Gema Suara Massa Sepanjang 2020
Serangkaian aksi massa marak terjadi di belahan dunia. Isu korupsi dan pemilu serta kekecewaan terhadap kebijakan rezim menjadi pemicu. Demokrasi menjadi ujian di tengah pandemi ini.
Di tengah krisis ekonomi dan kesehatan berkepanjangan akibat pandemi Covid-19, sejumlah negara di dunia diguncang oleh serangkaian protes dan aksi massa. Di tengah pandemi yang belum usai dan tekanan dari publik, pemerintah pun ditantang untuk menghadapi tuntutan massa dengan menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.
Tak hanya itu, tren kian tingginya jumlah demonstrasi yang telah berlangsung paling tidak selama empat tahun terakhir ini bisa menjadi pengingat akan kemungkinan instabilitas politik di masa mendatang.
Pada awal 2020 ketika Covid-19 belum mencapai tingkat penyebaran yang pesat, beberapa negara mulai dilanda gelombang demonstrasi. Beberapa negara tersebut ialah Chile, Hong Kong, Lebanon, dan Iran. Namun, kebanyakan dari gelombang protes tersebut sebetulnya merupakan aksi lanjutan yang telah dimulai semenjak pertengahan 2019.
Seiring berjalannya waktu, Covid-19 pun semakin menyebar. Namun, ketika dunia masih terguncang dengan cepatnya penyebaran virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19, pemerintah masih sibuk menyiapkan langkah intervensi, jumlah protes di tingkat global justru mengalami peningkatan.
Selama Januari hingga Februari, dunia menyaksikan tiga demonstrasi besar-besaran di tiap bulannya. Angka tersebut melonjak hingga lebih dari dua kali lipat pada bulan berikutnya. Tak hanya itu, jumlah ini pun terus bertambah di bulan April di mana terdapat sembilan demonstrasi besar-besaran di dunia. Bahkan, menurut temuan dari Carnegie’s Global Protest Tracker, pada April tahun ini muncul gerakan protes baru setiap empat hari sekali.
Hingga Desember 2020, jumlah protes yang terjadi di seluruh dunia mencapai puncaknya pada bulan Juni. Saat itu, terdapat 13 demonstrasi besar-besaran yang terjadi secara bersamaan di sejumlah negara. Namun, angka ini beranjak turun hingga November di mana terjadi delapan protes dalam skala besar di beberapa negara.
Penyebab demonstrasi
Jika dilihat, sebagian besar dari demonstrasi yang terjadi di 2020 ini masih dipantik oleh isu-isu seperti korupsi dan kekecewaan politik. Dari 48 demonstrasi yang terjadi, lebih dari seperlimanya diakibatkan oleh persoalan politik.
Persoalan politik ini pun bermacam bentuknya, mulai dari krisis pascapemilu seperti yang terjadi di Belarus dan Kongo, hingga transisi politik seperti yang terjadi di Sudan dan Peru.
Selain itu, korupsi juga menjadi salah satu faktor timbulnya gerakan massa. Setidaknya, sekitar 6 persen dari demonstrasi yang terjadi di tahun ini merupakan dampak dari kegerahan masyarakat atas maraknya praktik korupsi, seperti yang terjadi di Venezuela dan Bulgaria.
Selanjutnya dalam dimensi politik, isu demokrasi dan kebebasan sipil juga menjadi pemantik demonstrasi di berbagai wilayah. Sebagai contohnya ialah demonstrasi di Hong Kong dan Chile.
Di Hong Kong, ribuan massa telah melakukan aksi selama lebih dari dua tahun untuk memperjuangkan kebebasan sipil mereka. Demonstrasi yang dibalas dengan aksi represif pihak pemerintah China dan Hong Kong ini diawali dengan munculnya draf UU Ekstradisi yang dikhawatirkan dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah China untuk mengkriminalisasi pihak oposisi pro-demokrasi.
Namun, muncul satu tema kuat di tahun ini, yakni kebrutalan aparat kepolisian. Berawal dari peristiwa tewasnya George Floyd, seorang pemuda kulit hitam di tangan aparat kepolisian Amerika Serikat, muncul gerakan melawan brutalisme aparat penegak hukum di seluruh dunia.
Dari total demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 2020, sebanyak 19 persen di antaranya berkaitan dengan isu tersebut. Sebaran aksi anti-kebrutalan polisi ini pun bukan main, demonstran mulai dari AS, Selandia Baru, Jepang, hingga Kolombia serentak mendengungkan protes mereka atas kesewang-wenangan aparat kepolisian.
Hal ini dapat diartikan bahwa selama ini, isu brutalisme kepolisian telah menjadi api dalam sekam yang ketika mendapatkan momentum bisa meledak menjadi aksi besar-besaran.
Di luar itu, sebagian kecil dari demonstrasi yang terjadi selama 2020 disebabkan oleh beberapa isu lain yang lebih marjinal. Beberapa isu tersebut ialah isu perlindungan terhadap perempuan, kerusakan lingkungan, serta peristiwa politik internasional, seperti penembakan rudal terhadap mantan jenderal besar Iran, Qasem Soleimani, juga muncul sebagai biang demonstrasi di Iran.
Pandemi pantik demonstrasi
Pandemi Covid-19 nyatanya juga menjadi hal yang paling banyak memantik aksi demonstrasi di beberapa negara di dunia. Dari total demonstrasi yang terjadi pada 2020, lebih dari 40 persen di antaranya disebabkan oleh persoalan terkait pandemi.
Dalam hal ini, posisi pemerintah memang bisa dibilang sulit. Di satu sisi, langkah ekstra dalam mengontaminasi penyebaran virus, seperti karantina dan lockdown, nyatanya menjadi langkah yang kurang politis.
Selama 2020, muncul protes anti-lockdown di 26 negara di dunia. Pasalnya, masyarakat melihat bahwa kebijakan restriktif ini tak hanya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menanggulangi pandemi, tetapi juga memberikan tekanan kepada gerakan oposisi.
Hal ini seperti yang terjadi di Bolivia, Serbia, dan Uganda. Tak hanya itu, kebijakan ini juga dinilai menyebabkan perlambatan ekonomi yang juga memantik keresahan pengusaha kecil seperti yang terjadi di Malawi.
Di sisi lain, pemerintah yang tak melakukan upaya ekstra juga salah di mata warganya. Tanpa adanya kebijakan yang tepat dan cepat, masyarakat merasa pemerintah telah abai dalam melindungi warganya di masa pandemi.
Kekecewaan masyarakat ini pun berbuah demonstrasi, seperti yang terjadi di Brasil di mana ribuan demonstran menyampaikan kekecewaan atas lemahnya penanganan pandemi di bawah kepemimpinan Presiden Jair Bolsonaro.
Tren demonstrasi
Ditarik selama empat tahun terakhir, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah demonstrasi yang terjadi di dunia. Pada tahun 2017, terdapat 20 demonstrasi dalam skala besar yang terjadi di seluruh dunia.
Di antara aksi protes tersebut, beberapa yang cukup mendapat perhatian global ialah aksi memprotes keputusan pelarangan umat Islam untuk masuk AS, protes untuk menurunkan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, dan aksi melawan perluasan wewenang eksekutif yang dilakukan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.
Di tahun berikutnya, jumlah protes di dunia mengalami peningkatan menjadi 27 demonstrasi selama satu tahun. Aksi paling besar yang terjadi di tahun ini ialah demonstrasi terkait ketidakjelasan negosiasi Brexit antara Pemerintah Inggris dan pihak Uni Eropa.
Saat itu, jutaan demonstran tumpah ruah ke jalan-jalan di seluruh Inggris untuk menuntut pemerintah serta sebagian di antaranya meminta untuk diadakannya kembali referendum Brexit.
Jumlah demonstrasi ini mengalami lonjakan yang signifikan pada 2019. Saat itu terdapat 43 demonstrasi dalam skala besar di sejumlah negara di dunia. Tahun ini dunia menyaksikan tiga aksi besar yang melibatkan massa lebih dari 1 juta orang.
Sebut saja aksi menurunkan Presiden Algeria Abdelaziz Bouteflika, protes terhadap keputusan Presiden Evo Morales yang tidak menjadikan kebakaran besar di Bolivia sebagai bencana nasional, dan protes menentang RUU ekstradisi di Hong Kong. Bahkan, gerakan massa di Hong Kong melibatkan lebih dari 2 juta penduduk kota kecil tersebut.
Peningkatan juga terjadi selama tahun 2020. Hingga Desember 2020 terdapat 48 aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai belahan dunia. Selain disebabkan oleh persoalan laten, seperti korupsi, otoritarianisme, kebebasan sipil dan ekonomi, demonstrasi tahun ini juga banyak dipengaruhi oleh pandemi Covid-19.
Bagaimanapun demonstrasi menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya dunia untuk kian menyuburkan demokrasi. Di situlah kita dapat melihat keseriusan pemerintah dalam menjunjung tinggi nilai kebebasan berpendapat dan komitmennya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.
Tak hanya itu, masih dominannya dimensi politik menunjukkan bahwa persoalan-persoalan seperti korupsi, kebebasan sipil, dan perlindungan atas demokrasi masih belum terselesaikan.
Jika tak ada perubahan, dapat dipastikan bahwa pada tahun-tahun mendatang sejumlah negara di dunia akan terus diguncang oleh instabilitas politik. (LITBANG KOMPAS)