Membaca Arah Putusan MK
Penentuan batas usia capres-cawapres tak bisa dibandingkan dengan pimpinan KPK karena keduanya dipilih dengan cara berbeda. MK perlu mengembalikan kewenangan penentuan batas usia itu kepada pembentuk undang-undang.
Beberapa minggu terakhir, berseliweran informasi mengenai ”bocoran” tentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian konstitusionalitas syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Beragam informasi yang disampaikan dan semuanya mengklaim memperoleh informasi dari ”dalam”.
Ada yang menyusun informasi itu secara terbuka, lengkap dengan informasi hakim A kabul, hakim B tolak, serta hakim C antara kabul dan tolak. Sebut saja Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengeluarkan informasi ”bocoran” yang lebih cenderung seperti prediksi akan sikap masing-masing sembilan hakim konstitusi.
Namun, ada pula informasi terkait sikap hakim yang dilengkapi dengan proporsinya. Ada informasi yang menyebutkan lima hakim mengabulkan dan empat hakim menolak. Enam hakim kabul, tiga hakim tolak. Ada pula empat hakim kabul, satu hakim kabul sebagian, dan empat hakim tolak.
Informasi yang makin panas, semakin dekat dengan hari pengucapan putusan pada Senin 16 Oktober 2023.
Baca juga: Mahfud: Tunggu Putusan MK, Tidak Usah Meramal
Kompas mencoba menggali sejumlah pendapat pakar hukum terkait substansi permohonan pengujian konstitusionalitas batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun ini. Pandangan para pakar ini tentunya bukan dimaksudkan untuk memprediksi putusan MK, apalagi berisi bocoran putusan meski hanya bocor halus.
Varian permohonan
Saat ini MK menerima sekitar 10 perkara uji materi. Setidaknya ada empat varian permohonan yang diajukan ke MK terkait syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun yang diatur dalam Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Pemilu. Pertama, menurunkan syarat usia minimal capres-cawapres menjadi 35 tahun, 30 tahun, 25 tahun atau 21 tahun. Kedua, meminta MK untuk menetapkan batas maksimal usia capres-cawapres 65 tahun atau 70 tahun.
Selain persoalan usia, ada varian lain yang meminta MK untuk menyatakan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”berusia paling sedikit 40 tahun atau pernah berpengalaman menjadi penyelenggara negara”. Varian keempat, yang terakhir, hampir sama, yakni meminta MK menambahkan frasa ”atau berpengalaman sebagai kepala daerah”.
Dari berbagai varian permohonan yang diajukan, sejumlah pihak menilai sulit bagi MK untuk mengabulkan varian pertama dan kedua, yaitu menetapkan batas bawah dan batas atas usia capres dan cawapres.
Pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, menilai, MK tidak dapat mengabulkan permohonan terkait penetapan batas usia capres-cawapres karena hal itu merupakan open legal policy atau kebijakan pembentuk undang-undang untuk menentukannya. MK seharusnya menghormati ranah kekuasaan lain, yakni DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang.
MK selalu memutus hal-hal yang berkaitan dengan angka atau usia/batas usia sebagai open legal policy.
Baca juga: Prabowo Klaim Duet dengan Gibran Aspirasi Publik
Kebiasaan dalam putusan-putusan sebelumnya, menurut pakar hukum tata negara Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto, MK selalu memutus hal-hal yang berkaitan dengan angka atau usia/batas usia sebagai open legal policy.
Pengecualian dilakukan untuk pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengubah usia minimal calon pimpinan KPK dari semula 40 tahun menjadi 50 tahun yang dimohonkan oleh Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK, lewat perkara 112/PUU-XX/2021). Ghufron yang sudah menjadi pimpinan KPK periode ini menjadi tidak bisa mengajukan diri sebagai pimpinan pada periode berikutnya karena terganjal batas usia minimal yang diatur di dalam UU KPK terbaru.
Dalam putusan 112/PUU-XX/2021, MK mengabulkan permintaan Nurul Ghufron dengan menambahkan frasa ”berusia minimal 50 atau berpengalaman menjadi pimpinan KPK”. ”Kuncinya ada pada pengalaman pada jabatan yang sama,” kata Agus.
Apabila dikaitkan dengan pengujian syarat usia capres-cawapres, khususnya pada varian pernah menjadi penyelenggara negara dan varian pernah menjadi kepala daerah, baik Jimmy maupun Agus berpendapat bahwa hal tersebut tidak bisa disandingkan.
Terlepas dari hal itu, perlu pula kita tengok apa yang dimaksud dengan penyelenggara negara. Mengacu pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat negara lainnya yang memiliki tugas pokok berkenaan dengan penyelenggaraan negara. Nomenklatur jabatan yang dimaksud mencakup: menteri, gubernur-wakil gubernur, wali kota, bupati, hakim, duta besar, dan lain-lain.
Definisi tersebut belum mencakup dengan pejabat negara lainnya yang memiliki fungsi strategis, dalam hal ini adalah pejabat yang rawan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka adalah direksi, komisaris dan pejabat struktural lain pada BUMN/BUMD, pimpinan Bank Indonesia atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pimpinan perguruan tinggi negeri, pejabat eselon I, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, dan lainnya.
Menilik pada definisi tersebut, bisa dibilang bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara negara jika mengacu pada UU No 28/1999 sangatlah luas. Dari penyidik, menteri, hingga pimpinan parlemen adalah penyelenggara negara.
Baca juga: Putusan Uji Materi Usia Capres-Cawapres Tinggal Tunggu Hari
Lantas bagaimana dengan permohonan agar MK membolehkan orang yang sudah berpengalaman menjadi kepala daerah, meski belum berusia 40 tahun, untuk menjadi capres atau cawapres?
Jimmy menilai, tidak tepat apabila MK mengabulkan hal tersebut. Sama seperti dengan halnya batas usia, hal tersebut juga menjadi domain pembentuk undang-undang sebagai open legal policy atau kebijakan hukum yang terbuka.
”Baik perubahan usia ataupun penambahan syarat seperti berpengalaman sebagai kepala daerah, itu merupakan materi muatan yang harus lahir dari kesepakatan rakyat, direpresentasikan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang. Tentu hal itu dengan memberikan ruang partisipasi publik yang besar dalam penentuan syarat capres dan cawapres,” ujar Jimmy.
Pakar hukum tata negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, saat menjadi ahli dalam perkara di MK, juga diminta untuk menjelaskan mengenai bagaimana mempersandingkan persoalan usia dengan pengalaman dalam kaitannya dengan batas usia capres-cawapres. Ia langsung mengetahui bahwa pertanyaan tersebut terkait dengan perkara pengujian UU KPK yang dimohonkan oleh Nurul Ghufron.
Menurut Bivitri, kedua perkara tersebut tidak dapat disandingkan. Pasalnya, pengisian jabatan pimpinan KPK dengan presiden-wakil presiden berbeda. Pimpinan KPK diisi melalui proses seleksi, sedangkan presiden-wapres melalui pemilihan umum. Menurut dia, apabila diperbandingkan, harus diberlakukan untuk jabatan yang sama.
”Tidak bisa apple to apple (membandingkan perkara batas usia capres-cawapres dengan perkara batas usia pimpinan KPK). Kalaupun mau dibuat aturan yang rinci, misalnya pernah jadi kepala daerah di mana, berapa lama, nanti kita bisa berdebat lagi. Saya sendiri sangat excited dengan hal itu, tapi, kan, berarti perdebatannya bukan di ruangan ini, tapi di ruang Senayan sana. Keluarkan semua, misalnya kenapa menjadi kepala daerah di DKI Jakarta misalnya, sering kali bisa jadi batu loncatan yang dianggap strategis untuk menjadi calon presiden, misalnya. Penelitiannya apa tuh? Apa aspek sosiologisnya? Apa aspek politiknya? Dan lain sebagainya. Lagi-lagi tempatnya bukan di Mahkamah (Konstitusi), tapi di Senayan (DPR) sana,” ungkap Bivitri saat menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra pada persidangan akhir Agustus lalu.
Pasalnya, pengisian jabatan pimpinan KPK dengan presiden-wakil presiden berbeda. Pimpinan KPK diisi melalui proses seleksi, sedangkan presiden-wapres melalui pemilihan umum.
Baca juga: MK Minta Masyarakat Sabar Tunggu Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Dampak bagi MK
Agus Riewanto mengingatkan efek yang bakal dialami oleh MK secara kelembagaan apabila mengabulkan permohonan pengujian usia capres dan cawapres yang teramat kental dengan nuansa politik. Apabila dikabulkan, maka akan muncul varian baru terkait open legal policy.
Selain itu, MK akan dinilai turut cawe-cawe dalam proses menaikkan atau memuluskan salah satu figur menjadi calon dalam pemilihan presiden. ”Boleh jadi MK dianggap berpihak ke calon yang memiliki akses yang lebih kuat dari yang lain. Bagaimanapun, harus disadari, permohonan tersebut salah satunya diajukan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) di mana ketua umumnya putra presiden. Jika dikabulkan, siapa yang diuntungkan? Yang paling diuntungkan adalah Gibran, putra Jokowi. Ini berkelindan dengan status Ketua MK (Anwar Usman) yang masih adik ipar (Presiden Jokowi),” tutur Agus.
Hal-hal tersebut akan membuat citra MK ke depan akan menjadi kurang begitu bagus terutama jika MK memutuskan untuk masuk ke wilayah politik kepemiluan. Oleh karena itu, MK diminta untuk mempertimbangkan aspek tersebut. “MK jangan masuk ke ranah sensitif ini. MK hanya mengurus norma di undang-undang, sudah di situ saja,” kata Agus.
Agus khawatir, tingkat kepercayaan publik terhadap MK akan menurun. Dampaknya, publik menjadi tidak percaya lagi dengan putusan-putusan MK dan enggan melaksanakannya. Tak hanya terkait dengan putusan pengujian undang-undang, tetapi juga perkara sengketa hasil pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan ditangani pada tahun depan.
”Kalau sejak awal sudah membuka peluang untuk bersikap diskriminatif atau mendukung salah satu pihak, bagaimana nanti dengan persoalan PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) yang ada di akhir atau ujung (keseluruhan proses pemilu),” tutur Agus.
Apabila nantinya MK memutus untuk menambah frasa ke dalam Pasal 169 Huruf q UU Pemilu, Jimmy menilai, hal tersebut akan berdampak pada pergeseran fungsi MK sebagai negative legislator menjadi positive legislator. Ia juga khawatir bahwa kondisi tersebut akan memberi efek negatif kepada lembaga MK sendiri di mana kepercayaan publik akan menurun. ”Bahkan, bisa jadi kepatuhan hukum terhadap putusan MK ke depan juga berpotensi menurun,” ujarnya.
Baca juga: Uji Materi Usia Cawapres Disebut untuk Gibran, Jokowi: Jangan Menduga-duga
Sebenarnya hal serupa sudah diingatkan oleh Sunandiantoro, kuasa hukum salah satu pihak terkait dalam perkara pengujian usia capres-cawapres, di muka persidangan MK. Bahkan, di hadapan Ketua MK Anwar Usman yang memimpin persidangan, Sunandiantoro mempersoalkan status Anwar yang merupakan suami dari Hidayati, adik kandung Presiden Jokowi, yang mengakibatkan tafsir liar bahwa hubungan kekerabatan itu berdampak pada pertimbangan dalam memutus perkara tersebut.
Meskipun demikian, ia meyakini tafsir tersebut hanya merupakan gerakan politik kotor untuk merusak muruah presiden, MK, dan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
Ketika itu, Anwar langsung menjawab apa yang disampaikan Sunandiantoro. Menurut Anwar, sembilan hakim konstitusi memiliki hak suara yang sama. ”Putusan Mahkamah Konstitusi bukan putusan Ketua Mahkamah Konstitusi, ya. Jadi ini juga untuk pemahaman untuk seluruh, siapa pun yang mempunyai pendapat seperti yang dikutip Saudara Sunandiantoro,” kata Anwar yang menyampaikan terima kasih karena diingatkan.