Menatap Masa Depan Film Indonesia di Ruang Digital
Pelaku industri film harus memutar otak untuk mencari alternatif dari laku bisnis yang sebelumnya telah mapan. Pandemi membuat mereka melakukan banyak inovasi agar pasar film tetap terjaga.

Suasana di dalam teater sebelum penayangan film yang ditonton oleh Husen Husaeni, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Industri film menjadi salah satu yang paling keras dihantam oleh dampak pandemi Covid-19. Sekadar demi bertahan, segenap pelaku industri ini dipaksa memutar otak untuk mencari alternatif dari laku bisnis yang sebelumnya telah mapan.
Kerasnya hantaman pandemi Covid-19 terhadap industri film di Indonesia memang bukan isapan jempol belaka. Dari segi jumlah, pada 2020, hanya ada 58 film yang diproduksi.
Jika dibandingkan, angka ini bahkan tak sampai separuh dari jumlah film yang rilis setahun sebelumnya. Bahkan, hingga Maret 2021, kondisi ini pun tak banyak berubah, hanya ada 17 rilisan film.
Penurunan skala industri ini juga tampak dari perlambatan signifikan dari ekpansi bioskop dan layar selama 2020. Sebelumnya, selama 2018 hingga 2019 terjadi pertumbuhan jumlah bioskop sebanyak 71 dan 78 buah di seluruh Indonesia.
Tren ini juga terjadi dalam hal penambahan jumlah layar yang bertambah sebesar 276 dan 286 buah. Namun, selama 2020, hanya terdapat penambahan 10 buah bioskop dan 39 buah layar.
Melihat drastisnya penurunan ini, sulit agaknya berharap skala industri film di Indonesia bisa pulih hingga di level sebelum masa pandemi. Terlebih persoalan yang dihadapi oleh para pelaku industri beragam.
Tidak hanya harus beradaptasi dengan ketatnya aturan protokol kesehatan dan risiko kluster penularan saja, pelaku industri film juga dihadapkan pada perubahan pola konsumsi masyarakat.

Sebuah layar komputer dan ponsel menampilkan logo Netflix di Arlington, Virginia, Amerika Serikat, pada 31 Maret 2020. Bridgerton telah menjadi serial baru Netflix yang paling populer, dengan lebih dari 82 juta rumah tangga yang menonton.
Perubahan pola konsumsi
Sejatinya, perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap produk film bukan baru-baru saja terjadi. Sebagai contohnya, sejak 2017 terjadi peningkatan pelanggan layanan streaming/pelantar digital Netflix di Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, dalam kurun waktu empat tahun, Netflix mengalami peningkatan pelanggan sekitar 10 kali lipat dari 94.000 pada 2017 menjadi sekitar 900.000 pada 2020. Artinya, jauh sebelum pandemi melanda, masyarakat sudah mulai melirik layanan streaming sebagai alternatif dalam menikmati film.
Namun, guncangan wabah Covid-19 mendorong transformasi ini menjadi jauh lebih cepat. Apabila sebelumnya menonton secara digital merupakan alternatif, saat ini justru cara inilah yang menjadi pilihan utama.
Menurut hasil jajak pendapat Kompas, 92,8 persen responden menyatakan bahwa mereka menikmati film Indonesia secara daring. Hanya, 4,5 persen dari publik yang mengaku menonton film Indonesia di bioskop selama setengah tahun terakhir.

Perubahan perilaku konsumsi film di Indonesia selama pandemi juga tampaknya tak akan cepat berubah. Menurut jajak pendapat, lebih dari 54 persen dari masyarakat menyatakan bahwa mereka akan mempertahankan kebiasaan mereka menonton film Indonesia secara daring.
Hal ini pun terkonfirmasi dengan hasil survei perilaku konsumen yang dikeluarkan oleh McKinsey, November lalu. Berdasarkan hasil studi tersebut, keinginan masyarakat untuk mengonsumsi hiburan digital (termasuk film) meningkat 20 persen selama kurun waktu April hingga September 2020.
Sementara itu, keinginan publik untuk mengonsumsi hiburan di luar rumah (termasuk menonton di bioskop) menurun tajam hingga lebih dari 33 persen dalam kurung waktu yang sama.
Sayangnya, perubahan perilaku konsumsi ini tak diimbangi dengan kesanggupan masyarakat untuk membayar konten. Ketika ditanya, nyaris 43 persen dari responden hanya mau mengeluarkan biaya kurang dari Rp 50.000 per bulan untuk menonton film di layanan streaming.
TIdak itu saja, bahkan lebih dari 22 persen di antaranya hanya mau mengeluarkan uang di bawah Rp 25.000. Meskipun hal ini perbaikan dari keinginan masyarakat untuk membayar tiket bioskop, di mana 40 persen dari mereka hanya mau membayar paling banyak Rp 50.000 selama sebulan, tentu nilai tersebut masih jauh dari kata ideal.

Dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk lebih mau menghargai film sebagai karya, tak heran bahwa masih banyak masyarakat yang menonton film di kanal daring secara ilegal.
Menurut hasil jajak pendapat Kompas, sekitar 56 persen dari publik mengaku lebih memilih untuk menikmati film Indonesia secara cuma-cuma melalui pelantar yang legal seperti Youtube maupun situs-situs film gratisan yang ilegal.
Maka, menyempitnya ruang fisik untuk menayangkan film dan rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap rilisan film di ruang digital tentu membuat posisi para pelaku industri film Indonesia serba salah.
Di satu sisi, hampir tak mungkin bagi mereka untuk memaksakan kehendak untuk membuka sebanyak-banyaknya layar di tengah situasi pandemi yang belum reda sepenuhnya. Di sisi lain, merilis film di ruang maya juga tak sepenuhnya ideal ditengah minimnya apresiasi dan masih adanya ancaman pembajakan.
Tak ayal, masa depan industri film di Indonesia bisa sangat dipengaruhi oleh perkembangan penanganan penyebaran virus Covid-19. Tentunya penyebaran virus yang kian mereda akan membawa angin segar bagi industri ini.
Hal tersebut karena mencari hiburan di luar rumah (termasuk menonton film di bioskop) menjadi salah satu kegiatan yang paling banyak dirindukan oleh publik Indonesia Buktinya, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan bahwa 20 persen dari responden berniat untuk kembali menonton di bioskop setelah pandemi mereda.

Suasana di depan salah satu bioskop di Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (30/1/2021). Saat kasus Covid-19 di wilayahnya belum terkendali, Pemerintah Kota Tegal berencana membuka kembali bioskop pada 1 Februari 2021. Protokol kesehatan ketat akan diterapkan untuk menekan risiko penyebaran Covid-19.
Pascapandemi
Pascapandemi, hampir bisa dipastikan bahwa di kemudian hari bioskop masih akan tetap hadir di Indonesia. Bagaimanapun juga masih ada sebagian masyarakat yang merindukan sensasi menonton dengan layar yang lebar dilengkapi sistem suara mutakhir.
Sebagian besar yang kangen menonton film di bioskop justru berasal dari kalangan muda. Berdasarkan jajak pendapat, nyaris separuh dari mereka yang memilih menonton di bioskop berusia 30 tahun ke bawah.
Meskipun begitu, bukan berarti nantinya laku industri film di Indonesia ini lantas sepenuhnya kembali ke model yang lama seperti sebelum masa pandemi. Di satu sisi, mereka yang cenderung lebih condong ke model bisnis konvensional harus menemukan rumusan baru dalam menonton film di bioskop.
Jangan heran jika ke depannya akan bermunculan bioskop nonkonvensional, seperti bioskop drive-in yang menawarkan pengalaman berbeda menonton film dari mobil pribadi.
Dengan akses ke ribuan film dalam genggaman, tentu masyarakat lama-lama akan tak mudah dirayu untuk ke bioskop jika dalam waktu sebulan bisa ia tonton di gawainya.
Maka, jangan heran jika ke depannya akan bermunculan bioskop non-konvensional, seperti bioskop drive-in yang menawarkan pengalaman berbeda menonton film dari mobil pribadi.
Di sisi lain, mereka yang membuka tangan terhadap transformasi digital juga tetap harus waspada. Keterbukaan pasar baru melalui perkembangan teknologi ternyata juga diimbangi oleh semakin padatnya para pemain.
Jika sebelumnya lanskap industri film didominasi oleh para pemain besar, kini rumah produksi independen pun punya akses untuk menayangkan filmnya. Bahkan, gerakan kolektif mereka pun dapat membidani pelantar digital buatan mereka sendiri seperti laman bioskoponline.com.
Hal ini pun sebetulnya sudah mulai terlihat dari sekarang. Contohnya, selama pandemi, terdapat 30 judul film Indonesia yang rilis di 2020 dapat ditemui di berbagai pelantar streaming digital.

Jalan masuk dan keluar bagi penonton dibedakan untuk mengoptimalkan penerapan protokol kesehatan di salah satu bioskop di Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (30/1/2021).
Nyaris tak terbatasnya ruang di pelantar digital ini pun dimanfaatkan para rumah produksi untuk menjajakan kembali film-film rilisan di tahun-tahun sebelumnya.
Tak ayal, hingga 2021, terdapat ribuan judul film Indonesia di bermacam layanan streaming. Dengan begitu, umur film pun tak lagi terbatasi oleh ketersediaan jatah di layar perak dan bahkan bisa abadi.
Harapannya, persaingan yang semakin ketat nantinya justru berdampak positif bagi kualitas film Indonesia. Sineas, penulis naskah, dan rumah produksi akan terpacu untuk membuat karya yang dapat menyabet perhatian publik, di tengah ribuan film lain yang juga dengan mudah diakses di berbagai kanal digital. Ujungnya, kancah perfilman Indonesia pun kian maju dan masyarakatlah yang akhirnya diuntungkan.
Namun, tentu butuh dukungan serta komitmen dari pemerintah agar kondisi ideal ini bisa terjadi. Diperlukan penguatan hukum perlindungan hak cipta sehingga kasus pembajakan karya bisa diminimalkan sehingga ruang digital menjadi lebih ramah terhadap film.
Dengan semakin sehatnya atmosfer digital, tentu harapan dari 57,5 persen publik yang yakin akan membaiknya industri film di kemudian hari tak mustahil untuk terpenuhi. (LITBANG KOMPAS)