Salah satu efek samping dalam sebuah kontestasi politik adalah praktik jual beli suara yang melekat dalam proses perebutan kekuasaan dalam politik. Di tengah karakter pemilih yang cenderung emosional dan lebih mengedepankan pada sisi-sisi emosi, politik uang menjadi faktor pengganggu bagi pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Tidak heran jika kemudian pemberian uang atau barang menjelang pemilihan, dinggap sebagai jalan pintas meraih kemenangan.
Praktek politik uang atau jual beli suara merupakan jalan bagi kontestan atau peserta pemilu untuk meraih kemenangan atau kekuasaan melalui jalan pintas. Politik uang atau jual beli suara menjadi cara pintas bagi mereka untuk berkompetisi. Anggapan ini disebutkan oleh 56,6 persen responden yang mengakui hal ini tidak lepas dari semakin kompleksnya kompetisi politik di Pemilu 2019. Dengan digelarnya pemilihan serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden, sedikit banyak juga mengurangi energi dan daya tahan kontestan pemilu, terutama bagi calon anggota legislatif dimana mereka juga berkewajiban mengkampanyekan kandidat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusungnya.
Selain sebagai jalan pintas, alasan praktek politik uang terjadi tidak lepas dari tidak percaya dirinya kandidat maupun partai politik untuk berkompetisi secara fair. Jamak kemudian terjadi di sejumlah daerah, misalnya, ada jual beli suara terkait antara calon jadi dan calon pasti tidak jadi. Namun, semua juga tidak lepas dari kondisi pragmatisme pemilih yang semakin menguat. Hal ini secara lengkap tersajikan dalam tabel di bawah ini terkait pandangan responden tentang alasan yang memyebabkan praktek politik uang dipilih oleh kandidat maupun partai politik untuk memengaruhi pilihan pemilih.
Hasil survei Litbang Kompas juga merekam bagaimana kontestan pemilu, dalam hal ini partai politik menjadi hulu dari semua praktek politik uang atau jual beli suara yang saat ini mengakar dan kuat terjadi dalam masyarakat kita. Selama ini responden hanya mengetahui bahwa
pendanaan partai politik melalui iuran keanggotaan partai. Padahal kebutuhan operasional partai tidak akan tertutupi hanya dengan iuran anggota. Namun menariknya 15,7 persen diantara responden menilai bahwa pendanaan partai politik bersumber dari hasil korupsi uang negara.
Tentu saja anggapan ini wajar mengingat kasus-kasus korupsi, terutama yang terkait dengan proyek-proyek strategis nasional, hampir sebagian besar melibatkan elite-elite partai nasional, termasuk anggota DPR yang kerap menjadi langganan sebagai pihak yang diduga terlibat kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itulah responden menilai maraknya politik uang tidak lepas juga dengan perilaku elite politik partai yang dekat dengan praktek-praktek korupsi tersebut.
Dari survei Litbang Kompas lainnya, terutama soal anggaran partai politik menyebutkan, menguatnya praktik politik kartel oleh partai politik membuat responden berharap partai bisa mandiri dari sisi keuangan. Namun, kenyataannya, banyak pihak menilai, pendanaan partai melalui iuran anggota dan menghimpun bantuan publik (perorangan/perusahaan) seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik belum optimal (Kompas, 5/12/2011).
Partai masih lebih banyak menggantungkan diri pada anggaran negara. Subsidi negara yang diberikan kepada parpol memang tidak sepadan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda partai. Meskipun demikian, hampir mayoritas responden menilai jika negara menanggung penuh pun tidak menjamin akan mengurangi politik kartel yang dimainkan partai selama ini. Harapan publik agar parpol lebih mandiri dalam hal anggaran dengan tidak bergantung pada negara tidak lepas dari upaya memperbaiki citra partai. Dengan partai yang mandiri, akan tercipta kerja-kerja politik yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat melalui panggung demokrasi yang lebih berkualitas. Tentu, kerja-kerja politik yang cerdas dan bersih tanpa politik uang dan jual beli suara rakyat.
Respons Politik Uang
Soal praktik politik uang sendiri direspon secara beragam oleh publik. Namun, lebih menarik lagi jika kita lihat dari latar belakang pendidikan. Faktor pendidikan memang memengaruhi perilaku pemilih dalam merespons politik uang. Meskipun demikian, dari semua tingkat pendidikan, berpeluang sama untuk melakukan dan terlibat jual beli suara sepanjang kesempatan dan peluangnya terbuka. Setidaknya hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat yang menyebutkan sebanyak 50 persen responden dengan pendidikan menengah mengaku akan menerima dan memilih kandidat yang memberinya uang. Hal yang sama dilakukan oleh 25 persen responden pendidikan tinggi dan pendidikan rendah.
Meskipun demikian, dari kelompok responden yang mengaku akan menolak uang yang ditawarkan, sebanyak 25 persen diantaranya adalah responden berlatarbelakang pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan responden berpendidikan tinggi sebenarnya enggan untuk terlibat dalam praktek politik uang atau jual beli suara. Sebagian besar para pelaku lebih banyak berlatarbelakang pendidikan menengah yang rata-rata lulusan sekolah menengah atas. Tingginya respon dari responden berpendidikan menengah ini lebih tinggi dibandingkan kelompok responden berpendidikan rendah dan tinggi.
Sementara itu dari latarbelakang usia, kelompok responden berusia 17-35 tahun atau yang bisa mewakili generasi milenal, sebanyak 37,5 persen mengaku akan menerima tawaran uang atau jual beli suara jika ada penawaran kepada mereka. Angkanya hampir sama dengan kelompok responden berusia 36-50 tahun. Hal ini menjadi sinyal pemilih mula atau mereka yang berangkat dari kelompok milineal justru rentan tergoda praktik jual beli suara ini. Tentu ini menarik menjadi kajian, terutama terkait bagaimana orientasi politik kaum milenial.
Hal ini terlihat juga dari kelompok responden yang mengaku akan menolak jika menghadapi tawaran politik uang atau jual beli suara, sebanyak 37,5 persen diantaranya adalah kelompok responden dari usia milenial. Artinya para pemilih milenial tampak terbelah antara pilihan untuk menolak dan menerima jika dihadapkan pada tawaran uang untuk memengaruhi pilihan politik mereka.
Hal yang sama juga terlihat dari kelompok responden berdasarkan jenis kelamin. Faktor gender tidak berpengaruh kuat membedakan sikap terhadap praktik politik uang. Baik laki-laki maupun perempuan berpeluang sama terhadap godaan menerima maupun menolak pemberian uang atau barang dalam memengaruhi pilihan politik. Meskipun demikian, ada kecenderungan laki-laki lebih berani menyatakan sikapnya untuk menolak dibandingkan responden perempuan. Responden laki-laki juga cenderung lebih berani untuk melaporkan upaya politik uang ke pengawas pemilihan umum dibandingkan responden perempuan.
Artinya memang secara umum, baik perempuan maupun laki-laki, keduanya memiliki bobot yang sama terhadap praktik politik uang. Variabel jenis kelamin tidak memiliki korelasi signifikan terhadap upaya pemberian uang maupun barang. Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-Square Test, dapat diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan kelompok usia responden terhadap perilaku menerima atau menolak politik uang dalam pemilu. Khusus untuk variabel pendidikan, jika dilihat dari kelompok responden yang menolak praktek politik uang jika dihadapkan pada tawaran, memang responden dengan latar pendidikan tinggi cenderung lebih banyak yang menolak.
Maraknya fenomena politik uang juga menunjukkan fenomena ini sudah menjadi hal lumrah dalam konteks sosial di Indonesia. Pemilih cenderung lebih jujur mengakui keterlibatannya dalam praktek jual beli suara ini. Seperti yang diungkap Muhtadi (2018) dalam disertasinya yang menggali soal politik uang dengan menggunakan metode survei eksperimen seperti yang dilakukan di Nikaragua dan Libanon untuk menggali jawaban jujur responden terkait politik uang. Hasilnya, dengan metode survei biasa maupun survei eksperiman, menunjukkan tidak ada perbedaan hasil. Hal ini berarti praktik jual beli suara di Indonesia tidak menjadi sesuatu yang tabu untuk ditutup-tutupi. Tinggal bagaimana kemudian praktik politik uang ini bisa diawasi, khususnya oleh Bawaslu agar tidak menjadi duri dalam daging. Agar kemudian politik uang tidak menggerus kualitas pilihan politik itu sendiri. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)