Bantah Incar Kursi Ketua DPR, Golkar: Tak Ada Urgensi Ubah UU MD3
Partai Golkar menegaskan, tidak ada urgensi mengubah UU MD3 yang salah satunya mengatur pengisian kursi ketua DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau RUU MD3 masuk Program Legislasi Nasional jangka menengah, Partai Golkar menegaskan tidak ada urgensi untuk merevisi regulasi tersebut. Masih banyak RUU lain yang harus diutamakan. Golkar pun tidak ingin mengulang pengalaman buruk pada 2014. Saat itu, UU MD3 diubah dalam waktu singkat hanya untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Merujuk pada situs resmi DPR, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD telah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Pengusul RUU ini ialah DPR.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi tak menampik jika RUU MD3 memang masuk Prolegnas jangka menengah. Namun, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menegaskan bahwa RUU MD3 tidak masuk Prolegnas prioritas tahun ini.
”Kan, Prolegnas jangka menengah, bukan prioritas tahun ini,” ujar Baidowi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Prolegnas jangka menengah merupakan daftar RUU yang bakal dibahas DPR dalam jangka waktu lima tahun untuk satu periode masa keanggotaan DPR. Sementara Prolegnas prioritas tahunan merupakan rencana pembahasan rancangan regulasi selama satu tahun.
Belakangan, wacana merevisi UU MD3 menguat setelah muncul ketegangan antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar di parlemen. Perebutan kursi ketua DPR untuk periode 2024-2029 disinyalir menjadi penyebabnya. Golkar disebut tengah berupaya mengubah UU MD3 demi memuluskan keinginan merebut posisi nomor satu di DPR tersebut.
Padahal, berdasarkan simulasi konversi suara menjadi kursi menggunakan metode sainte lague, PDI-P mendapatkan 110 kursi pada Pemilu 2024. Meskipun berkurang 18 kursi dibandingkan Pemilu 2019, perolehan kursi PDI-P masih menjadi yang terbanyak di antara delapan partai politik yang lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024.
Posisi kedua didapat Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini diperkirakan meraih 102 kursi, bertambah 17 kursi jika dibandingkan dengan raihan pada Pemilu 2019.
Jika merujuk pada UU MD3, posisi ketua DPR menjadi hak parpol peraih kursi terbanyak di DPR. Pasal 427D Ayat (1) UU MD3 menyebut, ketua DPR adalah anggota DPR dari parpol yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyampaikan, sejauh ini tidak ada rencana untuk merevisi UU MD3. DPR dan pemerintah melihat masih banyak RUU yang mesti dituntaskan.
”Enggak (mungkin RUU MD3 dibahas). Kami dan pemerintah, kan, lihat urgensinya. Ini, kan, masih banyak RUU yang mesti diutamakan, seperti RUU tentang RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2025-2045 dan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang rencana juga direvisi. Jadi, masih ada yang lebih penting kita bahas,” ucap Firman
Ketua Kelompok Fraksi Partai Golkar di Baleg ini pun menegaskan, RUU MD3 tidak mungkin secara tiba-tiba dibahas di DPR. Golkar, lanjutnya, merupakan partai yang taat asas dan menghormati UU. ”Ya, kita jangan ada pembelajaran-pembelajaran buruk, mengubah undang-undang hanya untuk kepentingan sesaat. Itu tidak bagus,” katanya.
Sejauh ini tidak ada rencana untuk merevisi UU MD3. DPR dan pemerintah melihat masih banyak RUU yang mesti dituntaskan.
Ia pun mengenang momen pada 2014 lalu. Kala itu, UU MD3 diubah hanya untuk memuluskan jalan anggota DPR dari Partai Golkar, Setya Novanto, menjadi ketua DPR. Salah satu pasal diubah. Jika sebelumnya kursi ketua DPR otomatis menjadi hak parpol pemilik kursi terbanyak, saat itu disepakati ketua DPR ditetapkan melalui pemilihan. Pada akhirnya, Setya Novanto terpilih menjadi ketua DPR.
”Dulu, bahkan ada partai yang boikot, termasuk PDI-P bikin ketua tandingan. Waktu itu, mekanisme perubahannya juga tidak benar. Tidak masuk Prolegnas, tiba-tiba terus ketok palunya juga cepat. Nah, hal-hal seperti ini memberikan pelajaran yang tidak baik,” tutur Firman.
Tidak ada lobi politik
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menegaskan, sampai detik ini tidak ada informasi, gagasan, atau inisiatif, baik yang secara resmi disampaikan di alat kelengkapan dewan maupun fraksi partai tertentu atau orang per orang, terkait rencana merevisi UU MD3.
”Artinya, lobi itu, kan, bisa secara resmi melalui alat kelengkapan dewan, atau bisa juga orang per orang. Nah, sampai saat ini, agaknya tidak ada suara-suara, bisikan-bisikan, atau pun gelagat untuk itu,” ujarnya.
Namun, ia tak memungkiri bahwa politik itu sangat dinamis. Politik tidak bisa hitam-putih. Karena itu, ia juga tidak bisa menjamin apakah pada akhirnya RUU MD3 bakal direvisi atau tidak. Kepastian tersebut tergantung kesepakatan antar-fraksi nanti.
”Kalau memang ini dianggap sesuatu yang perlu dilakukan prioritas pada 2024, akan diundang seluruh anggota Baleg, disampaikan pandangan fraksi dan pemerintah. Jadi, semuanya di DPR sangat dinamis. Semuanya tidak ada yang tidak mungkin. Tetapi, sampai detik ini, tidak,” kata Guspardi.
Terlepas dari itu, menurut Guspardi, sebenarnya ada sinyal yang bisa dibaca dari pernyataan elite Gerindra. Gerindra sebagai salah satu partai di Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tidak mempermasalahkan jika ketua DPR nanti diberikan ke partai pemenang. Artinya, posisi itu akan diberikan kepada PDI-P.
”Itu, kan, bisa juga merupakan sinyal bagi partai lain di koalisi untuk menyikapi itu.Tentu ini sinyal yang bisa meredam. Bagaimanapun, DPR, kan, juga punya keinginan untuk menjaga kondusivitas iklim politik di DPR. Jadi, itu yang saya tangkap dari Gerindra. Partai-partai di koalisi ini, kan, sudah bisa dikatakan mayoritas, yakni ada Golkar, Gerindra, PAN, dan Demokrat. Mudah-mudahan ini juga menciptakan suasana yang harmonis, nyaman, dan aman. Jadi, perspektif itu yang saya tangkap,” kata Guspardi.
Namun, anggota Baleg dari Partai Demokrat, Herman Khaeron, mengungkapkan, RUU MD3 biasanya dibahas menjelang pergantian anggota DPR sehingga tak heran apabila RUU MD3 masuk Prolegnas. Namun, keputusan pembahasannya nanti pun sangat tergantung kesepakatan dari fraksi-fraksi di DPR, apakah direvisi atau tidak.