Sapardi nan Abadi
Sapardi lahir di musim hujan, mulai berkarya di musim hujan, dan mengakhirinya di pengujung musim hujan. Karya Sapardi akan tetap abadi.
Dalam jagat kesusastraan Nusantara, karya Sapardi seperti cinta yang tumbuh dalam kesederhanaan. Lariknya bak wiyata yang setia menghiasi segala masa. Jika sejarah abadi, maka Sapardi adalah anasir di antaranya.
Sapardi Djoko Damono dan hujan adalah sebuah keniscayaan. Kumpulan puisi berjudul Sihir Hujan (1984) dan Hujan Bulan Juni (1994) lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa dekatnya Sapardi dengan hujan. Melalui hujan, Sapardi seakan bercerita tentang keagungan, keelokan, hingga metafora dari sebuah kisah juang.
Juni, bulan yang menjadi favorit para pendaki karena cuaca yang cerah, bulan yang menjadi berkah bagi nelayan karena tangkapan ikan yang melimpah, justru dilukiskan oleh Sapardi sebagai bulan yang basah. Pesannya tegas, yakni tentang ketabahan, kebijakan, dan kearifan seperti hujan di musim kemarau.
Hujan juga sangat melekat dengan sejarah kehidupan Sapardi. Ia lahir di musim hujan jelang puncak ketegangan Perang Dunia II. Bulan kelahirannya dalam kalender Jawa mudah ditebak sesuai kata yang tersemat di namanya: Sapar.
Saat musim hujan pulalah Sapardi mulai menggoreskan tinta pena untuk pertama kalinya demi menghasilkan rangkaian kata. Saat itu, November 1957. Usia Sapardi baru menginjak 17 tahun. Di usianya yang begitu muda, ia mulai menuju jalan setapak sebagai penyair.
Baca juga : ”Penyeberangan” Senyap Sapardi Djoko Damono
Sapardi kecil
Jalan penyair yang ditempuh oleh Sapardi bukanlah langkah tetiba. Perjalanan hidupnya sejak periode kolonial, revolusi, hingga pengakuan kedaulatan NKRI menjadi bagian yang turut berpengaruh pada suasana kebatinan Sapardi.
Pernah suatu ketika, ia melihat pesawat yang menjatuhkan bom dalam suasana perang. Ayahnya juga beberapa kali keluar dan masuk desa demi menghindari kekejaman tentara kolonial. Pada periode yang sulit ini, tak jarang Sapardi harus memakan bubur pada pagi dan petang untuk bertahan hidup.
Sapardi kecil juga beberapa kali pindah dari desa ke desa di Surakarta demi mengikuti orangtuanya. Menetap di rumah keluarga dan rumah sewa juga dirasakan oleh Sapardi seiring pola hidup nomaden yang pernah ia rasakan.
Dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2017) yang ditulis oleh Bakdi Soemanto disebutkan, pengalaman pada masa kecil inilah yang awalnya membentuk karakter Sapardi dalam menulis. Hingga akhirnya di jenjang sekolah menengah pertama, Sapardi mengirimkan karya tulis yang berisi tentang kisah masa kecilnya ke sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa. Sayang, tulisan itu ditolak.
Penolakan itu bisa jadi menjadi titik balik bagi Sapardi untuk menggali hasrat menulis yang ia miliki. Terbukti, Sapardi mulai akrab dengan karya-karya dari Rendra, terutama Ballada Orang-Orang Tertjinta yang terbit pada tahun 1957. Semasa SMA, Sapardi juga membaca Murder in the Cathedral, sebuah lakon karya TS Eliot yang ia pinjam di sebuah lokasi penyewaan buku. Lakon itu adalah sebuah kisah berlatar belakang sejarah abad ke-12 yang ditulis untuk sebuah festival teater tahun 1935.
Syahdan, lambat laun bakat Sapardi semakin terasah hingga akhirnya tahun 1958, sajaknya dimuat pada majalah berita Mimbar Indonesia. ”Saya catat, sejak awal saya ternyata berminat menulis sonata,” kenang Sapardi seperti tertulis dalam Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono (2017) yang disusun oleh Indah Tjahjawulan.
Baca juga : Hujan Tangis Jagat Maya Indonesia Mengiringi Kepergian Sapardi Djoko Damono
Jalan lurus
Menurut Sapardi, ”jalan lurus” sebagai penyair mulai ia temukan pada tahun 1959. Saat itu, ia mulai menulis sajak untuk mengawali antologi Hujan Bulan Juni yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Jalan lurus yang ditempuh oleh Sapardi semakin menemukan titik terang pada tahun 1960. Ia semakin menemukan keyakinannya pada kwatrin atau sajak empat seuntai yang pernah populer pada masa Chairil Anwar. Sapardi di tahun itu juga mulai mencoba untuk menulis sajak dengan aturan larik yang lebih bebas.
Salah satu karya apik Sapardi pada periode ini adalah Sajak Orang Gila yang dimuat oleh Majalah Sastra, tepat pada musim hujan November 1961. Dalam sajak yang dituliskan, Sapardi menggunakan diksi yang secara gamblang dapat dipahami tentang latar kehidupan sosial seperti penggalan sajak terakhir berikut:
”Orang kota semua telah mengada-ada, aduhai
Menuduhku seorang yang sudah gila
Aku toh cuma menangis tanpa alasan
Tertawa-tawa sepanjang jalan
Dan lewat jendela, tergeleng kepala mereka
Kurus benar sejak ia jadi gila”
Meski dengan kata yang sederhana, sajak ini begitu kritis dan dapat menggambarkan kondisi sosial saat itu yang masih berkutat dengan kemiskinan. Barangkali, hidup nomaden yang pernah dirasakan Sapardi semasa kecil turut membentuk suasana kebatinan dalam menulis sajak ini.
Sajak bebas kemudian menjadi ranah pilihan Sapardi pada tahun 1963 dalam menghasilkan karya-karyanya. Menurut Sapardi, tahun ini menjadi titik yang membebaskannya untuk memilih lebih banyak gaya dan kandungan dalam menuliskan setiap sajak. Sejak saat itulah, Sapardi semakin mantap mengisi ruang dalam sajak bebas.
Baca juga : Sebelum Berpulang, Sapardi Djoko Damono Menyiapkan Hadiah Kumpulan Puisi
Merayakan puisi
Sajak yang ditulis oleh Sapardi mengisi ruang budaya bangsa ini pada segala zaman. Sajak itulah yang kemudian membawa Sapardi mencapai ranah tak terbatas dalam berkarya. Sapardi berhasil merayakan puisi dalam berbagai bidang pengabdian.
Setelah lulus dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, ia kembali hidup nomaden bak pengalaman masa kecilnya. Sapardi pernah mengajar di IKIP Malang cabang Madiun sejak lulus kuliah hingga 1968, hingga akhirnya melanjutkan kegiatan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro hingga 1974. Pada periode inilah Sapardi sempat menimba ilmu di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat, tahun 1970-1971.
Pada tahun 1975, Sapardi mulai mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kariernya kian mentereng saat dipercaya sebagai pembantu dekan hingga menjadi Dekan Fakultas Sastra UI tahun 1995-1999.
Di tengah kesibukan Sapardi di dunia kampus, ia tetap aktif menghadiri sejumlah kegiatan seni dan sastra di dalam dan luar negeri. Festival penyair di Belanda, festival seni di Australia, hingga sejumlah kegiatan di Indonesia tetap dihadiri.
Karya dan kontribusi Sapardi pada kesusastraan Tanah Air bermuara pada sejumlah penghargaan. Ia pernah meraih penghargaan sastra ASEAN atau Southeast Asia Write Award pada tahun 1986 di Thailand. Di dalam negeri, Sapardi juga telah memperoleh Satyalencana Kebudayaan pada tahun 2002 sebagai wujud penghargaan atas besarnya kontribusinya bagi kebudayaan di Indonesia.
Baca juga : Duka Bulan Juli
Menuju abadi
Sapardi kini telah menuju alam abadi. Tentang keabadian, ia mengajarkan kepada kita satu hal, bahwa hidup akan menuju tanda titik yang akan mengakhiri seluruh tanya. Lagi, wiyata itu kembali diselimuti oleh kata hujan:
”Masih adakah yang akan kautanyakan
Tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak ada habisnya bercakap
Di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja”
(duka-Mu abadi, 1975)
Sapardi lahir di musim hujan, mulai berkarya di musim hujan, dan mengakhirinya di pengujung musim hujan. Dalam diorama kehidupan, kisah Sapardi bagaikan seseorang yang mencintai dengan sederhana. Tetap upaya bersetia dalam segala masa.
Karyamu kan abadi, Pak Sapardi…
(LITBANG KOMPAS)