DPR Memunculkan Era Kegelapan Demokrasi
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dinilai menghadirkan era kegelapan demokrasi pada masa Orde Baru dan Kolonial.
Revisi UU MD3 itu telah dijadikan tameng untuk melindungi kinerja buruk DPR dari kritik masyarakat terhadap mereka.
Kemunduran demokrasi itu muncul pada Pasal 122 UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014. Lewat pasal itu, DPR memberikan wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap orang, kelompok, dan badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
”Pasal itu dirancang untuk menghindarkan DPR dari kritik langsung masyarakat. Itu bisa membuat Indonesia masuk ke dalam era kegelapan demokrasi,” ucap Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pemuda Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu (14/2) di Gedung Dakwah Pimpinan Muhammadiyah, Menteng, Jakarta.
Antidialog mengarah kepada gejala otoritarianisme. Gaya monolog atau narasi tungga itu mengarah kepada era kegelapan demokrasi, seperti era Orde Baru.
Menurut Dahnil, pasal itu mengarah pada gaya monolog atau narasi tunggal. Pemerintah berlindung pada hukum itu tanpa bisa dikritik masyarakat. Gaya tersebut mengarah pada era kegelapan demokrasi, seperti masa Orde Baru. Saat itu kebebasan berpendapat masyarakat dibungkam.
Dahnil menakutkan, revisi tersebut akan mengarah pada isu antidialog dan antidialog itu akan mengarah pada gejala otoritarianisme.
Dahnil mengatakan, niat untuk membungkam itu terlihat dari ketidakjelasan pada batasan pasal tersebut. Pasal itu tidak menjelaskan secara spesifik batas kritik atau menghina. Akibatnya, hal itu bisa dijadikan senjata untuk mengkriminalisasi masyarakat yang berbeda pandangan dengan DPR.
”Kalau ada yang bilang kinerja DPR tidak becus, apakah masuk menghina? Bahaya kalau sampai jadi tafsir seenaknya. Apalagi yang menentukan menghina atau tidak itu MKD, orang-orang DPR sendiri,” ucap Dahnil.
Sementara itu, peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, revisi UU MD3 mengembalikan hukum Indonesia ke zaman kolonial.
”Dulu hukum seperti itu digunakan pemerintah kolonial untuk membungkam aktivis antikolonial, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta pada masanya. Kini cara itu kembali digunakan untuk membungkam masyarakat yang berpandangan lain,” kata Erwin Natosmal Oemar saat diwawancarai, Rabu (14/2) di Hotel Ashley, Jakarta.
Hukum yang dimaksud pada zaman kolonial adalah hukum pasal karet yang bisa jadi alat kriminalisasi pada siapa pun. Menurut Erwin, pasal karet itu mengakar pada dasar hukum haartzail articlen, yang tidak mempunyai standar yang jelas.
Pasal karet terlihat pada revisi UU MD3, pasal penghinaan presiden dalam KUHP, dan UU ITE. Pada zaman kolonial adalah hukum pasal karet jadi alat kriminalisasi.
Erwin mengatakan, pasal karet ini terlihat pada revisi UU MD3, pasal penghinaan presiden dalam KUHP, dan UU ITE. ”Kritik adalah sebuah hal yang wajar dalam negara demokrasi. Melarang kritik berarti melanggar konstitusi dan merusak alam demokrasi,” katanya.
Erwin merujuk pada Pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan, setiap warga negara bebas berhak mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan, secara langsung maupun perwakilan.
Menanggapi itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, pada era keterbukaan sekarang ini DPR tidak boleh menutup mata atas kritik masyarakat. Kritik itu dianggap sebagai vitamin yang menyegarkan kehidupan berdemokrasi.
Namun, terkait hak imunitas dan fungsi MKD, Bambang menjelaskan, DPR tidak akan kebal hukum dan berada di atas hukum.
”Masih banyak yang salah paham sepertinya. Masyarakat tidak perlu khawatir. Kita semua tentu sepakat, setiap profesi selain terikat kode etik dalam menjalankan tugas, harus mendapatkan perlindungan hukum atas kehormatannya, termasuk anggota Dewan,” ucapnya pada Rapat Paripurna DPR, Rabu (14/2).
Tutupi kinerja buruk
Dahnil meragukan keputusan DPR yang takut kehormatannya direndahkan. Menurut dia, kehormatan itu tidak akan hilang karena penghinaan.
”Kehormatan itu hilang kalau tidak bertanggung jawab pada janji-janji kampanye. Misalnya malah melakukan korupsi dan perbuatan melanggar hukum lainnya,” katanya.
Kritik-kritik tajam yang dilontarkan kepada DPR karena kinerja buruk selama ini.
Menurut Dahnil, kritik-kritik tajam yang dilontarkan kepada DPR karena kinerja buruk selama ini. Apabila kinerja DPR bagus, masyarakat akan memuji. Hal itu berdasarkan pada kinerja.
Ketakutan akan kritik, kata Dahnil, diakibatkan oleh nalar egoistik anggota DPR. Nalar itu akan muncul kalau dikritik sehingga memancing kemarahan. Hal itu terjadi karena banyak pejabat pemerintahan yang bernalar rente.
”Seharusnya, kan, pejabat itu melayani publik. Kalau yang bernalar rente itu dekat dengan politik uang sehingga gampang marah kalau dikritik,” katanya.
Sementara, Erwin melihat revisi UU itu dibuat untuk melindungi kinerja DPR yang buruk dari tahun ke tahun. Erwin merujuk pada survei Global Corruption Barometer tahun 2016 yang menyatakan DPR adalah lembaga terkorup.
Survei GCB di Indonesia dilakukan dengan 1.000 responden di 31 provinsi. Hasil survei tersebut, untuk Indonesia, DPR dianggap paling korup.
”Penilaian ini konsisten, setidaknya selama tiga tahun terakhir,” kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko (Kompas, 8/3/2017).
Rangkaian pasal itu bertujuan untuk memagari praktik buruk DPR dengan menyalahgunakan hak imunitas.
”Karena sering jadi sasaran kritik publik dan mereka tidak punya argumentasi kuat. Revisi itu dijadikan tameng untuk melindunginya, kan jadi lelucon,” ujar Erwin.
Selain Pasal 122, Erwin juga meyakini Pasal 245 yang mengharuskan pemeriksaan hukum anggota DPR melalui izin presiden dan MKD. Menurut dia, rangkaian pasal itu bertujuan memagari praktik buruk DPR dengan menyalahgunakan hak imunitas.
Ajukan MK
Erwin menilai seharusnya revisi UU ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, revisi itu inkonstitusional karena melarang hak pendapat yang terdapat pada UUD. ”Kalau dibawa ke MK pasti menang karena jelas-jelas melanggar konstitusi,” tuturnya.
Sementara itu, Dahnil mengatakan, Pemuda PP Muhammadiyah bersama Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum, ILR, dan Kontras akan mengadukan revisi ini ke MK. ”Kami sedang mempertimbangkan untuk pengaduan. Dalam waktu dekat, akan diputuskan,” katanya.
Bambang juga menyarakan, bagi siapa pun yang tidak puas dengan revisi tersebut bisa mengajukan peninjauan kembali lewat MK. (DD06)