Mengapa Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke?
Wilayah Sabang sampai Merauke bermakna persatuan dan kesatuan. Ia menjadi satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun. Tantangan bagi anak bangsa untuk terus membangun persatuan dan kesatuan.
”Pada hari penghapusan kuasa politik pemecah belah, kita bangsa Indonesia hendaklah menjalankan politik persatuan yang sempurna.” (Muhammad Yamin, 31 Mei 1945)
Kalimat itu disampaikan secara tegas oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat membahas wilayah kesatuan negara Indonesia. Pertemuan digelar di Gedung Tyuuoo Sangi-In atau yang kini dikenal sebagai Gedung Pancasila di lingkungan Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat.
Sebelum mengutarakan gagasannya secara lebih mendalam, Yamin secara tegas telah memberi batasan di awal pidato bahwa penentuan wilayah Indonesia sama sekali tidak menyinggung kedaulatan bangsa lain. Dengan kata lain, pembatasan historis yang tegas sangat diperlukan dalam penentuan wilayah kedaulatan bangsa.
”Walaupun sejengkal tanah Indonesia, kita tetap dengan segala akibatnya hendak mempersatukannya. Tetapi juga setapak tanah orang lain tidak kita mengingini,” kata Yamin di hadapan para tokoh bangsa kala itu.
Penentuan batas wilayah negara tentu memiliki banyak kesulitan. Wilayah yang terdiri dari banyak kepulauan hingga belum berakhirnya perang pada Mei 1945 menjadi kesulitan tersendiri untuk menentukan wilayah negara. Apalagi, inilah kali pertama para tokoh bangsa merumuskan suatu konsep wilayah dalam batasan yang tegas.
Oleh sebab itu, Yamin turut menyertakan argumen historis agar setiap wilayah yang diusulkan menjadi bagian dari Indonesia adalah betul-betul wilayah yang memiliki hubungan sejarah dengan konsepsi persatuan bangsa.
Daerah pertama yang menjadi bagian dari Indonesia, menurut Yamin, adalah daerah bekas jajahan Hindia Belanda. Wilayah ini juga disebut sebagai ”pulau yang enam”, yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Penentuan keenam pulau ini bukanlah tanpa alasan. Menurut Yamin, pulau-pulau itu merupakan wilayah Hindia Belanda menurut konstitusi Belanda 1922. Selain itu, jejak sejarah membuktikan lahirnya perlawanan menentang Belanda pada berbagai wilayah di keenam pulau itu. Sebut saja Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873 hingga awal abad ke-20), dan perang skala lokal lainnya menentang penjajahan.
Wilayah selanjutnya adalah bagian timur yang meliputi Tarakan, Morotai, Halmahera, dan Papua. Khususnya Papua atau Irian Barat, Yamin beranggapan bahwa wilayah itu perlu menjadi bagian dari negara karena memiliki jejak historis yang berkaitan dengan Indonesia.
”Papua ialah daerah Austronesia yang pusatnya tanah Indonesia kita. Dalam sejarah seribu tahun ke belakang, Papua telah bersatu dengan tanah Maluku dan menjadi bersatu padu dengan Indonesia,” ujar Yamin.
Baca juga: Belajar dari Kisah Pendahulu
Tanah kepungan
Satu haluan utama yang diusulkan oleh Yamin saat itu adalah persatuan daerah tanah air tanpa adanya enclaves atau tanah kepungan. Artinya, dalam konsep wilayah Indonesia, Yamin tidak menginginkan adanya negara di dalam negara atau wilayah negara lain yang berada di antara wilayah kedaulatan Indonesia.
Atas dasar itu, Yamin memberi usulan bahwa wilayah Borneo Utara (bagian utara Kalimantan), Timor Portugis (saat ini Timor Leste), dan Semenanjung Malaya (saat ini Malaysia) untuk menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Khususnya Semenanjung Malaya, nama tokoh bangsa, khususnya Soekarno dan Hatta, telah banyak dikenal pada daerah itu. Wilayah ini juga dinilai sebagai corong dari kepulauan Nusantara sehingga memiliki peran penting dalam hubungan internasional.
”Menceraikan Malaya daripada Indonesia berarti dengan sengaja dari mulanya melemahkan kedudukan negara rakyat Indonesia dalam perhubungan internasional,” tegas Yamin di hadapan anggota sidang.
Meski wilayah Semenanjung Malaya diusulkan masuk ke dalam wilayah Indonesia, Yamin menegaskan tidak ada maksud untuk menjalankan politik imperialisme. ”Seluruh tanah Malaya saya ketahui hendak bersatu dengan daerah yang delapan,” ujar Yamin. Daerah yang delapan merujuk pada wilayah Indonesia sesuai usulan dalam sidang itu.
Perdebatan
Penentuan wilayah negara kembali dibahas dalam sidang BPUPKI pada 10-11 Juli di tahun yang sama. Gagasan Muhammad Yamin tentang wilayah negara kemudian menjadi pembahasan yang cukup panjang di antara para tokoh bangsa.
Diskusi para tokoh bangsa menghasilkan suatu perdebatan yang apik kala itu. Abdul Kahar Muzakkir, anggota BPUPKI, sependapat dengan gagasan Yamin untuk memasukkan Semenanjung Melayu dan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Sementara anggota BPUPKI lainnya, Soemitro Kolopaking, menilai bahwa wilayah Malaya Selatan dan Borneo Utara dapat bergabung menjadi bagian dari Indonesia jika rakyat di wilayah itu menghendaki.
Namun, pendapat yang berbeda disuarakan oleh Muhammad Hatta dalam sidang pada 11 Juli 1945. Hatta lebih sependapat Malaya menjadi negara yang merdeka di lingkungan Asia Timur Raya. Penggabungan Malaya dengan Indonesia baru dapat dilakukan jika terdapat keinginan langsung dari segenap rakyat di wilayah itu.
Hatta juga tidak sependapat dengan gagasan Yamin untuk memasukkan Timor Portugis ke dalam wilayah Indonesia. Menurut Hatta, wilayah Indonesia sebaiknya adalah bekas wilayah Hindia Belanda sebelumnya. ”Kita tidak mau bertindak begitu, kita menurut status internasional,” kata Hatta.
Hatta menegaskan, politik imperialisme harus dihindari dalam menentukan wilayah Indonesia. Para pemuda juga diingatkan untuk tidak menggaungkan semangat imperialisme yang ”menguap ke luar”, tetapi semangat yang ”menguap ke dalam” untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa.
Pandangan Hatta nyatanya berbeda dengan gagasan yang disampaikan Soekarno. Dalam tanggapannya pada forum yang sama, Soekarno secara tegas menyatakan persetujuannya dengan pandangan Muhammad Yamin, yakni masuknya Malaya dan Timor Portugis sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Khususnya untuk Malaya, Soekarno mengaku telah menerima banyak surat dan telegram dari yang meminta wilayah itu untuk bergabung dengan Indonesia. Masuknya Malaya sebagai bagian dari Indonesia juga bertujuan untuk memperkuat pertahanan negara.
”Jikalau hanya pantai barat saja daripada Selat Malaka di tangan kita dan musuh misalnya menguasai pantai timur daripada Selat Malaka itu, maka itu berarti bahwa keselamatan Indonesia terancam,” kata Soekarno.
Soekarno juga sepakat Papua menjadi bagian dari Indonesia karena memiliki jejak sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Majapahit. Menurut Soekarno, pandangannya tersebut berlandaskan pada kekuatan dan batas sejarah yang tercatat di masa silam.
Kesepakatan
Perdebatan panjang untuk menentukan batas wilayah Indonesia akhirnya mengerucut pada tiga pilihan. Pertama adalah wilayah bekas Hindia Belanda. Kedua adalah wilayah bekas Hindia Belanda beserta daerah Papua, Malaka, Borneo Utara, Timor Portugis, serta pulau kecil di sekelilingnya. Pilihan terakhir yang diusulkan adalah bekas wilayah Hindia Belanda beserta Malaka.
Setelah dilakukan pemungutan suara, dalam sidang disepakati pilihan kedua, yakni wilayah bekas Hindia Belanda beserta wilayah Papua, Malaka, Borneo Utara, Timor Portugis, serta pulau kecil di sekelilingnya. Opsi ini dipilih oleh 39 peserta sidang dari total 66 orang yang mengikuti pemungutan suara. Berakhirlah perdebatan tentang wilayah negara Indonesia pada 11 Juli 1945.
Namun, setelah Indonesia merdeka, kesepakatan sebelumnya dalam sidang BPUPKI tentang wilayah negara mengalami perubahan. Pimpinan bangsa akhirnya sepakat bahwa wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda sebelumnya. Keputusan ini diambil dengan turut mempertimbangkan hukum internasional sehingga tidak serta-merta dapat memasukkan wilayah lain menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, wilayah Indonesia ditetapkan terbagi menjadi delapan provinsi, yakni Provinsi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Artinya, wilayah yang sempat diperdebatkan, seperti Semenanjung Malaya, Borneo Utara, dan Timor Portugis, batal masuk ke wilayah Indonesia. Sementara Papua secara resmi akhirnya diakui menjadi bagian wilayah Indonesia setelah melalui perjuangan panjang hingga tahun 1963 dan diperkuat dengan penentuan pendapat rakyat pada tahun 1969.
Baca juga: Tiga Perumus Kemerdekaan Jadi Pahlawan Nasional
Laksana api unggun
Sejak saat itu, wilayah Indonesia resmi berjajar dari Sabang sampai Merauke. Pada pidato kenegaraan saat peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta, Soekarno sempat mengingatkan pentingnya makna kata ”Sabang sampai Merauke” sebagai suatu kesatuan negara yang bulat dan kuat.
”Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar menggambarkan satu geographisch begrip. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar satu geographical entity. Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan. Ia adalah satu national entity,” kata Soekarno seperti tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1964).
Konsepsi wilayah ini juga menggambarkan kesatuan tekad dan ideologi yang dinamis. Bagi Soekarno, Sabang sampai Merauke menjadi satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun. Artinya, cita-cita itu menerangi segenap bangsa hingga pelosok wilayah seperti yang termaktub dalam Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kini, memasuki tiga perempat abad usia Indonesia dan setelah melalui perjalanan panjang untuk memperjuangkan konsepsi wilayah negara, makna persatuan dan kesatuan seperti yang digaungkan oleh para tokoh bangsa kembali perlu direnungkan. Sudahkan Indonesia menjalankan ”politik persatuan yang sempurna” seperti yang didengungkan oleh Muhammad Yamin 75 tahun silam? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?