Anggap KPU Melawan Hukum Terkait Pencalonan Gibran, PDI-P Gugat ke PTUN
PDI-P menggugat KPU ke PTUN karena dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait pencalonan Gibran.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Seluruh upaya hukum dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk melawan pelanggaran dalam Pemilihan Presiden 2024. Terbaru, tim kuasa hukum partai banteng itu melaporkan dugaan perbuatan melanggar hukum terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Pemimpin tim kuasa hukum PDI-P, Gayus Topane Lumbuun, seusai menyerahkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (2/4/2024), mengatakan, gugatan ke PTUN spesifik tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Gugatan itu berbeda dengan gugatan lain, di Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, yang berfokus pada sengketa hasil atau sengketa hitung-hitungan suara. ”Sementara kami fokus bukan pada proses hukum oleh KPU saja, tetapi lebih fokus lagi adalah (pada) perbuatan melawan hukum,” kata Gayus.
PDI-P melalui tim hukumnya menggunakan hak konstitusionalnya karena menilai tindakan KPU didasarkan pada nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Tindakan KPU tersebut berdampak pada penetapan calon presiden dan calon wakil presiden yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, menjadi pendamping Prabowo.
Gibran lolos menjadi cawapres setelah Putusan MK Nomor 90 yang mengabulkan syarat usia cawapres dari minimal 40 tahun menjadi pernah menjabat kepala daerah. Hal itu dinilainya sebagai tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara menggunakan sumber daya negara yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2.
”Bahwa perbuatan melawan hukum tersebut sebagai satu kesatuan perbuatan yang bermuara pada perolehan hasil pilpres yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2. Dan, perbuatan melawan hukum itu bertentangan dengan asas-asas dan norma-norma yang ada pada aturan tentang pemilu,” ujar Gayus.
Ia melanjutkan, PDI-P sebagai partai pengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD merupakan pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum tersebut.
Anggota tim kuasa hukum PDI-P, Erna Ratnaningsih, menyebutkan, secara spesifik perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam gugatan yang didaftarkan adalah tindakan penguasa di bidang penyelenggaraan pemilu karena telah mengesampingkan syarat minimal bagi cawapres Gibran Rakabuming Raka.
Perbuatan melawan hukum itu adalah KPU menerima pendaftaran, mengikutsertakan dalam proses rangkaian pemilu, dan menyatakan sebagai pemenang pemilu melalui Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024.
”Kami tidak memungkiri bersama bahwa ada putusan dari Mahkamah Konstitusi terkait dengan batas usia capres dan cawapres yang kemudian ditambahkan atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini ketika KPU menerima pendaftaran, KPU masih menggunakan peraturan yang lama, (yakni) PKPU Nomor 19 Tahun 2023,” kata Erna.
Tindakan KPU itu, menurut Erna, melanggar ketentuan dan kepastian hukum karena memberlakukan peraturan yang berlaku surut. Sebab, KPU melakukan pendaftaran pada tanggal 25 sampai 27 Oktober 2023. Padahal, Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023 baru direvisi setelah hasil putusan MK pada 3 November 2023.
”Artinya, mekanisme atau proses pendaftaran dan penetapan capres dan cawapres itu dilakukan melanggar hukum atau cacat hukum,” kata Erna.
Menurut Erna, praktik-praktik seperti itu tidak boleh terjadi lagi karena pada tahun ini juga akan ada pilkada serentak 2024. Oleh sebab itu, gugatan perbuatan melawan hukum penting untuk diajukan.
”Petitumnya adalah kami meminta penundaan, yaitu majelis hakim memerintahkan tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPRD, DPD, dan seterusnya sampai dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap,” lanjut Erna.
Pemohon juga meminta majelis hakim memerintahkan kepada tergugat untuk tidak menerbitkan atau melakukan tindakan administrasi apa pun sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun dalam pokok permohonan, penggugat juga meminta agar majelis hakim menyatakan Keputusan KPU Nomor 360/2024 batal demi hukum sehingga harus dicabut.
”Terakhir, kami juga meminta tergugat untuk mencabut kembali Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, serta untuk melakukan tindakan mencabut, dan mencoret pasangan capres dan cawapres Prabowo-Gibran sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024,” ucap Erna.
Gayus mengakui bahwa memang saat ini seluruh saluran hukum digunakan oleh PDI-P untuk mencari keadilan konstitusional kepada masyarakat. PDI-P juga ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, terutama hak konstitusionalnya, dalam pemilu yang tidak boleh melanggar prinsip jujur dan adil.
Hal yang digugat di PTUN itu adalah premis mayor atau penyebab utama dari penyakit-penyakit yang membuat demokrasi Indonesia mundur. PDI-P menilai, dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan KPU itu telah merugikan masyarakat, terutama hak masyarakat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aturan yang ada.
”Pelanggaran-pelanggaran itu dibuktikan bahwa putusan MK dilakukan dengan cara melanggar etik. Tujuh komisioner KPU pun sudah dinyatakan melanggar etik penyelenggara pemilu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP,” ujarnya.