Pertaruhan Dominasi Gerindra di Sumatera Barat
Pilkada 2020 menjadi tantangan terhadap dominasi Partai Gerindra di Sumatera Barat, terutama setelah partai ini bergabung dengan koalisi pemerintah seusai Pemilu 2019.
Setelah berhasil menguasai lebih dari dua pertiga daerah di Sumatera Barat dalam ranah legislatif, dominasi Partai Gerindra diuji dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tahun ini. Jejak kekalahan calon kepala daerah yang diusung partai penguasa pada sebagian besar wilayah di Ranah Minang dalam Pilkada 2015 menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Dalam Pemilu 2019, Partai Gerindra berhasil menggeser dominasi Golkar dalam penguasaan legislatif di Sumatera Barat (Sumbar). Perolehan kursi Gerindra melonjak cukup signifikan dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Dari total 669 kursi yang diperebutkan pada tingkat DPR hingga DPRD tingkat II, Gerindra meraih 16,4 persen kursi. Raihan ini lebih tinggi dibandingkan dengan partai besar lainnya di Sumbar, seperti PAN (13 persen), PKS (12,6 persen), dan Demokrat (12 persen). Adapun Golkar, pemenang Pemilu 2014 di Sumbar, mendapat 11,8 persen kursi dan menempati peringkat kelima dari 16 partai pada Pemilu 2019.
Berdasarkan penguasaan wilayah, Gerindra juga berhasil menggeser dominasi Golkar. Pada 2014, Golkar menguasai 89 persen kabupaten/kota di Sumatera Barat. Namun, pada 2019, hanya 16 persen daerah yang berhasil dikuasai oleh Golkar. Saat dominasi Golkar berkurang drastis, Gerindra menjadi partai penguasa di 68 persen wilayah di Ranah Minang.
Gerindra sukses merebut daerah yang sebelumnya merupakan lumbung suara Golkar, seperti Sijunjung dan Pasaman Barat. Bahkan, wilayah Tanah Datar, Agam, dan Limapuluh Kota, yang merupakan daerah persilangan antara corak politik tradisional dan politik modern di Sumbar, juga berhasil dikuasai Gerindra.
Sebelumnya, Tanah Datar dan Limapuluh Kota merupakan basis pendukung Golkar. Adapun wilayah Agam pada pemilu sebelumnya dikuasai oleh Demokrat.
Kondisi ini menggambarkan masifnya pertumbuhan basis pemilih Gerindra di Sumbar. Melihat kesuksesan Demokrat menguasai Sumbar pada 2009, yang tak lepas dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono, maka kesuksesan Gerindra pada Pemilu 2019 boleh jadi terkait dengan Prabowo Subianto.
Dalam Pemilihan Presiden 2019, Prabowo meraih persentase penguasaan suara yang sangat dominan di Sumbar, yakni 85,9 persen. Bahkan, di beberapa daerah, seperti Agam, Pasaman, dan Padang Pariaman, Prabowo meraih suara hingga di atas 90 persen. Raihan suara ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan suara Joko Widodo di daerah kelahirannya, Surakarta, Jawa Tengah, sebesar 82,2 persen.
Dari 19 kabupaten/kota, Prabowo berhasil menyapu bersih seluruh wilayah di dataran Sumbar. Hanya di wilayah Kepulauan Mentawai Prabowo kalah. Mentawai memang merupakan basis pemilih PDI-P, baik pada 2014 maupun 2019.
Modal elektoral
Dominasi ini menjadi modal bagi Gerindra untuk mengarungi kontestasi pemilihan kepala daerah tahun ini. Dari 13 kabupaten/kota di Sumbar yang menyelenggarakan pilkada, Gerindra mengusung 12 pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hanya di daerah Pasaman, Gerindra gagal mengusung pasangan calon karena tak mencukupi syarat minimal dukungan 20 persen kursi di DPRD.
Melihat corak koalisi yang dibangun, Gerindra tampaknya percaya diri dengan basis massa yang dimilikinya. Hal ini terlihat dari ketiadaan poros koalisi gemuk yang dibentuk Gerindra untuk mengusung pasangan calon. Mayoritas koalisi yang dibentuk bahkan memiliki penguasaan kursi di DPRD yang lebih kecil dibandingkan dengan koalisi penantang.
Di Sijunjung, misalnya, sebagai partai penguasa di wilayah itu, Gerindra hanya membentuk poros koalisi dengan Perindo. Hal serupa dilakukan oleh Gerindra di Padang Pariaman yang hanya menggandeng PKS untuk mengusung calon kepala daerah.
Bahkan, pada pemilihan gubernur Sumbar dan bupati Agam, Gerindra hanya menjadi partai pengusung tunggal. Dari 270 daerah penyelenggara pilkada, di dua wilayah inilah Gerindra menjadi partai tunggal yang mengusung pasangan calon kepala daerah. Kondisi ini menggambarkan Gerindra cukup percaya diri dengan mesin partai dan jejak penguasaan suara yang diraih dalam pemilu sebelumnya.
Jejak partai penguasa
Pemilihan Kepala Daerah 2020 merupakan ajang pembuktian loyalitas pemilih Gerindra di setiap daerah. Pada satu sisi, Gerindra memiliki modal yang kuat untuk mengukuhkan dominasi di ranah eksekutif di Sumbar. Selain modal elektoral yang telah dimiliki sejak Pemilu 2019, Gerindra memiliki jejak kemenangan cukup baik saat mengusung calon kepala daerah pada Pilkada 2015.
Dari 13 kabupaten/kota penyelenggara Pilkada 2015, Gerindra berhasil memenangkan calon yang diusung di enam daerah. Artinya, hampir separuh jabatan eksekutif berhasil dikuasainya. Kemenangan ini tentu menjadi modal untuk menghadapi kontestasi pada tahun ini.
Baca juga: Garis Koalisi Partai Oposisi
Walakin, ada kecenderungan jejak kemenangan partai tak selalu berkorelasi positif dengan kemenangan calon yang diusung dalam pilkada. Kondisi ini salah satunya terlihat pada Pilkada 2015. Meskipun Golkar sukses menguasai ranah legislatif di 12 dari 13 daerah penyelenggara pilkada saat itu, kekalahan justru dialami oleh sebagian besar calon kepala daerah yang diusungnya.
Dari total 13 daerah penyelenggara pilkada di Sumbar pada 2015, Golkar mengusung 10 pasangan calon kepala daerah. Namun, hanya tiga wilayah yang dimenangi calon yang disusung Golkar, yakni Sijunjung, Tanah Datar, dan Padang Pariaman.
Bahkan, di sejumlah daerah, calon yang diusung Golkar meraih suara yang tidak begitu besar. Di Dharmasraya, misalnya, calon kepala daerah dari Partai Golkar hanya meraih 36,25 persen suara. Raihan suara ini jauh lebih kecil dibandingkan pesaing yang diusung oleh PDI-P dengan 63,75 persen suara. Padahal, Golkar merupakan partai penguasa di wilayah itu.
Hal serupa terjadi di daerah Limapuluh Kota. Meski menjadi partai penguasa, calon yang diusung oleh Golkar di wilayah itu hanya menempati peringkat ketiga dari empat pasangan calon.
Baca juga: Panggung Pertarungan Sosok yang Terbuka
Kegagalan partai penguasa legislatif dalam pertarungan eksekutif menyiratkan bahwa loyalitas pemilih pada partai tidak sepenuhnya berdampak dalam pemilihan kepala daerah di Sumbar. Kondisi ini menyiratkan bahwa masyarakat di Sumbar merupakan tipe pemilih yang tak sepenuhnya bergantung pada partai pilihan ketika pilkada.
Sosok kepala daerah memiliki peran dominan dibandingkan dengan partai politik pengusung. Artinya, tidak ada jaminan bahwa pemilih suatu partai politik dalam pemilu akan memilih calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik tersebut.
Hal ini menjadi tantangan bagi Gerindra untuk mempertahankan dominasinya di Sumatera Barat. Di sisi lain, pilkada merupakan ajang pembuktian bagi dominasi Gerindra setelah merapat pada partai koalisi seusai Pemilu 2019.
(Litbang Kompas)