Film, Politik, dan Tokoh
Film tak berdiri tunggal sebagai sebuah produk budaya. Film juga tidak lepas sebagai media propaganda. Dalam perkembangannya, film juga menjadi alat transformasi dari generasi ke generasi.

Film Bumi Manusia.
Film tak berdiri tunggal sebagai sebuah produk budaya. Film juga tidak lepas sebagai media propaganda. Dalam perkembangannya, film juga menjadi alat transformasi dari generasi ke generasi.
Pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah 2018, Komisi Pemilihan Umum pernah melarang film Dilan 1991 ditayangkan di stasiun televisi hingga hari pemungutan suara Pilkada 2018 tiba, 27 Juni 2018. Larangan ini muncul karena film layar lebar tersebut dibintangi oleh calon gubernur Pilkada 2018 Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Saat itu KPU beralasan, larangan ini terkait aturan kampanye di pilkada. Salah satunya mengatur setiap calon tidak boleh menggelar kampanye berupa sandiwara di lembaga penyiaran publik atau swasta tanpa dibiayai penyelenggara pemilu. Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye mencantumkan dengan jelas definisi iklan kampanye.
Iklan kampanye didefinisikan sebagai berikut, āpenyampaian pesan kampanye melalui media cetak dan elektronik berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, bentuk lainnya yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai APBDā.
Jadi, film Dilan 1991 tidak masuk kategori difasilitasi oleh penyelenggara pemilu, maka otomatis dilarang ditampilkan selama masa kampanye dan minggu tenang pilkada.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beserta para pemain film Dilan 1991 di Gedung Pakuan, Bandung, Minggu (24/2/2019).
Tulisan ini tentu tidak membahas soal larangan tersebut karena hasil pilkada kemudian menempatkan Ridwan Kamil terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat 2018-2023. Namun, tulisan ini lebih mengupas bagaimana film ternyata juga memiliki āperanā politik di masyarakat kita.
Mengutip Onong Uchjana Effendy (1986) dalam bukunya, Dimensi-Dimensi Komunikasi, film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu. Tentu, dimensi politik berpeluang menjadi isi pesan tersebut.
Berbicara pesan kekuasaan dalam film, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari film fenomenal pada era Orde Baru. Film berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI merupakan film propaganda Indonesia yang diproduksi 1984.
Baca juga: Film dan Candu Politik Para Penjajah
Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduseri oleh G Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Film ini disponsori oleh pemerintahan Soeharto dan dibuat berdasarkan versi resmi pemerintah.
Tentu, pada era Orde Baru, film ini menjadi tontonan wajib, bahkan secara masif melibatkan penonton dari semua pelajar, sekolah, yang dikondisikan untuk menonton bersama film ini, bahkan kemudian menjadi ritual tahunan dengan menayangkannya di televisi setiap akhir September.

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kiri) dan sejumlah jajaran perwira dan prajurit TNI dan Polri beserta masyarakat menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI di lapangan tenis indoor Markas Korem 061 Suryakencana, Bogor, Jumat (29/9/2017)
Tidak heran jika kemudian kita lihat di laman filmindonesia.or.id, film ini tercatat bertengger di nomor urut teratas dibandingkan dengan film-film yang diproduksi di tahun yang sama pada 1984 dengan jumlah penonton terbanyak mencapai 699.282 orang.
Meskipun banyak pihak memandang film ini sebagai propaganda, peneliti media dan pengajar jurnalisme Ashadi Siregar menyebut film Pengkhianatan G-30S-PKI ini tidak sepenuhnya film propaganda.
Menurut dia, film itu dikreasi dengan dramaturgi yang kuat, penggarapan estetis yang tinggi, dan pemeranan yang bagus. Menurut Ashadi, ada intensi estetika dalam film ini, tidak semata-mata mendukung propaganda (Kompas, 25/9/2017).
Baca juga: Menatap Masa Depan Film Indonesia di Ruang Digital
Film tokoh
Setelah kontroversi film Pengkhianatan G-30S-PKI ini, film bertema politik memang belum ada yang mampu menandingi popularitasnya. Namun, belakangan, setidaknya dalam lima belas tahun terakhir, film justru menjadi media transformasi jejak sejarah tokoh.
Banyak tokoh, umumnya memang bersentuhan dengan pergolakan politik di negeri ini, menjadi tema-tema film yang beredar di gedung-gedung bioskop di Indonesia.
Mulai dari 2005, muncul film Gie yang diperankan cukup apik oleh aktor Nicholas Saputra, sebelumnya dikenal sebagai pemeran Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta?. Gie adalah sebuah film yang mengisahkan pergulatan batin seorang aktivis mahasiswa pada era 1966.

Nama lengkapnya adalah Soe Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962ā1969 yang kerap menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto.
Gie, demikian ia biasa dipanggil, juga dikenal sebagai aktivis pencinta alam yang sering naik gunung. Ia meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969, pada usia yang relatif masih muda kala itu, 26 tahun.
Diangkatnya kisah Gie dalam layar lebar ini kemudian sedikit banyak memicu banyak orang penasaran siapa sosok ini. Apalagi, perannya dimainkan oleh Nicholas yang lagi naik daun. Buku-buku karya Soe Hok Gie pun banyak diburu ketika film ini tayang.
Untuk ukuran film bertema aktivis, dengan menyedot 350.000 penonton sudah lumayan meskipun masih sulit bersaing dengan film-film tema lainnya pada tahun yang sama.
Sosok tokoh lainnya yang kemudian menjadi tema film layar lebar adalah Sang Pencerah. Film ini relatif sukses menyedot perhatian penonton. Film garapan Hanung Bramantyo ini berkisah tentang perjalanan hidup pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Sosok Ahmad Dahlan yang diperankan oleh Lukman Sardi ini berhasil menyedot lebih kurang 1,1 juta penonton pada 2010 dan berhasil bertengger di peringkat pertama dengan jumlah penonton terbanyak di tahun tersebut.
Setelah film Sang Pencerah, animo masyarakat menonton film-film bertema tokoh cenderung menurun. Dua tahun kemudian, disusul kehadiran film Sang Kiai yang mengisahkan perjalanan dan perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asyari.

Salah satu adegan film Sang Kiai produksi Rapi Films.
Sayangnya, promosi film ini kurang begitu gencar dan tidak mampu menandingi perolehan jumlah penonton Sang Pencerah. Film Sang Kiai, di mana sosok KH Hasyim Asyari diperankan oleh aktor Ikranagara, ini hanya meraup jumlah penonton mencapai 234.207 orang.
Boleh jadi tidak banyaknya penonton yang diraih di film Sang Kiai tidak lepas dengan berbarengannya film ini dengan penayangan film Soekarno: Indonesia Merdeka pada tahun yang sama, 2013. Film yang mengisahkan perjalanan Soekarno ini mampu meraup 960.071 penonton dan berhasil menempati posisi ketiga dari 15 film peraih jumlah penonton terbanyak.
Saat itu posisi pertama diraih film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang meraih penonton 1.724.110 orang. Sementara Sang Kiai hanya berada di posisi ke-14 dari 15 besar film dengan raihan penonton terbanyak sepanjang 2013.
Drama politik
Selain era film tokoh, drama politik juga muncul menghiasi film-film nasional meskipun tetap saja rating film-film ini masih kalah jauh dengan film-film populer lainnya.
Tercatat ada sejumlah film bertema drama politik, di antaranya film Negeri Tanpa Telinga yang diproduksi tahun 2014. Meskipun dibintangi aktor kawakan Lukman Sardi, Teuku Rifnu Wikana, dan Ray Sahetapi, film ini hanya mampu meraup 8.102 penonton. Tercatat paling rendah dibandingkan dengan film-film bertema politik lainnya.
Bagaimanapun keberadaan film bertema politik akan tetap memiliki makna bagi penontonnya.
Film ini bercerita soal satire kemuakan rakyat atas situasi politik negeri yang dinarasikan dari tokoh bernama Naga, seorang tukang pijat spesialis politikus yang sering mendengar proyek-proyek petinggi negara itu. Karena benci dengan politik, Naga memilih menjadi tuli dengan merusak gendang telinganya.
Drama politik lainnya yang mencoba mengambil setting peristiwa gerakan reformasi 1998 berjudul Di Balik 98 relatif lebih beruntung dengan sukses mendulang 684.727 penonton. Film yang dibintangi oleh Chelsea Islan dan Boy William ini diproduksi tahun 2015 yang mengangkat peristiwa kerusuhan 1998 dengan adanya gerakan reformasi.
Meskipun demikian, film ini hanya mampu bertengger di posisi ke-7 dari 15 film yang tercatat paling banyak penonton. Tercatat tahun 2015 film Surga yang Tak Dirindukan menjadi film terbanyak penontonya dengan jumlah 1.523.617 orang.
Paling akhir dan fenomenal film bertema drama politik adalah film Bumi Manusia yang tayang 2019. Film ini mampu meraup 1.316.583 penonton, melebihi rekor film bertema sosok tokoh, Sang Pencerah.
Film yang dibintangi Iqbal Ramadhan dan Mawar de Jongh ini diilhami dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Film ini menceritakan sosok Minke, seorang pribumi yang lantang menentang diskriminasi Pemerintah Belanda.
Sayangnya, film ini, meskipun jumlah penontonya mencapai 1 juta lebih, masih kalah jauh dengan film-film populer drama lainnya, yakni Dilan 1991 yang di dalamnya juga muncul Ridwan Kamil sebagai salah satu pemeran. Film ini sukses meraih 5.253.411 penonton. Menariknya, film ini juga dibintangi oleh aktor yang sama di film Bumi Manusia, yakni Iqbal Ramadhan.
Tak pelak, film-film bertema politik sejatinya memiliki pasar tersendiri. Jejak perfilman Indonesia merekam bagaimana film juga menjadi media transformasi, terutama ketika menampilkan sosok-sosok tokoh, sehingga generasi masa depan memahami buah pikiran dan gagasan para tokoh bangsa tersebut.

Film Bumi Manusia.
Hal yang samaditemui pada film-film bertema drama politik yang mengambil setting sejarah bangsa yang memberikan makna dan cerita mendalam bagi penontonnya sehingga film politik memang tak bisa dibandingkan dengan film lainnya.
Bagaimanapun keberadaan film bertema politik akan tetap memiliki makna bagi penontonnya. Boleh jadi film politik memang tidak sekadar bisnis semata, tetapi ia memang memperjuangkan ide dan nilai agar film tak sekadar menjadi hiburan.
Film bertema politik hadir untuk āmelawanā dominasi konten-konten film yang mungkin lebih banyak menghibur penontonnya tanpa memberikan makna. Seperti halnya pernyataan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam kisah Bumi Manusia, āDengan melawan kita takkan sepenuh kalahā. (LITBANG KOMPAS)