Tak Sekadar Mudik dan Silaturahmi, Idul Fitri Mesti Diwujudkan dalam Hal Bermakna
Idul Fitri mesti diwujudkan dalam hal bermakna dan berbingkai nilai etika moral luhur, seperti keadilan dan kejujuran.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Idul Fitri perlu dirayakan dengan melakukan perubahan demi kebaikan bersama. Persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pijakannya. Idul Fitri tak cukup diwujudkan hanya dengan mudik dan silaturahmi, tetapi ke depan juga mesti ada hal yang bermakna bagi masyarakat dan bangsa.
Hal ini disampaikan dalam kotbah Idul Fitri 1 Syawal 1445 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (10/4/2024). Kotbah dibawakan Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Prof KH Abd A'la Basyir.
Salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal ini dipimpin H Ahmad Husni Ismail. Di masjid ini Presiden Joko Widodo dan Nyonya Iriana serta Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Nyonya Wury menunaikan shalat Idul Fitri.
Selain itu, tampak juga menunaikan shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Setelah menunaikan ibadah Ramadhan, menurut Abd A'la, pintu ampunan terbuka seluas-luasnya. Manusia pun kembali fitrah. Oleh karenanya, hal ini perlu disyukuri, baik dengan pengakuan hati, lisan, maupun tindakan.
”Selain melalui tahmid, takbir, dan sejenisnya, juga tidak kalah penting melalui kegiatan nyata dengan mengaktualisasikan dan membumikan segala anugerah Allah ke dalam kehidupan sosial yang dapat memberikan kebaikan dan kemaslahatan bersama,” tuturnya.
Hal ini menjadikan syukur transformatif yang diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua itu dapat dilakukan dengan mendorong upaya membangun, mengembangkan peradaban bangsa, dan menyejahterakan bangsa. Secara lebih luas, upaya ini juga mencakup kebaikan secara global.
Oleh karena itu, Abd A'la menuturkan, syukur transformatif memerlukan pijakan kuat. Persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh adalah kuncinya.
Dalam kondisi terpecah belah, sulit untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Suasana penuh permusuhan juga tak akan menghasilkan karya besar untuk masyarakat dan bangsa, apalagi untuk kehidupan.
”Keterpecahbelahan identik dengan kelemahan, dan permusuhan identik dengan kehancuran,” tambahnya.
Dicontohkan, Piagam Madinah sebagai konstitusi negara kota Madinah yang disusun Nabi Muhammad SAW memperlihatkan dengan jelas tentang kewajiban negara Madinah untuk menegakkan persatuan dan kesatuan. Tak hanya menegaskan sebagai sesama, disebutkan pula kewajiban yang sama termasuk saling menolong dalam piagam tersebut.
”Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) harus tolong menolong (terutama) dalam menghadapi musuh warga Madinah,” tutur Abd A'la menyitir terjemahan salah satu pasal dalam Piagam Madinah.
Keberagaman, baik dari sisi suku, agama, maupun lainnya tetap merupakan unsur bangsa yang harus mengedepankan persatuan dan kesatuan. Selain itu, setiap unsur bangsa juga harus saling membantu satu sama lain.
Sehubungan hal itu, menurut Abd A'la, Idul Fitri tak cukup diwujudkan hanya dengan mudik dan silaturahmi. Ke depan, perlu ada hal yang bermakna bagi masyarakat dan bangsa.
Keterpecahbelahan identik dengan kelemahan dan permusuhan identik dengan kehancuran.
Hal ini mulai pemberdayaan warga, terutama yang selama ini terpinggirkan. Dan, semua hal ini juga harus diletakkan dalam bingkai nilai-nilai etika moral luhur berupa keadilan, kejujuran, kedamaian.