Keberadaan 800.000 masjid serta 200.000 mushala, langgar, dan surau berpotensi memberdayakan ekonomi kerakyatan di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah. Sinergi antarpihak dibutuhkan untuk mewujudkan potensi itu.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Pameran Batik Bordir & Aksesoris Fair 2021 di Grand City, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/3/2021). Pameran yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Jawa Timur ini untuk memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM) bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.
Minaret atau menara masjid yang tinggi adalah tempat mengumandangkan azan. Namun, menara itu juga memiliki fungsi kontrol sosial. Dahulu, para sahabat Nabi Muhammad SAW naik ke ketinggian menara masjid untuk melihat rumah mana yang dapurnya tidak pernah berasap.
Mereka lalu turun mendatangi penghuni rumah itu untuk menanyakan kenapa dapurnya tidak pernah berasap. Ketika diketahui di rumah itu tidak ada bahan makanan untuk dimasak, perhatian dan bantuan dapat digalang agar dapur warga yang berkekurangan itu kembali berasap.
Gambaran mengenai fungsi menara masjid dalam ikhtiar membangun kesalehan sosial itu disampaikan Imam Besar Masjid Istiqlal selaku Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) KH Nasaruddin Umar. Hal ini diungkapkannya pada acara penandatanganan nota kesepahaman bersama antara BPMI dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid, Kamis (25/3/2021).
Pada kesempatan tersebut disampaikan pula berbagai fungsi masjid di zaman Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah masjid sebagai tempat pendidikan dan pusat keterampilan aneka jenis kerajinan dan pertukangan. Sebut, misalnya, pertukangan besi, batu, kayu, dan penyamakan kulit. Dalam tempo tiga tahun, kerajinan yang dihasilkan di kompleks masjid itu mampu diperdagangkan ke luar negeri alias diekspor.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Tangkapan layar saat Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar memberikan sambutan pada acara penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan Badan Pengelola Masjid Istiqlal tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid, Kamis (25/3/2021).
Kini, ada gagasan dan ajakan menjadikan Masjid Istiqlal sebagai contoh dalam pengembangan sosial ekonomi–termasuk ekonomi mikro–masyarakat ke depan. Ada potensi luar biasa dari sekitar 800.000 masjid dan 200.000 mushala, langgar, serta surau di Indonesia dinilai dahsyat apabila disinergikan.
Kementerian Koperasi dan UKM juga akan melakukan kurasi terhadap produk-produk UMKM di kompleks Masjid Istiqlal yang luasnya mencapai 12 hektar. Model rujukan pemberdayaan sosial dan ekonomi umat di Masjid Istiqlal diharapkan dapat meluas. Bahkan, langkah pemberdayaan ekonomi umat ini pun dinilai dapat diterapkan di rumah-rumah ibadah lainnya.
Pemberdayaan UMKM berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Selama ini, peran UMKM tergambar, antara lain, melalui kontribusi UMKM dalam menyerap sekitar 97 persen dari total tenaga kerja nasional. Selain itu, sektor UMKM juga memberi sumbangan terhadap produk domestik bruto yang sekitar 60 persen.
Sektor UMKM juga berkontribusi sekitar 14 persen terhadap ekspor nasional. Menimbang jumlah UMKM yang mencapai 99 persen dari total populasi usaha di Indonesia, semestinya masih terbuka ruang untuk meningkatkan peranan segmen ini.
Akan tetapi, dukungan bagi pelaku UMKM dibutuhkan menimbang berbagai tantangan yang masih dihadapi para pelaku di segmen ini dalam mengoptimalkan potensinya. Tantangan dimaksud, misalnya, terkait dukungan pembiayaan dari perbankan dan lembaga keuangan.
Kementerian Koperasi dan UKM mencatat porsi kredit perbankan untuk UMKM di Indonesia baru sekitar 20 persen. Persentase ini terbilang kecil dibandingkan porsi kredit untuk UMKM di Singapura yang mencapai sekitar 39 persen, Thailand 50 persen, Malaysia 51 persen, Jepang 66 persen, dan Korea Selatan 81 persen.
Tantangan lain yang dihadapi UMKM setahun terakhir adalah pandemi Covid-19 yang telah memukul berbagai kegiatan usaha. Merujuk data Bank Pembangunan Asia (ADB) pada September 2020 sebanyak 48,8 persen UMKM Indonesia menutup usaha dan 37,9 persen mengalami penurunan pendapatan di atas 30 persen.
KOMPAS/SUPRIYANTO
Supriyanto
Sebanyak 51 persen UMKM melakukan pemutusan hubungan kerja dan 52,4 persen tidak memiliki uang serta tabungan. Sebanyak 10,9 persen UMKM merespons melalui penundaan kontrak dengan pemasok.
Para pelaku UMKM yang meminta penundaan pembayaran pajak mencapai 19,6 persen dan meminta penundaan pembayaran kepada institusi keuangan 46,9 persen. Sebanyak 20,8 persen pelaku UMKM pun mengajukan kebangkrutan.
Kebersamaan semua pihak dalam membantu UMKM dengan segenap tantangannya tersebut dibutuhkan agar segmen ini mampu bertahan di masa pandemi Covid-19. Harapannya, secara perlahan, tetapi pasti, kegiatan usaha pelaku UMKM kembali lancar berputar demi mempercepat pemulihan ekonomi nasional.