Pandemi Covid-19 dan Pelajaran Demokrasi
Lebih dari 40 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menunda pelaksanaan pemilihan umum akibat Covid-19. Pada satu sisi, ada risiko yang harus ditanggung di balik penundaan itu.
Lebih dari 40 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menunda pelaksanaan pemilihan umum akibat Covid-19. Pada satu sisi, ada risiko yang harus ditanggung di balik penundaan itu. Namun, momen ini menjadi saat yang tepat untuk memikirkan kembali solusi efektif, jika di masa yang akan datang pemilu secara langsung tidak dapat dilaksanakan karena faktor bencana nonalam.
Pandemi Covid-19 turut berdampak pada pesta demokrasi di berbagai belahan dunia. Menurut catatan Lembaga Internasional untuk Demokrasi dan Pendampingan Pemilu (International IDEA), hingga pekan pertama April lalu, sebanyak 47 negara di dunia telah menunda tahap pemilihan umum.
Penundaan dilakukan pada berbagai negara di benua Eropa, Asia, hingga Afrika. Pemilihan presiden, wali kota, anggota parlemen, hingga referendum untuk berbagai kebijakan tidak dapat dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan.
Eropa menjadi kawasan dengan penundaan pemilihan umum terbanyak dibandingkan kawasan lainnya. Sejak 1 Maret hingga 8 April lalu, sebanyak 17 negara di Eropa telah memutuskan untuk menunda pemilihan.
Italia adalah salah satunya. Referendum pengurangan anggota parlemen yang dijadwalkan pada 29 Maret 2020 diputuskan untuk ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Italia berencana untuk mengurangi anggota parlemen dari 630 orang menjadi 400 orang dan anggota senat dari 315 orang menjadi 200 orang. Namun, pesatnya pertambahan kasus positif Covid-19 menjadi alasan penundaan referendum ini. Memasuki pekan kedua April, lebih dari 140.000 orang telah terinfeksi Covid-19 di Italia.
Selain referendum, penundaan pemilihan lokal juga dilakukan oleh sebagian negara-negara di Eropa, salah satunya Austria. Pemilihan umum di Vorarlberg yang awalnya akan diselenggarakan pada 15 Maret lalu harus ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Di Benua Afrika, penundaan pemilihan juga dilakukan oleh tujuh negara. Pemilihan anggota parlemen di Etiopia pada 29 Agustus mendatang adalah salah satunya. Hingga 14 April lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat telah terdapat 74 kasus positif Covid-19 di negara itu.
Kondisi yang sama juga dialami oleh 12 negara di Benua Amerika. Di Amerika Serikat, beberapa pemilihan lokal yang dijadwalkan pada Maret hingga Mei 2020 telah diputuskan untuk ditunda.
Amerika Serikat kini memang tengah berjuang mengatasi pandemi Covid-19. Menurut catatan WHO, lebih dari 550.000 orang positif terinfeksi penyakit akibat virus korona baru ini. Namun, belum ada keputusan penundaan pemilihan presiden yang akan dilakukan pada 3 November mendatang.
Di Benua Asia, sebanyak delapan negara juga telah memutuskan untuk menunda pemilihan umum. Penundaan pemilihan anggota parlemen dilakukan oleh Iran, Suriah, dan Sri Lanka. Sementara di Indonesia, penundaan pemilihan juga dilakukan untuk pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan pada 23 September mendatang.
Konsekuensi
Penundaan pemilihan umum ini tentu memberikan beberapa konsekuensi bagi penyelenggara dan peserta pemilu. Konsekuensi harus diambil demi menjaga kualitas penyelenggaraan pemilu.
Bagi pihak penyelenggara, dampak yang harus dirasakan adalah meningkatnya kebutuhan anggaran. Jika tahapan pemilihan harus diulang dari awal, tentu harus diiringi oleh penambahan anggaran yang sebelumnya telah digunakan.
Kendala lainnya adalah dari sisi jumlah daftar pemilih tetap. Jika pemilihan diundur, jumlah orang yang berhak untuk memilih akan mengalami perubahan. Pada pemilihan kepala daerah di Indonesia, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus kembali menyesuaikan daftar pemilih untuk penduduk berusia 17 tahun atau yang sudah menikah sesuai jadwal penundaan yang ditetapkan.
Dampak penundaan juga dirasakan bagi peserta pemilu, baik partai politik maupun calon perseorangan. Bagi negara atau wilayah yang melakukan penundaan sebelum kampanye dimulai, ini tentu akan menjadi kesempatan baik bagi para peserta pemilu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas.
Namun, bagi negara atau wilayah yang telah memasuki masa kampanye, penundaan pemilu tentu berdampak pada biaya politik yang telah dikeluarkan oleh peserta pemilu. Apalagi, jika penundaan dilakukan hingga satu tahun. Kampanye perlu kembali diulang mendekati waktu pemilihan agar memberikan efek elektoral bagi peserta pemilu.
Transisi demokrasi melalui pemilihan umum adalah agenda penting yang tak boleh abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara dari sisi pemilih, dampak penundaan pemilihan yang harus diantisipasi adalah penurunan partisipasi pemilih. Sosialisasi secara masif harus dilakukan agar masyarakat mengetahui jadwal pemilihan. Selain itu, KPU juga perlu memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam memilih. Sebab, meskipun penularan Covid-19 nantinya berhasil diatasi, rasa khawatir berkunjung ke titik keramaian, termasuk TPS, bisa saja masih menghinggapi masyarakat.
Di Indonesia, KPU memang sudah memutuskan untuk menunda pemilihan dengan sejumlah opsi. Opsi pertama adalah penundaan pemilihan yang akan dilakukan pada 9 Desember 2020 mendatang, tanggal yang sama dengan pelaksanaan pilkada serentak 2015 lalu. Opsi ini diajukan dengan pertimbangan masa tanggap darurat Covid-19 yang ditetapkan hingga 29 Mei mendatang.
Sementara opsi lainnya adalah pada tanggal 17 Maret 2021 atau 29 September 2021. Opsi kedua dan ketiga memberi waktu yang lebih panjang bagi persiapan penyelenggaraan setelah Covid-19 berhasil diatasi.
Pada 14 April lalu, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menunda tahapan pilkada pada 9 Desember mendatang. Artinya, sosialisasi masif harus dilakukan sejak Juni jika masa tanggap darurat Covid-19 berakhir pada Mei. Informasi ini harus segera diketahui oleh masyarakat hingga tingkat desa agar dapat menggunakan hak pilihnya di akhir tahun ini.
Baca juga: Menjaga Kualitas Pilkada di Tengah Pandemi Virus Korona
Alternatif
Di balik sejumlah konsekuensi yang harus ditanggung, pandemi ini dapat menjadi saat yang tepat untuk menemukan solusi alternatif dan dapat digunakan dalam jangka panjang jika sewaktu-waktu pemilihan umum harus dihentikan akibat bencana nonalam.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana, beberapa negara telah menggunakan solusi alternatif untuk melakukan pemilu di tengah pandemi Covid-19, salah satunya melalui pos. Namun, ini hanya dapat dilakukan pada negara yang telah mempersiapkan infrastruktur demi menjaga jaminan keamanan surat suara.
Opsi menggunakan pos dalam pemilihan di tengah pandemi Covid-19 salah satunya dilakukan oleh wilayah Bavaria, Jerman, pada Maret lalu. Hal ini dilakukan untuk meredam kerumunan massa.
Pemilihan melalui pos memang memiliki risiko dari sisi jaminan keamanan surat suara. Selain itu, pemilihan melalui model ini juga menuntut keaktifan pemilih untuk mengembalikan surat suara melalui pos kepada penyelenggara pemilihan.
Opsi ini juga membutuhkan logistik dan jaminan keamanan surat suara sejak dikirimkan pada pemilih hingga diterima kembali oleh penyelenggara pemilihan. Namun, hal ini dapat menjadi solusi alternatif yang bisa dipersiapkan jika suatu saat pemilihan harus kembali ditunda akibat bencana nonalam.
Selain pemilihan melalui pos, pemilihan secara elektronik juga dapat menjadi salah satu solusi alternatif. Usulan ini sempat mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara DPR RI, KPU, dan Kementerian Dalam Negeri. Namun, cara ini tidak dapat dilakukan karena belum adanya infrastruktur penunjang.
Pemilihan elektronik memang menjadi hal yang diwacanakan seiring perkembangan demokrasi di Indonesia. Walakin, berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir Desember 2019 lalu, sebanyak 76,2 persen masyarakat masih menginginkan pemilihan secara langsung melalui surat suara. Meski demikian, tak ada salahnya mulai mempersiapkan langkah ini sebagai solusi alternatif jika pemilihan langsung dengan menggunakan surat suara harus ditiadakan karena bencana atau faktor lainnya.
Bagaimanapun, transisi demokrasi melalui pemilihan umum adalah agenda penting yang tak boleh abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Namun, menemukan langkah alternatif juga perlu dilakukan sebagai pegangan bagi demokrasi Indonesia jika dihadapkan kembali dengan situasi serupa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?