Otonomi Daerah: Dua Sisi Wajah Desentralisasi
Otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak 1999 telah melahirkan dua sisi kecenderungan, positif dan negatif. Di antara dua sisi itu, tarik-menarik terus terjadi antara kekuatan sentralisasi dan desentralisasi.
Indonesia tercatat sudah tiga kali menerapkan undang-undang terkait otonomi daerah. Sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pergumulan tentang manfaat dan dampak buruk otonomi daerah terus bergulir. Upaya perbaikan lewat perubahan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pun belum cukup memuaskan, sehingga kembali dilakukan perubahan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Setelah tiga kali perubahan perundangan tersebut, kini hanya ada enam urusan yang masih ditangani langsung oleh pemerintah pusat melalui instansi vertikal, yakni urusan keuangan, keagamaan, pertahanan, agama, hukum, dan hubungan luar negeri. Selebihnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai bagian dari agenda demokratisasi, pelaksanaan otonomi daerah ini juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung yang dilakukan sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Selama kurun 2005-2018, sekitar 1500 bupati/walikota dan 100an gubernur telah ditasbihkan untuk memimpin daerah lewat pilkada langsung. Produksi kepemimpinan daerah lewat mekanisme ini sebenarnya telah menjadikan stok pemimpin berlimpah. Tidak semuanya berprestasi, tetapi cukup banyak yang memperlihatkan kualitas kepemimpinan yang menonjol.
Beberapa berhasil menembus kekakuan tradisi birokrat dan menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat, dan mengubah citra pemerintahan daerah yang semula memberikan pelayanan ke atas menjadi pelayanan ke bawah. Pelayanan publik di beberapa tempat berubah menjadi jauh lebih ramah, cepat, dan murah.
Tiga tahun setelah pilkada langsung pertama usai dilaksanakan, cukup banyak terobosan-terobosan dilakukan oleh kepala daerah. Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi kota yang bersih. Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono Sukarno menciptakan sistem yang jauh lebih efisien dengan pemanfaatan teknologi internet.
Wali Kota Solo Joko Widodo berhasil menata taman kota dan memindahkan pedagang dengan pendekatan baru yang memanusiakan manusia. Bupati Blitar Djarot Saiful Hidayat berhasil mengubah birokrasi yang tambun dan lamban menjadi efisien dan cepat.
Selain nama-nama tersebut, tokoh-tokoh lainnya juga layak mendapatkan apresiasi, di antaranya Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Bupati Jombang Suyanto, Bupati Badung Anak Agung Gde Agung, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin, Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma, Bupati Gorontalo David Bobihoe, dan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama.
Setelah itu, makin banyak bermunculan tokoh-tokoh baru yang mengubah wajah daerah menjadi lebih bermartabat. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dinilai membawa perubahan pada wajah kota dan kemajuan, Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo memberdayakan potensi daerah dengan konsep “Bela-beli Kulonprogo.” Lalu nama yang meroket setelah melakukan pembenahan taman kota dan reformasi birokrasi di berbagai lini adalah Tri Rismaharini. Walikota Surabaya ini bahkan tercatat paling aktif melakukan inovasi di pemerintahan kotanya.
Sementara, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas berhasil melakukan perubahan lewat pendekatan budaya dan festival. Kelompok masyarakat Osing yang selama ini terstigmatisasi dan terpinggirkan, kini menjadi ikon utama di panggung budaya Banyuwangi. Selain itu, terdapat bupati/walikota berprestasi lainnya, di antaranya Bupati Tarpin Aripin Arpan, Bupati Malinau Yansen Tipa Padan, Walikota Makassar Muhammad Danny Pomanto, Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo.
Lewat otonomi daerah, tidak saja stok kepemimpinan yang bertambah, budaya juga mengalami perkembangan yang pesat, bahkan bisa disebut sebagai era “Renaisans” Indonesia. Puncak-puncak budaya daerah mengisi ruang-ruang nasional, menjadi kekayaan dan kekuatan dasyat.
Tarian Ratoh Jaroe asal Aceh yang dulu tidak banyak didengar namanya, misalnya, mampu memukau dunia ketika ditampilkan di Asian Games 2018 lalu. Senada dengan itu, Tari Gandrung Banyuwangi bahkan menjadi simbol kekuatan tradisional yang makin moncer di tengah tarikan politisasi agama.
Sisi Gelap Otonomi Daerah
Pada sisi lain, otonomi daerah juga memunculkan sejumlah ekses negatif yang membuatnya kerap ditinjau ulang bahkan sampai ada pemikiran untuk mengembalikan beberapa model ke sistem sebelumnya yang sentralistik. Pada umumnya pemikiran tersebut dipicu oleh realitas pemilihan kepala daerah dan korupsi yang masif.
Pemilihan kepala daerah secara langsung telah memindahkan konflik politik di level parlemen ke level masyarakat. Pilkada juga mempertajam segregasi politik dan kerap menimbulkan perpecahan sosial, ketika agama dan etnisitas dimainkan. Sejumlah contoh buruk pelaksanaan pilkada langsung dan ekses-ekses yang ditimbulkannya sempat menimbulkan wacana perubahan.
Pada tahun 2014 DPR RI pernah menyepakati agar pilkada dikembalikan ke mekanisme sebelumnya, yaitu melalui DPRD. Namun, saat itu aroma politik di DPR memang lebih kental dibanding alasan-alasan yang terkait substansi pilkada. Usul yang dilakukan pascapemilu presiden itu dimunculkan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang kalah dalam pilpres. Kekuatan KMP, yang lebih besar anggotanya di tingkat DPRD, memang berpotensi melahirkan lebih banyak kepala daerah baru dari kelompok ini jika pilkada dilakukan lewat DPRD. Namun, tekanan-tekanan politik dari berbagai kalangan dan daerah memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkannya melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), sehingga pilkada langsung tetap dilakukan.
Belakangan, pada April 2018 lalu wacana pengembalian mekanisme pilkada juga kembali mencuat. Pertemuan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo memunculkan isu rencana pengembalian pilkada melalui DPRD lewat revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Seperti sebelumnya, pro-kontra kemudian berkembang. Sejumlah tokoh, partai, dan pengamat hukum menyatakan persetujuannya, namun tak kurang juga yang menolaknya. Mereka yang setuju beralasan bahwa sistem pilkada oleh DPRD dapat mengurangi angka korupsi dan menghemat biaya penyelenggaraan pilkada langsung yang mencapai Rp 18 triliun sekali pelaksanaan.
Politik biaya tinggi untuk proses pencalonan hingga terpilihnya pemenang juga diduga turut menyumbang pada makin banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan lewat pilkada langsung. Selain itu, penjegalan di tengah jalan terhadap lawan-lawan politik, penyuapan kepada KPUD, korupsi anggaran daerah, pemalsuan dokumen, dan mobilisasi massa serta pemecatan pegawai yang tidak mendukung petahana, juga menjadi bagian dari alasan untuk mengembalikan pillkada ke DPRD.
Sebaliknya, mereka yang menolaknya menganggap persoalan money politics sulit diselesaikan dengan hanya mengembalikan pemilihan ke DPRD. Tidak ada yang menjamin kalau pilkada dilakukan oleh DPRD tidak akan ada politik uang. Belajar dari pilkada sebelum 2005 yang dilakukan DPRD, aroma politik uang juga sangat kental untuk menggalang dukungan anggota legislatif.
Selain itu, pilkada langsung juga telah melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang cukup kokoh berbasis kinerja. Karir Jokowi dari terpilih sebagai Walikota Solo, lalu menanjak ke Gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya mencapai kekuasaan tertinggi di pemerintahan sebagai Presiden RI adalah buah dari pilkada langsung.
Peninjauan Kembali
Meskipun langkah yang nanti akan dilakukan tidak berupa mengembalikan pilkada ke tangan DPRD, namun tampaknya sejumlah revisi memang tetap harus dilakukan. Rasanya sulit menampik adanya perubahan jika kita melihat kecenderungan-kecenderungan yang nyata terjadi dalam realitas pemerintahan daerah hasil otonomi.
Merujuk pada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah kepala daerah dan anggota DPRD yang tertangkap karena korupsi memang cukup mencengangkan. Sejak 2004 hingga Juni 2018, KPK mencatat 19 Gubernur, 87 bupati/walikota, dan 205 anggota DPR/DPRD yang diproses hukum karena dugaan korupsi.
Data ini belum termasuk tertangkapnya 41 anggota DPRD dari Kota Malang, empat anggota DPRD dari Kalimantan Tengah, dan Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan yang juga belakangan ditangkap KPK. Jumlah bupati/walikota yang tertangkap setelah bulan Juni juga terus bertambah. Berdasarkan cacatan Kompas, dalam kurun Januari – Oktober 2018 terdapat 26 bupati/walikota yang tertangkap KPK karena dugaan korupsi.
Tren korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD juga menunjukkan kecenderungan meningkat (lihat grafis).
Berdasarkan analisis terhadap data tahun 2018, terbanyak dari kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah adalah suap terkait proyek pembangunan, baik pembangunan infrastruktur milik pemda maupun swasta (12 kasus). Berikutnya adalah kasus jual-beli jabatan, alokasi APBD, dana otonomi khusus, izin proyek, dan izin operasi. Lainnya yaitu lelang proyek, dan pemerasan terhadap bawahan. Pemerasan ini dilakukan oleh kepala daerah kepada jajaran pejabat di birokrasi di bawahnya karena membutuhkan dana untuk maju kembali dalam pilkada.
Selain persoalan korupsi, otonomi daerah dan pilkada langsung juga telah menciptakan kepala daerah sebagai “raja-raja” kecil yang seringkali memainkan perannya sendiri dan sulit dikontrol oleh pemerintah di atasnya. Baik presiden/pemerintah pusat maupun gubernur tidak bisa langsung menerapkan kebijakannya hingga ke level paling bawah karena terkendala bupati/walikota yang menjalankan kekuasaan menurut kepentingannya sendiri. Gubernur juga semakin sulit dikontrol setelah putusan Mahkamah Konstitusi menghentikan upaya Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan-peraturan provinsi yang bertentangan dengan pusat.
Banyaknya kepala daerah dari unsur partai yang berbeda-beda juga makin menyulitkan sinkronisasi kebijakan. Masing-masing partai berusaha memberi pengaruh atas kebijakan-kebijakan kepala daerahnya, yang membuat kepentingan pemerintah pusat tak serta-merta dituruti oleh pemerintah daerah. Kebijakan yang ditekankan oleh pemerintah pusat agar tiap daerah menerapkan kebijakan satu pintu untuk perizinan usaha, misalnya, belum semua daerah menerapkannya.
Celah-celah perizinan justru tetap dibiarkan tidak transparan sehingga dapat dimainkan baik oleh kepala daerah maupun pengusaha. Peluang-peluang negosiasi di bawah tangan ini pada akhirnya menjadi ladang korupsi yang umum terjadi. Antara izin dengan suap terkait proyek-proyek pembangunan yang kemudian dilaksanakan, biasanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Pilkada langsung juga punya implikasi, siapa saja dari kalangan mana saja dapat terpilih menjadi kepala daerah asal memiliki elektabilitas yang memungkinkannya. Maka aspek popularitas dan kekuatan materi terkadang lebih penting daripada kapabilitas kepemimpinan. Di beberapa daerah, bekas-bekas koruptor tetap dapat menduduki jabatan kepala daerah atau anggota DPRD. Petahana-petahana, meskipun belum tentu telah berhasil memajukan daerahnya, dapat tetap bercokol untuk jabatan kedua lewat pilkada langsung.
Pada Pilkada Serentak 2018 lalu misalnya, dari total 171 pemilihan gubernur, walikota, dan bupati, terdapat 64 kepala daerah petahana yang menang, terdiri dari dua gubernur petahana, 46 bupati petahana, dan 16 walikota petahana.
Jika ditelisik lebih jauh latar belakang peserta pilkada, tampak bahwa kualitas calon cukup meragukan, termasuk calon yang sebelumnya punya pengalaman pernah memimpin daerah. Hal ini, misalnya, terjadi pada level pilkada provinsi. Pilkada provinsi berjumlah 17 dan melibatkan 96 kandidat calon gubernur atau wakil gubernur, namun sebagian besar (49 orang) merupakan sosok yang punya pengalaman menjadi bupati, wali kota, atau wakilnya. Secara kualitas, sebagian sebetulnya tidak memiliki prestasi tetapi berani mencalonkan diri memperebutkan posisi gubernur atau wakil.
Dari hasil kajian Litbang Kompas, Hanya 2 (4,1 persen) dari 49 bupati ataupun wali kota yang mencalonkan yang sebelumnya terbukti mampu meningkatkan rata-rata PDRB Per Kapita dan IPM tahunannya di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya. Hanya 15 (30,6 persen) yang mampu meningkatkan rata-rata PDRB/Kapita tahunannya di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya. Dan, Cuma 13 (29,5 persen) yang mampu meningkatkan rata-rata IPM tahunannya di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya.
Terdapat 15 sosok kepala daerah yang sebenarnya belum mampu membuktikan kepiawaian dirinya dalam persoalan peningkatan ekonomi ataupun kualitas kesejahteraan warganya. Bahkan, ada empat sosok yang tergolong baru menduduki kursi bupati tapi berani mengambil peluang ”naik jabatan” (lihat https://kompas.id/baca/x/politik/2018/01/12/medan-perburuan-bupati-dan-wali-kota/ )
Bacaleg Koruptor
Setali tiga uang dengan calon kepala daerah, para calon anggota DPRD yang akan menjadi mitra kepala daerah juga seringkali memiliki kualitas yang rendah. Bahkan, sejumlah mantan koruptor tetap berpeluang mengisi jabatan sebagai wakil rakyat. Untuk Pemilu 2019 nanti misalnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada Juli 2018 mengemukakan terdapatnya 199 eks koruptor yang ikut mendaftar sebagai anggota DPRD. Dari 199 itu, 30 eks napi korupsi terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 11 provinsi, 148 eks napi korupsi terdaftar di 93 kabupaten, dan 21 eks napi korupsi terdaftar di 12 kota.
Pencantuman bacaleg oleh parpol sudah jelas melanggar peraturan KPU. Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 Pasal 4 ayat (3) berbunyi: “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Namun, putusan Mahkamah Agung (MA) kemudian menganulir peraturan KPU tersebut. MA menyatakan peraturan PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka eks koruptor bisa mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu, yaitu setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik.
Beberapa partai kemudian merevisi pencalonan bacaleg yang pernah terlibat korupsi dan menggantinya dengan orang baru. Namun, hingga KPU menetapkan calon legislatif pada September lalu, masih terdapat 38 eks koruptor yang tercantum di daftar caleg tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Partai terbanyak yang mengusung caleg mantan koruptor adalah Partai Gerindra, 6 calon. Sebaliknya, partai yang sama sekali tak mengusung caleg mantan koruptor adalah PKB, PPP, dan PSI.
Solusi
Meskipun tidak harus berupa mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah kepada DPRD, namun mengubah sistem pemilihan kepala daerah sudah saatnya dilakukan. Perubahan bisa dilakukan lewat mekanisme penjaringan calon. Misalnya, menerapkan standar baku mutu bagi bakal calon kepala daerah. Diterapkannya persyaratan yang fundamental bagi calon kepala daerah, seperti mengerti alur administrasi birokrasi dan mengerti konsekuensi hukum terkait misadministrasi, semakin penting untuk dilakukan.
Selain itu, memperluas penerapan transparansi alur perizinan dengan teknologi informasi yang bisa diakses publik dan dikontrol oleh sistem secara ketat juga makin menjadi keharusan. Beberapa kewenangan kepala daerah yang kontra produktif terhadap kepentingan nasional sudah sewajarnya dapat dikontrol dan pemberian sanksi bagi mereka yang tak mampu menyejahterakan masyarakat perlu mulai dipraktikkan. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)