Putusan Sengketa Pilpres Dibacakan Senin Ini, MK Diminta Dengarkan Suara Publik
MK diharapkan mendengarkan kegelisahan masyarakat terhadap pelaksanaan Pilpres 2024 yang terwujud dalam ”amicus curiae”.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Senin (22/4/2024) ini. Mahkamah diharapkan mendengarkan kegelisahan publik yang terwujud dalam pengajuan sejumlah pihak sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae). Meskipun tak wajib dipertimbangkan secara hukum, pengajuan amicus curiae harus dipandang sebagai gerakan moral rakyat yang peduli terhadap persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menegaskan, sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden akan digelar pada Senin pagi ini pukul 09.00. Sidang akan digelar untuk dua perkara sekaligus, yakni perkara PHPU yang diajukan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Menurut Fajar, hingga Minggu (21/4/2024), dua pasangan calon presiden dan wakil presiden selaku pemohon telah mengonfirmasi hadir dalam sidang di MK. Mereka adalah pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Delapan hakim MK yang mengadili PHPU pilpres juga telah menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) setelah menggelar sidang sejak 27 Maret hingga 5 April. Selama menangani perkara sengketa hasil pilpres, MK juga menerima lebih dari 33 amicus curiae. Namun, hanya 14 amicus curiae yang akan didalami hakim karena diserahkan sebelum tenggat penyerahan berakhir.
Kalangan masyarakat sipil berharap MK mendengarkan kegelisahan masyarakat yang terwujud dalam bentuk amicus curiae. ”Kekuatan hukumnya sama sekali tidak ada. (Amicus curiae) hanyalah kekuatan moral. Kami melihat ada banyak sekali pengajuan amicus curiae yang masuk ke MK. Ini suatu yang saya kira tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan, mengapa itu terjadi? Itu berarti di Indonesia gerakan masyarakat sipilnya tidak bisa dipandang enteng,” kata Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, dalam jumpa pers, Minggu (21/4/2024).
Sulistyowati merupakan salah satu panelis dalam sidang pendapat rakyat yang digelar sejak Jumat (19/4/2024). Tujuh panelis lainnya adalah pakar pemilu dari Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, peneliti BRIN Siti Zuhro, pemikir kebinekaan Sukidi, Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid, dan pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo.
Sidang pendapat rakyat digelar atas dasar dugaan kuat bahwa Pemilu 2024 memuat jenis kejanggalan yang fundamental. Kejanggalan tersebut mencakup pelanggaran etika dan prinsip keadilan pemilu; pelangaran prinsip netralitas pejabat negara, penyalahgunaan melalui institusi negara dan sumber daya negara, pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu yang mandiri, profesional, berintegritas, serta efektif dan efisien; juga kejanggalan pengondisian skenario satu putaran.
Dalam kesimpulannya, Sulistyowati mengungkapkan, kedelapan panelis menyarankan agar dalam menyelesaikan sengketa Pilpres 2024, MK mengedepankan nilai konstitusi; etika, substansi, dan keadilan dalam proses dan hasil pemilu yang tidak hanya bersifat formalitas; kesetaraan dan keterwakilan warga negara yang terlibat dalam proses demokrasi pemilu; integritas yang anti-KKN; serta penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.
Tak hanya itu, para panelis Sidang Pendapat Rakyat Poros Jakarta-Yogyakarta juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait penyelenggaraan pemilu. Para tokoh itu, antara lain, menyatakan bahwa segala bentuk upaya pengubahan hukum yang dilakukan saat tahapan pemilu merupakan tindakan terlarang dan tidak dapat dibenarkan. Sebab, hal itu memuat konflik kepentingan yang dapat melemahkan integritas pemilu.
Sidang rakyat itu juga menyatakan secara gamblang bahwa Presiden Joko Widodo telah melanggar konstitusi melalui penyalahgunaan kuasa dengan turut campur tangan sebelum, saat, dan setelah pemilu. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengikat presiden pada satu aturan yang dapat membatasi modus manipulasi hukum pemilu, kesadaran pemilih, penghitungan suara, serta manipulasi pemilu yang memanfaatkan sumber daya, seperti anggaran publik dan institusi negara, seperti kepolisian, untuk memengaruhi pemilih.
Pemilu 2024, oleh para panelis sidang rakyat, juga dinilai pemilu yang tidak adil karena praktik politik nepotisme Presiden. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan pencabutan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Zainal Arifin Mochtar dalam sidang pendapat rakyat berharap para hakim MK melakukan terobosan hukum. ”Ketika ada ancaman terhadap demokrasi, mau tidak mau harus mau, perlu ada lompatan cara berpikir yang harus dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi,” ujarnya.
Dalam konteks perkara sengketa pilpres, ia mendorong agar hakim MK menerapkan konsep ex aquo et bono, yakni hakim memiliki ruang untuk membuat putusan, bahkan di luar yang dimohonkan. Hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mencapai hal tersebut.