kepada para pelajar.
Menurut Mahbub Djunaidi, cendekiawan dan sastrawan Indonesia, libur diberikan selama satu bulan penuh kepada para pelajar. Lahirnya kebijakan ini sulit untuk dilepaskan dari saran Snouck Hurgronje agar pemerintah kolonial berhati-hati untuk menyentuh ranah agama jika tidak ingin memiliki banyak urusan dengan pribumi. Artinya, kebijakan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah kolonial untuk mengambil hati penduduk Hindia Belanda (Kompas, 8 Maret 1992).
Meski diwarnai oleh perdebatan dan hasrat politik pemerintah kolonial, bulan Ramadhan tetap dinikmati oleh setiap umat Islam dengan beragam perjuangan. Usai lepas dari praktik kolonialisme, bulan Ramadhan harus dilalui dengan perjuangan revolusi pada lustrum pertama kemerdekaan Indonesia, bagaimana kisahnya? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya: Ramadhan, Bung Karno, dan Perjuangan Revolusi