Catatan ini saya tulis sekitar 30 menit setelah berita duka itu tiba: ”Prof SDD sudah meninggalkan kita”. Kali ini makna ”meninggalkan kita” itu tidak berhenti sebagai informasi
Oleh
Seno Gumira Ajidarma
·4 menit baca
Catatan ini saya tulis sekitar 30 menit setelah berita duka itu tiba: ”Prof SDD sudah meninggalkan kita”. Kali ini makna ”meninggalkan kita” itu tidak berhenti sebagai informasi, tetapi memberi perasaan ditinggalkan yang luar biasa, seperti perasaan kosong mendadak yang membuat badan mengalami efek kehilangan bobot.
Betapa tidak, jika selama ini kehadiran Mas Sapardi, begitu saya memanggilnya, selalu memberi rasa tenang, menjamin bahwa segala sesuatu bisa diatasi dengan cara terbaik. Betapa selalu terdapat seseorang yang kepadanya dapat diajukan pertanyaan, untuk mendapat jawab dengan kualitas pengalaman.
Namun, saya mengenalnya bukan hanya sebagai kolega di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Saat saya mahasiswa, SDD adalah dosen dan pembimbing disertasi saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI). Lebih jauh lagi, sebagai orang yang belajar menulis, sejak SMA, saya berguru pada tulisannya, dengan semangat Ekalaya belajar memanah di depan patung Mahaguru Dorna. Tanpa menjadi murid langsung, Ekalaya bisa mengalahkan Arjuna. Meski tentu saja ini tidak berlaku bagi saya.
Menyulap benda
Saya biasa menunjuk jasa SDD dengan sajak
”Mata Pisau”:
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Jasa seperti apa? Bahwa SDD membuat sajak tanpa mengandalkan ”curahan perasaan” yang hanya menghasilkan melankoli puber, spiritualisme klise, maupun kekenesan bahasa meliuk dan mendayu, melainkan sekadar menghidupkan benda-benda mati.
SDD memanfaatkan perbendaharaan bahasa tanpa perlu membolak-balik kamus, cukup yang ada di koran dan jalanan saja. Begitu pula cara penulisannya, tidak seperti ”disastra-sastrain”, bukan? Ibarat kata, anak sekolah dasar mengerti belaka setiap barisnya.
Jadi, jika istilah ”susastra” masih dianggap perlu, bagaimana bisa jadi susastra? Tentu cara memandangnya bahwa dari pisau di atas meja bisa dilahirkan suatu pernyataan, yang sudah diketahui semua orang: bisa untuk mengiris apel, bisa untuk menggorok leher. Namun, SDD menghidupkannya, pisau itu menjadi ia yang berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. Suatu pernyataan konkret, nyaris bukan sajak!
Dengan kemungkinan yang digalinya ini, SDD membebaskan susastra dari beban makna ”serem”, seperti adiluhung, agung, indah, ”estetis”, dan semacamnya. Perhatikan sajak ”Tuan” ini:
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Kedekatan dengan Tuhan artinya Tuhan juga bisa diajak bercanda dan memang hanya yang begitu dekatlah mampu melakukannya.
Karakter sederhana
Suatu kali, saya ingat SDD berkata: ”Orang itu tahunya saya cuma menulis satu sajak, ’Hujan Bulan Juni’, padahal yang saya tulis itu banyak.”
Sementara cara penulisan sajaknya berkembang ke segala arah, termasuk menjadi konvensional dengan disiplin persanjakan yang ketat, SDD juga menulis prosa seperti novel, cerita pendek, cerita pendek-pendek sekali. Kemudian juga esai, drama, terjemahan. Sebagai dosen menulis buku teks, kertas kerja, atau laporan hasil penelitian.
Orang itu tahunya saya cuma menulis satu sajak, ’Hujan Bulan Juni’, padahal yang saya tulis itu banyak.
Jika dianggap sebagai penyair, gubahannya menjulang, tidak berarti gubahan dari genre berbeda itu inferior terhadap sajak-sajaknya. Cerita-cerita dalam Membunuh Orang Gila membalikkan semua mitos, terjemahan Puisi Cina Klasik meski dari bahasa Inggris diakui cemerlang, dan drama Ditunggu Dogot disebut N Riantiarno sebagai tantangan serius bagi seorang aktor.
Disertasi doktoralnya, ”Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an” adalah terobosan dalam dunia akademik yang belum berulang. Penting dicatat, dalam kritik, esai, ataupun risalah akademik, bahasa SDD tidak pernah ”pura-pura pintar”. Bahasanya selalu jelas tanpa pretensi merumit-rumitkan persoalan. Ya, sederhana adalah kata kunci untuk karakter SDD.
Mungkin yang bisa disebut konsep susastra SDD dapat digali dari esai ”Sihir Rendra”: Seorang penyair adalah tukang sulap, hidup yang direka-reka penyair dalam sajak adalah sulapan juga. Penyair menyihir dengan dunia rekaan fantastis, yang disusunnya dengan peralatan artistik yang mampu menjadikan dunia ciptaannya sulapan tak bertara. Bukankah ”menghidupkan benda mati” yang dilakukannya adalah juga sulapan?
Kenangan lelaki bertongkat
Begitulah SDD, bukan saja produktivitasnya di usia lanjut seperti lokomotif, dengan kualitas tak pernah anjlok, entrepreneurship-nya sebagai ”boss” penerbitan yang gambar-gambar sampulnya digubah sendiri juga teladan bagi manula. Semestinyalah memberi makna lebih baik bagi istilah ”mental pensiunan”.
Dengan perasaan kehilangan, kini saya kenang: seorang lelaki lanjut usia dengan topi flat cap sedang melangkah dengan tongkatnya, yang kiranya menjadi kenangan abadi saya akan Mas Sapardi. Selamat jalan Mas, sampai jumpa!