Kisah Berulang Penguasaan Partai di Sumatera Barat
Meski memiliki modal penguasaan hingga dua pertiga wilayah di Sumbar dalam Pemilu 2019, mesin partai dari Gerindra kesulitan untuk mengulang dominasi serupa dalam Pilkada 2020.
Dominasi Partai Gerindra dalam Pemilu 2019 di Sumatera Barat tidak berbanding lurus dengan hasil Pilkada 2020. Mirip yang dialami Golkar lima tahun silam, mayoritas kader atau calon yang diusung Gerindra gagal mendominasi raihan suara meski disokong partai penguasa di wilayah.
Sepak terjang Gerindra di Sumatera Barat menarik untuk dicermati, baik dalam penguasaan legislatif maupun eksekutif. Wilayah ini adalah salah satu lumbung suara dari Gerindra. Pada Pemilu 2019, Gerindra berhasil menguasai 13 dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat atau setara dengan dua pertiga dari total wilayah.
Dominasi ini menjadi modal bagi Gerindra dalam mengarungi perhelatan Pilkada 2020. Dari 13 daerah penyelenggara pilkada, Gerindra mengusung 12 calon kepala daerah. Pasaman menjadi satu-satunya daerah yang tidak memiliki calon dari Gerindra karena kekurangan jumlah kursi untuk mengusung.
Gerindra cukup percaya diri untuk mengusung calon pada setiap daerah, khususnya pada daerah yang menjadi kantong suara dalam Pemilu 2019. Di Kabupaten Agam, misalnya, Gerindra menjadi partai tunggal yang mengusung pasangan Taslim-Syafrizal. Pada 2019, Gerindra menjadi partai pemenang di wilayah ini dengan penguasaan 20 persen kursi di DPRD.
Hal serupa tampak di daerah Sijunjung yang merupakan basis penguasaan Gerindra dalam Pemilu 2019. Bermodalkan koalisi bersama Perindo dengan penguasaan kursi sebesar 20 persen di DPRD, Gerindra mengusung Arrival Boy-Mendro Suarman. Pasangan ini berhadapan dengan poros koalisi besar, yakni Golkar, Nasdem, PPP, dan PBB, dengan penguasaan sepertiga kursi di DPRD Sijunjung.
Gagal mendominasi
Meski memiliki modal penguasaan hingga dua pertiga wilayah di Sumbar dalam Pemilu 2019, mesin partai dari Gerindra cukup kesulitan untuk mengulang dominasi serupa dalam Pilkada 2020. Calon-calon yang diusung Gerindra memperoleh persaingan sengit dari pasangan calon yang diusung partai lainnya.
Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pasangan Nasrul Abit-Indra Catri yang diusung Gerindra harus mengakui keunggulan pasangan Mahyeldi Ansharullah-Audy Joinaldy yang diusung PKS dan PPP. Modal elektoral dari keunggulan Gerindra pada Pemilu 2019, ditambah dengan status petahana sebagai wakil gubernur Sumbar yang disandang Nasrul Abit, belum mampu menghasilkan raihan suara dominan.
Kondisi serupa terjadi dalam ranah pemilihan bupati dan wali kota. Dari 12 calon yang diusung Gerindra, Komisi Pemilihan Umum mencatat hanya empat calon yang berhasil memenangi kontestasi. Artinya, sebanyak dua pertiga calon kepala daerah yang didukung Gerindra gagal meraih suara dominan dari para pemilih di Sumatera Barat.
Kekalahan terjadi pada kantong-kantong suara Gerindra dalam Pemilu 2019. Pada daerah Agam, misalnya, calon yang diusung Gerindra hanya meraih 18,3 persen suara atau peringkat keempat dari empat pasangan calon. Hal ini sangat kontradiktif dengan status Gerindra sebagai partai peraih kursi terbanyak di DPRD Agam pada 2019 lalu.
Wilayah Agam memang memberikan banyak kejutan dalam penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember lalu. Selain calon bupati, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung Gerindra, Nasrul Abit-Indra Catri, juga kalah di wilayah ini. Padahal, Indra Catri merupakan bupati Agam dua periode. Berstatus sebagai partai pemenang dalam Pileg DPRD 2019 dan modal elektoral dari kepala daerah setempat, pasangan yang diusung Gerindra masih tetap kalah di wilayah Agam.
Kondisi serupa terjadi di wilayah Limapuluh Kota. Status Gerindra sebagai partai pemenang dalam Pemilu 2019 di wilayah ini ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil dalam Pilkada 2020. Muhammad Rahmad-Asyirwan Yunus, calon yang diusung oleh koalisi Gerindra, PKB, dan Hanura, hanya meraih suara terbanyak ketiga dari empat pasangan calon bupati dan wakil bupati di wilayah ini.
Muhammad Rahmad-Asyirwan Yunus harus mengakui keunggulan pasangan Darman Sahladi-Maskar M yang diusung Demokrat, PAN, dan Nasdem. Status Gerindra sebagai pemenang Pemilu 2019 di wilayah ini, serta modal koalisi yang menguasai lebih dari sepertiga kursi di DPRD Limapuluh Kota, belum mampu untuk membawa kemenangan di dalam Pilkada 2020.
Lumbung suara lainnya di Sumbar yang dikuasai Gerindra dalam Pilkada 2020 adalah Sijunjung. Pada 2019 lalu, Gerindra menjadi satu-satunya partai yang berhasil meraih di atas 10 persen kursi di DPRD Sijunjung.
Meski demikian, calon yang diusung Gerindra, Arrival Boy-Mendro Suarman, hanya meraih suara terbanyak ketiga dari lima pasangan calon. Mesin partai dari Gerindra dan berkoalisi dengan Perindo tampak belum berhasil menyaingi strategi penguasaan suara dari Golkar, Nasdem, PPP, dan PBB di wilayah ini.
Kekalahan juga terjadi dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumbar di wilayah Limapuluh Kota. Dari empat pasangan calon, pasangan Nasrul Abit-Indra Catri yang diusung Gerindra hanya meraih suara terbanyak ketiga.
Fenomena berulang
Kekalahan partai penguasa legislatif dalam pemilihan eksekutif bukanlah pertama kali terjadi di Sumatera Barat. Pada 2015 lalu, kondisi serupa dialami Golkar. Meski berhasil menguasai ranah legislatif di mayoritas daerah, calon yang diusung Golkar cukup kesulitan meraih suara dalam pemilihan kepala daerah.
Pada Pemilu 2014, Golkar berhasil mendominasi raihan kursi di DPRD kabupaten/kota pada lebih dari 80 persen daerah di Sumatera Barat. Bahkan, Golkar begitu mendominasi pada beberapa daerah, seperti Dharmasraya dan Pasaman, dengan menjadi satu-satunya partai yang mendulang 20 persen kursi di DPRD.
Walakin, hasil sebaliknya diraih Golkar dalam Pilkada 2015. Dari sembilan pasangan calon yang diusung, calon dari Golkar hanya unggul pada tiga wilayah, yakni Sijunjung, Tanah Datar, dan Padang Pariaman. Sementara pada enam daerah lainnya, calon yang diusung Golkar mengalami kekalahan.
Baca juga: Rekapitulasi KPU Sumbar Rampung, Mahyeldi-Audy Raih Suara Terbanyak
Kekalahan justru dialami pada daerah-daerah yang menjadi kantong suara Golkar dalam Pemilu 2014. Pada daerah Dharmasraya, misalnya, meskipun menjadi satu-satunya partai yang meraih 20 persen kursi di DPRD, calon yang diusung dalam Pilkada 2015 gagal meraih kemenangan. Mesin partai dari Golkar cukup kesulitan menandingi calon dari PDI-P yang meraih hampir dua pertiga dari total suara saat itu.
Kondisi yang mirip dialami Golkar di daerah Pesisir Selatan. Kemenangan dalam Pemilu 2014 tak menjadi jaminan. Dari empat kontestan, calon bupati dan wakil bupati yang diusung Golkar hanya menempati peringkat ketiga.
Figur dan partai
Ada dua indikator yang dapat menyebabkan kekalahan partai penguasa legislatif dalam pemilihan kepala daerah di Sumatera Barat. Pertama adalah sosok figur. Pemilih pada wilayah ini memiliki kecenderungan untuk melihat tokoh publik berdasarkan latar belakang dan program dalam bidang sosial serta keagamaan. Pembentukan karakter, budi pekerti, dan program lainnya yang membentuk masyarakat sesuai dengan norma agama menjadi program yang dilirik oleh publik.
Faktor kedua yang juga dapat menjadi indikasi rendahnya loyalitas masyarakat terhadap partai dalam pilkada adalah gerakan manuver partai. Pada Pemilu 2014, atau sekitar satu tahun jelang Pilkada 2015, Golkar adalah partai pengusung Prabowo Subianto, calon presiden yang saat itu unggul telak di Sumbar. Namun, usai pemilihan presiden dan jelang Pilkada 2015, informasi mulai tersebar tentang kemungkinan Golkar merapat ke kubu pemerintah.
Baca juga: Pertaruhan Dominasi Gerindra di Sumatera Barat
Hal yang sama terjadi pada Pemilu 2019. Gerindra yang sangat dominan di Sumbar saat mendukung Prabowo Subianto juga merapat ke pemerintahan seusai pemilihan presiden. Manuver ini dilakukan saat Gerindra telah memiliki basis dukungan yang sangat besar di wilayah Sumatera Barat.
Dua gerakan manuver dari partai politik pada 2014 dan 2019 berbanding lurus dengan kekalahan mayoritas calon yang diusung masing-masing partai dalam pilkada sekitar satu tahun setelahnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa gerakan partai serta figur adalah dua hal yang sangat diamati oleh pemilih dalam kontestasi lokal di Ranah Minang.
(Litbang Kompas)