Orang tak takut korupsi karena hukumannya ringan dan cepat keluar dari penjara. Akibatnya, korupsi semakin merajalela.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
Sejumlah narapidana bersiap melaksanakan shalat Idul Fitri 1444 Hijriah, Sabtu (22/4/2023). Sebanyak 207 narapidana di rutan itu menerima remisi Hari Raya Idul Fitri.
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya lembaga pemasyarakatan yang mengusulkan sejumlah narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi pada hari raya Idul Fitri 1445 Hijriah, hal itu akan menghilangkan efek jera melakukan tindak pidana yang sama. Orang jadi tidak akan takut melakukan korupsi karena hukumannya dinilai sangat ringan.
Sebagaimana diberitakan, beberapa lembaga pemasyarakatan mengusulkan sejumlah narapidana korupsi mendapatkan remisi pada hari raya Idul Fitri 1445 H. Saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/4/2024), Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Deddy Eduar Eka Saputra mengatakan, usulan tersebut akan disetujui sepanjang memenuhi persyaratan administratif dan substantif.
”Pertimbangannya adalah berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan dan penurunan tingkat risiko,” kata Deddy. Saat ditanya berapa jumlah narapidana kasus korupsi yang diusulkan mendapatkan remisi, ia tidak menjawab.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Zaenur Rohman, memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
Tak Takut Berbuat Korupsi
Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, remisi untuk narapidana tindak pidana korupsi akan menghilangkan efek jera. Sebab, hukuman bagi narapidana tindak pidana korupsi relatif sudah rendah.
Meskipun perampasan aset lebih penting untuk memberikan efek jera, tetapi pidana badan juga dibutuhkan. ”Dengan adanya remisi ini, warga binaan lembaga pemasyarakatan lebih cepat keluar. Dengan lebih cepat keluar, orang semakin tidak takut melakukan korupsi,” kata Zaenur.
Dengan lebih cepat keluar, orang semakin tidak takut melakukan korupsi.
Ia menjelaskan, remisi itu bisa diberikan kepada narapidana kasus korupsi karena adanya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Di dalam peraturan tersebut, ada pembatasan-pembatasan untuk pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, dan sebagainya. Mereka harus bersedia, di antaranya bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya serta membayar lunas denda dan uang pengganti.
Pascapencabutan aturan tersebut, semua pelaku kejahatan itu sama dan tidak ada perbedaan dalam pemberian remisi. Akibatnya, narapidana kasus korupsi semakin mudah menerima remisi.
Zaenur mengingatkan, pemberian efek jera itu penting. Sebab, saat ini pengembalian kerugian keuangan negara di Indonesia masih rendah.
Korupsi semakin marak
Tidak adanya perbedaan syarat antara pelaku korupsi dan pidana lainnya menunjukkan bahwa politik hukum negara saat ini tidak menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Padahal, korupsi perlu penanganan, perlakuan, dan pemberantasan yang luar biasa.
Dengan tidak adanya efek jera, korupsi akan semakin banyak terjadi. Keresahan itu terpotret dari menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia tahun 2023 stagnan di angkat 34 dengan nilai maksimal 100. Peringkat Indonesia merosot lima tingkat, yakni 110 dari 180 negara kini menjadi peringkat ke-115. Skor IPK 34 sama dengan skor Indonesia di 2014.
”Ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah di dalam melihat persoalan korupsi dan bagaimana cara menanggulanginya. Jika masih akan seperti ini terus, saya akan skeptis bahwa korupsi bisa diberantas dalam waktu cepat. Alih-alih memberantas korupsi dalam waktu yang cepat, justru korupsi semakin merebak karena semakin hilangnya efek jera,” kata Zaenur.