Konflik di Papua Memanas, Komnas HAM Minta Penegakan Hukum Lebih Terukur
Tegaknya supremasi hukum penting untuk menjamin keselamatan dan perlindungan HAM bagi warga sipil ataupun TNI/Polri.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi gangguan keamanan dan kekerasan di Papua terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir hingga menyebabkan banyak korban jiwa. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengecam segala aksi tersebut dan meminta kepada aparat TNI/Polri agar penanganan konflik di Papua lebih terukur untuk menjamin keselamatan warga sipil ataupun aparat.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, dalam kurun waktu Maret hingga April 2024, setidaknya ada 12 peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua. Kekerasan ini tak hanya menyasar anggota TNI/Polri, tetapi juga warga sipil.
Dari 12 peristiwa tersebut, empat warga sipil dan lima anggota TNI/Polri mengalami luka. Kemudian, delapan orang meninggal, yang terdiri dari lima anggota TNI/Polri dan tiga warga sipil (satu dewasa dan dua berusia anak-anak). Tak hanya itu, dua perempuan juga ikut menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro melalui keterangan tertulis, Minggu (14/4/2024), mengatakan, Komnas HAM menyatakan keprihatinan dan memberikan atensi atas kasus-kasus konflik di Papua. Pihaknya pun mendesak kepada aparat TNI/Polri agar penegakan hukum di Papua lebih transparan dan akuntabel.
”Komnas HAM mengecam segala bentuk dan tindakan kekerasan yang kerap terjadi di Papua. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa siapa pun dapat menjadi korban akibat konflik dan kekerasan yang kerap terjadi di Papua,” ujar Atnike.
Setidaknya, ada tiga kasus terakhir yang ramai di publik. Pertama, kekerasan seksual terhadap dua perempuan di Nabire serta pembunuhan terhadap Komandan Rayon Militer (Danramil) 1703-04/Aradide di Kabupaten Paniai, Papua Tengah, yang diduga dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pada 10 April 2024.
Kemudian, kontak tembak antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, pada 1 Maret 2024 dan 8 April 2024, mengakibatkan korban jiwa terhadap warga sipil yang masih berusia anak-anak.
Terhadap segala kasus itu, Komnas HAM mendesak aparat agar mengusutnya secara transparan. Penegakan hukum di Papua pun diharapkan bisa lebih terukur terhadap pihak-pihak yang terlibat demi tegaknya supremasi hukum. Hal ini penting untuk menjamin keselamatan dan perlindungan HAM bagi warga sipil, dan juga aparat TNI/Polri yang bertugas di lapangan.
”Komnas HAM juga mendorong adanya evaluasi pada tataran operasi, komando, dan pengendalian keamanan dalam penanganan setiap kekerasan bersenjata di Papua untuk memperbaiki kebijakan keamanan di Papua,” ucap Atnike.
Atnike mengingatkan, pelanggaran HAM dapat terjadi apabila negara menggunakan kekuatan berlebih (excessive use of force) tanpa mempertimbangkan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Negara harus dapat memastikan penegakan hukum yang adil bagi korban. Pemerintah juga perlu mengedepankan penegakan hukum terhadap setiap pelaku kekerasan di Papua.
Komnas HAM juga mendorong adanya evaluasi pada tataran operasi, komando, dan pengendalian keamanan dalam penanganan setiap kekerasan bersenjata di Papua untuk memperbaiki kebijakan keamanan di Papua.
Komnas HAM mendorong pemerintah untuk terus mengupayakan penguatan ekosistem damai di Papua dengan menjamin adanya layanan publik yang prima dalam hal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perekonomian lokal. Hal ini penting untuk menekan eskalasi konflik dan kekerasan di Papua.
”Komnas HAM kembali menekankan standar perlindungan HAM, baik dalam situasi konflik maupun nonkonflik. Bahwa semua pihak, baik aparatur sipil, aparat keamanan, maupun kelompok sipil bersenjata harus menjamin keselamatan warga sipil,” kata Atnike.
Pendekatan komprehensif
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, berpandangan masalah Papua harus diselesaikan secara komprehensif, bukan hanya dengan pendekatan angkat senjata. Pemerintah harus berupaya melakukan pendekatan, tak hanya pendekatan ekonomi, tetapi juga kultural hingga agama.
”Masalah di Papua tidak semata-mata diselesaikan secara militeristis. Itu terbukti malah meningkatkan eskalasi konflik di sana. Dengan segala kompleksitas sosial dan demografinya, penyelesaian konflik di Papua harus mengedepankan pendekatan penanganan konflik yang sistematis,” ucap Dave.
Dengan segala kompleksitas sosial dan demografinya, penyelesaian konflik di Papua harus mengedepankan pendekatan penanganan konflik yang sistematis.
Anggota DPD dari Papua, Yorrys Raweyai, sangat menyayangkan aksi-aksi TPNPB-OPM yang justru menyasar orang asli Papua, bahkan anak-anak dan perempuan. Menurut Yorrys, ini perbuatan yang keji dan tak bisa ditoleransi.
Untuk itu, Yorrys meminta pemerintah melalui aparat yang berwenang secara serius dan konsisten memberangus KKB hingga ke akar-akarnya. Hal ini mendesak dilakukan dalam rangka menjaga situasi kondusif di Papua. Hal itu juga dilakukan guna menjamin agar akselerasi perubahan melalui serangkaian kebijakan otonomi khusus di Papua dapat berlangsung dengan baik.
”Pemerintah melalui aparat yang berwenang harus mengambil langkah-langkah terukur dan terencana yang mampu mengembalikan kepercayaan publik Papua dan menjamin tatanan kehidupan yang aman dan kondusif dalam merespons teror demi teror yang dilakukan TPNPB-OPM,” kata Yorrys.