Di era ketika Google dan Facebook mendominasi pendapatan iklan di ranah digital, masa depan media daring (online) akan ditentukan oleh kemauan pembaca untuk membayar.
Oleh
Mahatma Chryshna
·5 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Tampilan laman berita digital berbayar The New York Times yang menawarkan konten-konten premium. Media ini memiliki jumlah pelanggan digital terbanyak di dunia, 3,8 juta orang, pada kuartal III tahun 2019.
Seperti demokrasi, masa depan jurnalisme berada di tangan rakyat. Di era ketika Google dan Facebook mendominasi pendapatan iklan di ranah digital, masa depan media daring (online) akan ditentukan oleh kemauan pembaca untuk membayar.
Industri media cetak di dunia, kini mengalami kecenderungan penurunan pendapatan sistemik. Hampir semua media cetak dunia saat ini berjuang untuk mampu bertahan di tengah disrupsi teknologi digital. Fakta pahit ini dialami baik oleh media-media lokal, nasional, bahkan internasional sekalipun.
Persoalannya sudah banyak dipahami, pendapatan iklan di media cetak menurun, sedangkan pendapatan iklan di media digital belum dapat diandalkan. Pendapatan iklan di kancah media digital masih didominasi raksasa teknologi Amerika Serikat, Google dan Facebook.
Oleh karena itu, muncullah model bisnis baru bagi media cetak demi bertahan hidup, yakni dengan model berlangganan. Model bisnis ini mengharuskan pembaca membayar sejumlah uang agar dapat menikmati layanan informasi di portal media.
Sebagai imbalan, pembaca yang telah membayar akan menikmati berbagai keuntungan. Selain berita tanpa gangguan iklan, pelanggan dapat menikmati sajian-sajian khusus yang disebut sebagai ”konten premium”.
Tren stagnasi
Bagaimana perkembangan pelanggan berita berbayar di media digital saat ini? Apa yang ditawarkan oleh media daring ”premium” tersebut?
Hasil penelitian Reuters Institute Digital News Report 2019 menunjukkan bahwa sepanjang 2013 hingga 2019, telah terdapat stagnasi jumlah pelanggan media berbayar di AS, Eropa, dan Jepang.
Proporsi terbesar pelanggan media digital dalam suatu negara masih dikuasai AS dengan proporsi di angka 16 persen sepanjang tahun 2017-2019. Dari segi pertumbuhan pelanggan, rata-rata mencapai 6 persen pelanggan dari tahun 2013 hingga 2019.
Stagnasi jumlah pelanggan juga dapat dilihat dari rata-rata proporsi pelanggan berita daring berbayar di sembilan negara terpilih dalam penelitian tersebut. Sembilan negara tersebut meliputi AS, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Jerman, Denmark, Jepang, dan Finlandia.
Pada 2013, rata-rata proporsi pengguna berita daring berbayar di sembilan negara di atas berada di angka 11 persen. Kenaikan sempat terjadi pada tahun 2018 dengan proporsi 12 persen. Namun, pada 2019, angkanya turun lagi menjadi 11 persen.
Walaupun secara umum terjadi stagnasi jumlah pelanggan media daring berbayar, terdapat juga pertumbuhan yang signifikan di Norwegia dan Swedia. Pada 2019, proporsi pelanggan media berbayar di Norwegia berada di angka 34 persen.
Angka ini naik 7 persen dari proporsi tahun 2016. Jumlah kenaikan serupa terjadi di Swedia dengan proporsi 20 persen pada 2016 menjadi 27 persen pada tahun 2019.
Adanya pertumbuhan jumlah pelanggan di beberapa negara menunjukkan bahwa tren stagnasi bukanlah jalan buntu bagi industri media digital. Artinya, walaupun secara umum proporsinya cenderung stagnan, kenaikan secara jumlah pelanggan tetap saja terjadi.
Kisah sukses
Sesuai pemeringkatan yang dibuat jaringan media global FIPP pada 2018 dan 2019, ada kenaikan total jumlah pelanggan media digital di dunia, dari kisaran 10 juta pelanggan menjadi 19,5 juta pada tahun 2019.
Menurut laporan FIPP 2019, kenaikan jumlah pelanggan pada 2019 itu, kemungkinan akan melampaui prediksi yang pernah dibuat Deloitte, penyedia jasa jaringan internasional AS. Deloitte meramalkan bahwa pada akhir 2020, akan ada sekitar 20 juta pelanggan media digital.
Prediksi akhir 2020 tersebut kemungkinan akan terlampaui mengingat pada akhir 2019, angka tersebut sudah mencapai 19,5 juta.
Kekhasan pemeringkatan yang dibuat oleh FIPP ini, tak lain hanya mencantumkan pelanggan digital dari tiap media daring, tidak termasuk pelanggan cetak. Hal tersebut sengaja dipilih demi kepentingan penelitian konsumen di dunia digital.
The New York Times menjadi media dengan pelanggan digital terbesar pada 2019 dengan jumlah 3,8 juta pelanggan pada kuartal III tahun 2019. Jumlah tersebut naik 36 persen dari kuartal I tahun 2018 atau tercatat kenaikan 1 juta pelanggan.
Akan tetapi, kenaikan terbesar hampir 500 persen dialami oleh The Athletic pada kuartal III tahun 2019 dibandingkan kuartal I tahun 2018. Sejak kuartal II tahun 2019, situs berita olahraga yang berbasis di San Francisco tersebut telah melaporkan jumlah lebih dari 500 pelanggan pada pertengahan 2019. Jumlah itu mencapai lima kali lipat dari jumlah pelanggan mereka di kuartal I 2018.
Khusus The Guardian, mereka mencatatkan pertumbuhan 118 persen pada kuartal III 2019 dibandingkan kuartal IV 2017. Selain peningkatan yang signifikan, portal berita ini menggunakan model bisnis kontribusi dari para pembaca loyal.
Penelusuran jumlah pelanggan portal media digital menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah pelanggan dari berbagai media nasional di sejumlah negara, terutama di AS, Eropa, dan Jepang. Fakta ini memberikan harapan bagi industri media daring, yang bergantung pada kemauan pembaca untuk berlangganan dan membayar.
Demi kualitas
Fenomena pertumbuhan jumlah pelanggan itu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang ditawarkan media-media tersebut sehingga mendorong pertambahan pelanggan yang signifikan?
Salah satu contoh tawaran bagi pelanggan dapat dilihat dari sisi media dengan pelanggan digital terbesar di dunia, The New York Times. Media tersebut menawarkan lima alasan berlangganan bagi calon pelanggannya.
Pertama, liputan luas dari 140 negara. Kedua, jurnalis yang hadir di setiap peristiwa di dunia. Ketiga, melibatkan berbagai ahli di setiap bidang dalam setiap berita. Keempat, setiap cerita membawa masuk dalam peristiwa lebih dalam. Kelima, membantu menangkap gambaran besar suatu peristiwa.
Logika di balik tawaran The New York Times sederhana. Pemberitaan berkualitas membutuhkan dana yang besar karena melibatkan banyak jurnalis dan ahli di banyak negara. Mengingat keahlian dan profesi jurnalistik adalah hal yang layak dihargai, The New York Times menjadikannya tawaran bagi calon pelanggannya.
Bentuk lain yang juga khas dapat dilihat dari The Guardian. Situs berita ini mengampanyekan dukungan bagi jurnalisme investigatif yang independen. Independensi sebagai roh jurnalisme tidak dapat bertahan apabila tidak didukung oleh penikmat hasil laporan itu sendiri, yakni masyarakat umum. Oleh karena itu, demi keberlangsungan liputan yang mendalam dan independen, The Guardian mendorong kontribusi nyata dari masyarakat dari sisi finansial.
Produk jurnalisme bermutu akan berdampak langsung bagi kesehatan demokrasi. Hal itu sesuai dengan salah satu fungsi jurnalisme, yakni membuka ruang-ruang publik untuk memperdebatkan berbagai persoalan secara bebas.
Hal itu tampak dalam dukungan nyata warga AS dan Eropa dengan berlangganan dan mau membayar demi produk jurnalisme berkualitas. Pertanyaannya, bagaimana dengan di Indonesia? (LITBANG KOMPAS)