Pecah Kongsi di Wilayah Tambang
Terungkapnya dugaan korupsi tambang oleh kepala daerah menjadi ironi kesejahteraan bagi Konawe Utara yang kaya akan sumber daya alam. Hasil bumi dan tambang belum maksimal memberikan manfaat kemakmuran bagi warganya.
Pembangunan berwawasan lingkungan dan transparansi pengelolaan sumber daya alam menjadi tantangan kepemimpinan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Wilayah kaya nikel ini kini menghadapi ancaman bencana ekologis akibat kegiatan tambang dan pembukaan lahan sawit.
Konawe Utara dikenal sebagai wilayah kaya potensi sumber daya alam pertambangan, terutama nikel. Kabupaten di Sulawesi Tenggara ini juga memiliki lahan subur untuk perkebunan dan pertanian. Dari 500.339 hektar luas wilayahnya, lahan perkebunan menjadi yang terbesar, seluas 143.224 hektar. Komoditas yang banyak dikembangkan meliputi ubi, jagung, dan kelapa.
Melihat potensi alamnya, tak heran jika struktur perekonomian di wilayah ini masih bertumpu pada sektor primer, yaitu pertanian dan pertambangan. Dalam kurun waktu 2015-2019, sepertiga PDRB Konawe Utara ditopang oleh sektor pertanian. Pada 2019, kontribusinya 39,93 persen pada PDRB.
Mayoritas penduduk juga menyandarkan hidupnya pada lapangan usaha ini. Terdapat sekitar 11.000 warga (39 persen) bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Meski demikian, ada penurunan persentase jika mencermati kontribusi sektor ini dalam lima tahun. Hal ini disebabkan pada tahun-tahun terakhir sering terjadi banjir di beberapa kecamatan sehingga mengganggu produksi pertanian (gagal panen).
Peristiwa banjir tahun ini terjadi pada 11 Juli 2020. BPBD Konawe Utara melaporkan 8 desa di 5 kecamatan terdampak banjir. Sebelumnya, banjir besar melanda pada 1-2 Juni 2019. Saat itu, 38 desa dan 3 kelurahan tersapu banjir yang mengakibatkan 5.111 orang mengungsi. Banjir juga merendam 970 hektar sawah, 83 hektar ladang jagung, serta 420 hektar tambak ikan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra menyebutkan, kerusakan ekologis akibat sektor pertambangan dan perkebunan sawit di Konawe Utara menjadi penyebab makin seringnya musibah banjir.
Analisis Badan Informasi Geospasial menguraikan, banjir di Konawe Utara terus meningkat setiap tahun dengan dampak cukup besar. Hasil penelitian menunjukkan, Konawe Utara kini memiliki tingkat risiko tinggi bencana banjir di 51 persen dari luas wilayahnya.
Penelusuran Kompas pada Agustus 2019 juga menemukan hal yang sama. Kegiatan tambang ditemukan mulai dari hulu sungai di Langgikima hingga muara Sungai Lasolo di Molawe. Demikian pula dengan pembukaan perkebunan sawit di bukit dan sempadan sungai (Kompas, 26/8/2020).
Di Sultra, Konawe Utara merupakan wilayah dengan izin usaha penambangan (IUP) terbanyak, yaitu 104 IUP. Sepanjang 2017 hingga 2019 terdapat 33 izin tambang yang dikeluarkan. Maraknya pertambangan ini karena Konawe Utara memiliki potensi nikel seluas 82.626,03 hektar dengan cadangan 46.007.440,652 ton.
Catatan Walhi Sultra juga memperlihatkan ekspansi tambang dan kebun sawit sejak 2001 hingga 2007 membuat kabupaten ini kehilangan 45.600 hektar tutupan pohon. Selain itu, kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit merusak 954 hektar hutan primer dan 2.540 hektar hutan alam. Gejolak ekologis yang mengakibatkan bencana alam menjadi tantangan pemimpin daerah Konawe Utara dalam pilkada mendatang.
Selalu pecah
Dinamika politik hasil Pemilu Legislatif 2019 didominasi oleh Partai Bulan Bintang, Partai Amanat Nasional, dan PDI-P. Jumlah kursi DPRD dari ketiga partai tersebut mencapai 70 persen dari seluruh kursi legislator. PBB menjadi parpol dengan kursi terbanyak dengan 7 kursi, disusul PAN 4 kursi dan PDI-P 3 kursi.
Dominasi partai terbesar ini juga tergambar di pilkada tahun ini. PBB dan PAN masing-masing mengusung calonnya sebagai kandidat bupati. Padahal, pada pilkada lima tahun sebelumnya, kedua partai ini bahu-membahu memenangkan pasangan pilkada. Saat itu, PBB dan PAN mengusung Ruksamin-Raup sebagai pasangan bupati dan wakil bupati.
Pada Pilkada 2020, PBB menggandeng PDI-P, Nasdem, dan Golkar untuk mencalonkan petahana Bupati Ruksamin yang berpasangan dengan Abu Haera. Sedangkan PAN berkoalisi dengan PKB dan Hanura mengusung petahana Wakil Bupati Raup yang berpasangan dengan Iskandar Mekuo.
Pecah kongsi parpol ini sekaligus mengulang pola koalisi pimpinan daerah sebelumnya karena bupati dan wakil bupati masing-masing mencalonkan diri. Pada Pilkada 2015, Bupati Aswad Sulaiman dan Wakil Bupati Ruksamin juga memilih ”berpisah” untuk bersaing memperebutkan kursi bupati.
Uniknya, pasangan yang lima tahun lalu digandeng Aswad Sulaiman, yaitu Abu Haera, kali ini juga menjadi calon wakil bupati pendamping Ruksamin. Pengalaman Abu Haera sebagai birokrat karier dengan jabatan terakhir sekretaris kabupaten menjadi kombinasi yang melengkapi Ruksamin yang berlatar belakang parpol.
Sebelum menjadi bupati, Ruksamin politisi PBB yang berpengalaman di legislatif. Di partai, Ruksamin pernah menjabat Sekretaris DPC PBB Kendari (2001-2007), Ketua DPC PBB Konawe Utara (2007-2012), dan Ketua DPW PBB Sulawesi Tenggara (2014-sekarang)
Di bidang legislatif, Ruksamin pernah menjadi anggota DPRD Konawe (2004-2007), Ketua DPRD Konawe Utara (2007-2009), dan Wakil Ketua DPRD Konawe Utara (2009-2011). Ruksamin kemudian menjajal peruntungannya mendampingi Bupati Aswad Sulaiman dalam Pilkada 2010 dan terpilih sebagai wakil bupati. Selanjutnya, dalam Pilkada 2015, Ruksamin yang dicalonkan oleh PBB dan PAN terpilih sebagai Bupati Konawe Utara periode 2015-2020.
Sedangkan pasangannya, Abu Haera, memiliki rekam jejak sebagai birokrat di Konawe Utara. Pernah menjabat camat, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pendapatan, hingga Sekretaris Kabupaten Konawe Utara pada 2013-2015.
Pesaing Ruksamin, petahana Wakil Bupati Raup, juga berlatar belakang politisi. Raup kader PAN yang berpengalaman di bidang legislatif. Ia pernah menjadi Sekretaris DPD PAN Konawe Utara (2007-2011) dan sekarang menjabat Ketua DPD PAN Konawe Utara.
Di bidang legislatif, Raup pernah menjadi Wakil Ketua DPRD Konawe Utara (2007-2009), kemudian Ketua DPRD Konawe Utara (2009-2014), dan Ketua Komisi II DPRD Konawe Utara (2014-2015) sebelum mencalonkan sebagai wakil bupati. Berpasangan dengan Ruksamin, Raup terpilih sebagai wakil bupati dalam Pilkada 2015.
Baca juga: Penambangan Ilegal di Blok Matarape Sultra Tak Terbendung
Raup akan berpasangan dengan Iskandar Mekuo yang sama-sama politisi. Iskandar politisi PDI-P. Ia menjabat sebagai Bendahara DPC PDI-P Konawe Utara (2019-2020). Pengalamannya di bidang legislatif dengan menjadi Ketua Komisi II DPRD Konawe Utara (2009-2014) dan Ketua Komisi II DPRD Konawe Utara (2019-2024).
Dalam konteks politik kontestasi, pencalonan Iskandar Mekuo dapat dilihat sebagai bagian strategi pemecah suara bagi Raup. Di atas kertas, dukungan politik bagi pasangan Ruksamin-Abu Haera lebih unggul dibandingkan dengan Raup-Iskandar Mekuo.
Namun, digandengnya Iskandar Mekuo oleh Raup berpotensi memecah dukungan massa PDI-P. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari posisi PDI-P sebagai partai terbesar ketiga, menjadi salah satu faktor penentu di tengah dominasi PBB dan PAN.
Demi kesejahteraan
Selain pecah kongsi, dinamika kepemimpinan di daerah otonom yang relatif baru ini juga diwarnai jejak korupsi. Satu dari dua pemimpin wilayah yang mekar dari induknya (Kabupaten Konawe) pada 2 Januari 2007 pernah terjerat pasal korupsi.
Mantan Bupati Aswad Sulaiman yang didakwa dalam kasus korupsi pembangunan kantor bupati dijatuhi hukuman enam tahun penjara di tingkas kasasi Mahkamah Agung. Aswad kemudian juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan kasus pemberian izin usaha pertambangan.
Baca juga: Banjir Berulang di Konawe dan Konawe Utara Buat Warga Kian Terpuruk
Terungkapnya dugaan korupsi tambang oleh kepala daerah menjadi ironi kesejahteraan bagi wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini. Hasil bumi dan tambang belum maksimal memberikan manfaat kemakmuran bagi warga Konut.
Kualitas pembangunan manusia di wilayah ini masih di bawah rata-rata Provinsi Sultra. Demikian pula dengan tingkat kemiskinan yang persentasenya masih lebih tinggi daripada provinsi. Melihat dampak bencana akibat kegiatan tambang dan jurang kemakmuran di wilayah ini, pembangunan berwawasan lingkungan dan transparansi pengelolaan sumber daya alam harus menjadi prioritas kepemimpinan mendatang.
(LITBANG KOMPAS)