MK akan membacakan putusan PHPU Pilpres 2024 pada Senin esok. Keabsahan kemenangan Prabowo-Gibran akan ditentukan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keabsahan kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024 akan ditentukan pada Senin (22/4/2024) besok. Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Senin pukul 09.00 WIB. Semua pihak diharapkan dapat menerima apa pun putusan para hakim konstitusi.
MK sudah menggelar persidangan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak 27 Maret hingga 5 April lalu. Sidang didahului dengan pembacaan permohonan dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, kemudian diakhiri dengan mendengarkan keterangan empat menteri Kabinet Indonesia Maju mengenai bantuan sosial (bansos).
Baik Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud meminta MK membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu 2024 yang salah satunya berisi hasil perolehan suara tiga calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) peserta Pilpres 2024. Keputusan itu memuat raihan suara ketiga capres-cawapres yang menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran menang dari dua pasangan lainnya dengan 92.214.691 suara sah nasional.
Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan, MK akan menggelar sidang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden pada Senin esok pukul 09.00 WIB, tepat 14 hari kerja sejak permohonan diregister dalam buku registrasi perkara konstitusi elektronik.
Terkait hal tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono memberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap para pemohon perkara PHPU presiden dan wakil presiden yang sudah meletakkan jalur penyelesaian sengketa politik melalui MK. Langkah tersebut merupakan pilihan yang baik bagi perkembangan demokrasi konstitusional di Indonesia.
Apresiasi juga diberikan kepada sejumlah elemen bangsa, seperti akademisi, tokoh masyarakat, budayawan, dan mahasiswa, yang sudah mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) dalam perkara PHPU pilpres. Bayu melihat fenomena tersebut sebagai bentuk kepercayaan kepada MK untuk menyelesaikan perkara PHPU pilpres.
Namun, mengingat perkara PHPU bersifat interpartis adversarial yang berkenaan dengan kalah menang ataupun kabul tolak, tentu tak akan bisa mewadahi keinginan semua pihak. ”Di sinilah letak kedewasaan kita dalam menjadi negara hukum diuji coba. Ketika kita sudah memercayakan kepada MK, apa pun putusannya, berarti kita sudah siap untuk menerima dan menghormati putusan yang bersifat final itu,” kata Bayu saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/4/2024).
Hal terpenting, menurut dia, proses persidangan yang berlangsung selama ini telah berjalan sesuai dengan hukum acara MK. Bayu melihat, proses persidangan MK sudah dilakukan dengan menampung partisipasi yang sedemikian luas. Bahkan, dalam persidangan PHPU pilpres kali ini, MK di luar ekspektasi banyak orang telah memanggil empat menteri. Hal semacam itu belum pernah terjadi pada perkara yang sama sebelum-sebelumnya.
”Dalam persidangan PHPU pilpres tidak terjadi yang semacam itu, kemudian MK juga memberi ruang adanya kesimpulan (dari pihak masing-masing), kemudian mempertimbangkan 14 amicus curiae yang diajukan sebelum 16 April pukul 16.00. Artinya, dari aspek prosedur, saya melihat persidangan sudah sesuai dengan hukum acara MK. Artinya, sudah bersifat persidangan yang modern dan tepercaya,” katanya.
Menjawab semua dalil
Apa pun putusan yang diambil MK nantinya, menurut Bayu, menjadi kewajiban bagi hakim konstitusi untuk menjawab semua dalil yang diajukan para pemohon sepanjang relevan dengan perkara PHPU presiden dan wakil presiden. MK juga harus memberikan pertimbangan atas fakta-fakta hukum yang berkenaan dengan dalil tersebut.
Di sinilah letak kedewasaan kita dalam menjadi negara hukum diuji coba. Ketika kita sudah memercayakan kepada MK, apa pun putusannya, berarti kita sudah siap untuk menerima dan menghormati putusan yang bersifat final itu.
”Memang seyogianya dalil-dalil itu dijawab oleh MK. Dengan dijawab itu, kan, kemudian terungkap fakta-faktanya seperti apa. Tidak bisa kemudian amar putusan kabul atau tolak, tapi tidak menggunakan pertimbangan fakta-fakta hukum. Jadi, menurut saya, kata kuncinya, karena banyak dalil yang sifatnya memang sangat prosedural dan dalil yang sifatnya sangat teknis, saya pikir harus dijawab,” ungkapnya.
Hal itu sangat memungkinkan dilakukan oleh MK mengingat waktu kedelapan hakim menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) cukup lama, yakni sejak 16 April. Jawaban terhadap semua dalil/keberatan yang diajukan pemohon penting agar para pihak bisa memahami bahwa putusan yang dikeluarkan memang hanya berdasarkan fakta hukum, bukan hal di luar fakta hukum.
Dalam permohonannya, tim hukum Anies-Muhaimin menilai hasil Pemilu Presiden 2024 tidak sah karena asas pemilu bebas, jujur, dan adil dilanggar. Anies-Muhaimin meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran atau mendiskualifikasi kepesertaan Gibran dalam Pilpres 2024 karena telah melakukan kecurangan. Kecurangan dilakukan melalui pelibatan lembaga kepresidenan, pelumpuhan independensi penyelenggara pemilu, manipulasi aturan persyaratan pencalonan, pengerahan aparatur negara, dan penyalahgunaan anggaran negara.
Tim Anies-Muhaimin juga mempersoalkan 11 tindakan yang dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi dan pelanggaran asas pemilu bebas, jujur, dan adil. Salah satunya KPU sengaja menerima pencalonan Prabowo-Gibran secara tidak sah dan melanggar hukum.
Selain itu, intervensi kekuasaan terhadap penyelenggara pemilu, nepotisme dengan memanfaatkan lembaga kepresidenan, serta pengangkatan penjabat kepala daerah secara masif untuk pemenangan Prabowo-Gibran. Pengkhiatanan lain adalah pelibatan aparatur negara dan kepala desa untuk memenangkan Prabowo-Gibran, intervensi istana, politisasi bantuan sosial, serta kenaikan gaji dan tunjangan Bawaslu pada masa kritis pemilu.
Sementara itu, tim hukum Ganjar-Mahfud mempersoalkan nepotisme Presiden Jokowi yang melahirkan penyalahgunaan kekuasaan secara terkoordinasi guna memenangkan Prabowo-Gibran, kejanggalan daftar pemilih tetap, dan Sirekap. Karena itu, Ganjar-Mahfud meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran dan memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang.