Pakar Hukum Tata Negara Sebut MK Bisa Pertimbangkan Diskualifikasi Gibran
Dua pakar HTN menyebut opsi diskualifikasi kandidat bisa dipertimbangkan MK jika ada dalam permohonan sengketa pilpres.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengajar hukum tata negara menilai opsi mendiskualifikasi kemenangan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka dalam putusan sengketa hasil pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi terbuka. Meskipun demikian, mereka tidak yakin komposisi delapan hakim konstitusi yang ada saat ini berani mengambil opsi tersebut.
Dosen hukum tata negara (HTN) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar saat dihubungi, Senin (8/4/2024), berpendapat, semua kemungkinan bisa saja terjadi dalam putusan sengketa hasil pilpres di MK. Sebab, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar hukum pencalonan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, adalah akar masalah dari kekisruhan yang didalilkan pemohon, baik pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) maupun pasangan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Gama).
MK bisa mengoreksi putusan yang kontroversial itu sehingga konstitusi dan demokrasi kembali pada relnya. ”Probabilitas yang pernah disebut oleh Denny Indrayana itu mungkin. Tetapi, kalau melihat dari konsistensi MK menangani perkara itu, MK sudah punya kesempatan untuk membatalkan Putusan 90, tetapi tidak digunakan. Padahal, kalau itu dibatalkan, putusan sengketa hasil pilpres itu akan jauh lebih smooth,” ujar Zainal.
Semua kemungkinan bisa saja terjadi dalam putusan sengketa hasil pilpres di MK. Sebab, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar hukum pencalonan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo, adalah akar masalah dari kekisruhan yang didalilkan pemohon.
Diskualifikasi Gibran
Sebelumnya, Senior Partner Integrity Law Firm Denny Indrayana dalam kolom Opini di Kompas, Kamis (4/4/2024), menuliskan, opsi lain yang perlu dipertimbangkan (oleh MK) adalah penerapan Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945, yaitu mendiskualifikasi kemenangan cawapres Gibran Rakabuming Raka sehingga terjadi kekosongan kursi wakil presiden. Lalu, ”Selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden”.
Opsi tersebut dinilai sebagai solusi jalan tengah yang mempertimbangkan kepastian hukum hasil suara pemilu, tetapi juga tidak menafikan ada persoalan pelanggaran moral konstitusional dalam pencalonan Gibran.
Opsi tersebut pun, menurut Denny, sangat terbuka, terutama jika yang dapat dibuktikan hanyalah isu konstitusionalitas pencalonan Gibran, tetapi kecurangan pemilu yang lain dinyatakan tidak terbukti. Ia juga menduga, opsi ini akan didukung oleh mayoritas kekuatan politik (Kompas, 4/4/2024).
Putusan Perselisihan Hasil Pemilu Pilpres yang menurut rencana dibacakan pada 22 April itu bisa memenuhi rasa keadilan bagi para pemohon.
Zainal berharap putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres yang, menurut rencana, dibacakan pada 22 April itu bisa memenuhi rasa keadilan bagi para pemohon. Lebih spesifik, ia berharap Putusan Nomor 90 dibatalkan oleh MK untuk menjaga konstitusi.
Walakin, keraguan bahwa MK berani mengambil opsi itu juga terbuka. Sebab, selama sidang pemeriksaan PHPU Pilpres di MK, ia melihat proses persidangan tidak terlalu lapang. Padahal, hal yang mau dibuktikan sangat serius, seperti cawe-cawe Presiden Jokowi dalam kontestasi sirkulasi elite nasional tersebut. Sidang cepat (speedy trial) itu pun pada akhirnya tidak bisa meng-cover dalil-dalil yang ingin dibuktikan pemohon.
”Hakim konstitusi memang tidak memutus perkara di ruang kosong. Mereka tidak hanya sekadar makhluk hukum, tetapi juga makhluk politik. Oleh sebab itu, peta pertarungan di rapat permusyawaratan hakim (RPH) juga harus dilihat dari karakteristik hakim yang merupakan politikus murni, pembaru hukum, dan mereka yang bermain di tengah. Siapa kira-kira yang akan menjadi penentunya?” kata Zainal.
Hakim bisa mempertimbangkan
Pengajar HTN di Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura berpandangan, sepanjang opsi itu ada dalam permohonan yang dimohonkan, mahkamah bisa mempertimbangkan. Walakin, di dalam doktrin hukum, MK juga tidak boleh membuat putusan yang melampaui atau di luar permohonan (ultra petita). Permohonan yang diajukan harus dipertimbangkan, tetapi mahkamah juga bisa membuat putusan sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa diskualifikasi bisa dilakukan sepanjang mahkamah melihat ada aspek keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukumnya.
”Opsi-opsi itu (opini Denny Indrayana) itu sangat memungkinkan karena semuanya punya argumentasi. Ada yang mengatakan bahwa diskualifikasi bisa dilakukan sepanjang mahkamah melihat ada aspek keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukumnya,” kata Charles.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas itu menambahkan, dari aspek keadilan, mahkamah bisa mempertimbangkan aspek keadilan, apakah adil jika yang melanggar itu satu orang, tetapi MK kemudian mendiskualifikasi dua-duanya.
Diskualifikasi salah satu pasangan calon dimungkinkan jika alasannya adalah yang bersangkutan tidak memenuhi syarat pencalonan. Bukan pada aspek pelanggaran etik dalam Putusan Nomor 90.
”Salah satu pasangan calon yang dalam perjalanan justru menemui persoalan atau kemudian menghadapi kendala hukum. Ini bagi saya yang menjadikan alasan bahwa yang bersangkutan bisa digugurkan tanpa merugikan pasangan calon yang satunya,” paparnya.
Mekanisme ketatanegaraan
Jika opsi diskualifikasi salah satu pasangan calon itu benar-benar diambil oleh MK, menurut Zainal, MK juga harus melakukan penemuan hukum baru untuk terobosan masalah itu. Ia menilai masih ada kekosongan hukum apabila salah satu capres atau cawapres didiskualifikasi.
MK juga harus melakukan penemuan hukum baru untuk terobosan masalah itu. Ia menilai masih ada kekosongan hukum apabila salah satu capres atau cawapres didiskualifikasi.
Menurut Zainal, terobosan hukum yang tepat secara ketatanegaraan adalah pemungutan suara ulang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mengapa hal itu tepat? Sebab, ia berpandangan, masih dimungkinkan pergantian pasangan calon dengan pergantian koalisi partai politik pengusung dan pendukung. Selain itu, dari sisi waktu, pemilu ulang juga dimungkinkan dengan asumsi bahwa pemilu yang lalu akan berlangsung selama dua putaran.
”Jika Gibran didiskualifikasi, wakil dari Prabowo bisa diganti, kemudian ada pemilu ulang yang diikuti tiga pasangan calon lagi dengan komposisi yang berbeda. Menurut saya, ini dimungkinkan secara ketatanegaraan,” kata Zainal.
Opsi yang kedua adalah tetap melanjutkan melantik Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih RI dengan suara terbanyak pada Pilpres 2024. Kemudian wakil presiden yang telah didiskualifikasi dipilih melalui rapat di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jadi, tidak perlu digelar pemilu ulang, tetapi wapres diisi melalui mekanisme penunjukan di MPR.
Jika Gibran didiskualifikasi, wakil dari Prabowo bisa diganti, kemudian ada pemilu ulang yang diikuti tiga pasangan calon lagi dengan komposisi yang berbeda. Menurut saya, ini dimungkinkan secara ketatanegaraan.
Sementara itu, Charles berpandangan, jika Gibran didiskualifikasi, MK bisa memerintahkan KPU untuk membuka lagi pendaftaran untuk mengisi pendamping Prabowo. Jika sudah ada yang dicalonkan, bisa digelar pemilu ulang. Hal itu pernah terjadi saat MK menangani sengketa hasil pilkada di Boven Digoel, Papua. Saat itu mahkamah memberhentikan semua proses pemilu, kemudian pemilunya diambil alih oleh KPU.
”Mekanisme pemungutan suara ulang bisa dilakukan, tapi perlu waktu untuk penggantian kandidat, sosialisasi, pencetakan surat suara, dan sebagainya. Ini yang harus ditimbang secara teknis karena menyiapkan pencoblosan ulang itu tidak mudah juga dengan sisa waktu yang ada,” kata Charles.
Mekanisme penunjukan wapres di MPR, ujar Charles, dimungkinkan apabila Prabowo tetap menjadi pemenang Pemilu 2024, dan dilantik. Ketika sudah menjabat, MPR bisa mengisi jabatan wapres melalui penunjukan dalam sidang MPR, tetapi mekanisme itu cukup sulit secara ketatanegaraan.
”Menurut saya, jika belum dilantik, itu belum masuk ke ranah MPR. Kecuali jika sudah dilantik, tetapi mekanismenya akan sulit juga karena ada tarik-menarik kepentingan di MPR,” katanya.