Ada kecenderungan kasus korupsi terjadi di periode pertama kepala daerah menjalankan pemerintahannya, bahkan tidak sedikit yang terjadi saat belum genap dua tahun kepala daerah menjabat.
Oleh
Topan Yuniarto
·4 menit baca
Tingginya modal finansial kepala daerah dalam kontestasi pilkada diduga menjadi salah satu penyebab maraknya praktik korupsi oleh kepala daerah. Cacatan Litbang Kompas, ada kecenderungan kasus korupsi tersebut terjadi di periode pertama kepala daerah menjalankan pemerintahannya, bahkan tidak sedikit yang terjadi saat belum genap dua tahun kepala daerah itu menjabat.
Hasil analisis Litbang Kompas terhadap 139 kasus korupsi yang menjerat 121 kepala daerah mengungkap fakta, sepanjang 2004-2019 sebanyak 72,7 persen kasus terjadi pada periode pertama pemerintahan kepala daerah.
Sementara sebanyak 10,8 persen dari 139 kasus korupsi terjadi pada periode kedua pemerintahan. Terdapat pula kasus korupsi yang terjadi setelah kepala daerah selesai menjabat, yaitu sebanyak 16,5 persen.
Terdapat 123 kasus korupsi yang terjadi pada periode pertama pemerintahan kepala daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35,8 persen kasus di antaranya terjadi pada tahun pertama dan kedua jabatan kepala daerah tersebut.
Sementara sebanyak 29,3 persen kasus korupsi kepala daerah terjadi pada masa tahun ketiga dan keempat jabatannya. Selanjutnya, sebanyak 17,1 persen kasus korupsi terjadi pada masa jabatan tahun kelima. Selain itu, terdapat 17,9 persen kasus korupsi terjadi setelah kepala daerah selesai menjabat.
Kasus korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Kendari periode 2017–2022, Adriatma Dwi Putra, misalnya, menjadi gambaran betapa singkatnya masa jabatan seorang wali kota.
Baru 143 hari menjabat, Adriatma ditangkap KPK karena kasus korupsi fee proyek pelaksanaan barang dan jasa yang melibatkan PT Sarana Bangun Nusantara (SBN). Adriatma diduga menerima suap sebesar Rp 2,8 miliar dari Hasmun Hamzah. Suap itu diberikan dalam dua tahap. Pertama, Rp 1,5 miliar dan kedua Rp 1,3 miliar.
Adriatma ditangkap KPK bersama dengan ayahnya, Asrun, pada 27 Februari 2018. Asrun merupakan Wali Kota Kendari periode 2007-2012 dan 2012-2017. Kasus ini menambah panjang deretan korupsi yang dilakukan kepala daerah. Sangat disayangkan, Adriatma yang masih berusia muda masuk dalam pusaran kasus korupsi. Saat dijerat kasus tersebut, Adriatma masih berusia 29 tahun.
Sementara itu, dari 16 kasus korupsi kepala daerah yang terjadi pada periode pemerintahan kedua, delapan kasus di antaranya atau 50 persen kasus korupsi terjadi pada tahun pertama dan kedua jabatan kepala daerah tersebut.
Sementara 25 persen kasus terjadi saat tahun ketiga dan keempat jabatan kepala daerah. Berikutnya, sebanyak 18,8 kasus korupsi terjadi di tahun kelima jabatan kepala daerah. Sisanya, 6,3 persen kasus terjadi setelah kepala daerah usai menjabat pada periode kedua pemerintahan.
Kasus yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 Gatot Pujo Nugroho, misalnya, merupakan kasus korupsi yang terjadi di periode kedua pemerintahan yang berjalan selama dua tahun. Gatot dilantik pada 2013 dan terjerat korupsi pada 2015. Sebelumnya, Gatot merupakan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatra Utara 2011-2013 menggantikan Syamsul Arifin yang terjerat kasus korupsi.
Gatot terjerat kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Pemahaman Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini makin memperkuat bukti jika pada masa awal pemerintahan seorang kepala daerah sangat rawan terseret korupsi.
Berbeda dengan Adriatma yang masih berusia 29 tahun saat terjerat korupsi, Gatot berusia 53 tahun saat terjerat korupsi. Artinya, kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi tidak tergantung pada usia. Namun, kedua kasus itu menunjukkan, masa awal pemerintahan merupakan masa krusial melakukan korupsi.
Penyebab korupsi
Dalam penelitian yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2016, terungkap sejumlah penyebab korupsi yang dilakukan kepala daerah. Temuan BPKP menyebutkan, kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), perekrutan pejabat daerah, pemberian izin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan peraturan daerah (perda).
Selain itu juga ada ada dinasti kekuasaan. Sejumlah faktor ini mendorong kepala daerah melakukan korupsi melalui suap dan gratifikasi.
Selain itu, juga terungkap adanya kolusi antara kepala daerah dan DPRD terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. Misalnya, masalah pembuatan perda, perizinan, lemahnya akuntabilitas, kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, pengelolaan aset, serta pengadaan barang dan jasa. Hal itu semua juga dapat memicu kepala daerah melakukan korupsi.
Kepala daerah juga sering dihadapkan pada kenyataan untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. Kondisi ini menyebabkan kepala daerah mencari celah untuk menciptakan pengeluaran fiktif untuk menutupi biaya tersebut. Akibatnya, kepala daerah cenderung melakukan korupsi untuk kepentingan dinas ataupun untuk kepentingan pribadi.
Pada 23 September 2020, akan digelar pemilu kepala daerah secara serentak di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tentu semua berharap pilkada serentak tahun depan akan menghasilkan pemimpin yang bersih dan tidak mengulang kesalahan yang sama seperti yang dialami kepala daerah sebelumnya.
Semua berharap jangan sampai kepala daerah yang kelak terpilih justru akan menambah rentetan kasus korupsi yang terjadi sejak 2004-2019 dan telah menjerat 15 gubernur, 77 bupati, 3 wakil bupati, 25 wali kota, dan 1 wakil wali kota. (LITBANG KOMPAS)