Anak-anak Advokat Kondang di Sengketa Pilpres, Bukan ”Kaleng-kaleng”
Anak-anak advokat kondang di panggung sengketa pilpres disebut bukanlah advokat kemarin sore. Siapa sajakah mereka?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Wajah-wajah advokat muda mewarnai persidangan sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden yang berlangsung sejak Rabu (27/3/2024). Mereka pun menyita perhatian khalayak saat panggung sengketa yang menghiasi layar-layar kaca televisi di rumah dan gawai di genggaman menampilkan wajah-wajah muda ini. Sebagian dari mereka adalah putra-putri para advokat kondang yang juga menjadi pembela para calon presiden dan wakil presiden yang beperkara di Mahkamah Konstitusi.
Kesadaran akan kehadiran orang-orang muda ini pertama kali terjadi setelah advokat senior Todung Mulya Lubis memperkenalkan anggota timnya yang akan menggantikan dirinya membacakan berkas permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pada sidang perdana sengketa pilpres, Rabu (27/3/2024). Todung adalah kuasa hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
”Annisa Ismail adalah advokat muda yang mendapatkan gelar master of arts dari Faculty of Law University of Cambridge di Inggris dan juga dari University of Utrecht di Belanda dengan predikat summa cumlaude. Kami sengaja menampilkan anak muda karena anak muda adalah masa depan bangsa ini,” kata Todung sebelum menyerahkan podium kepada Annisa.
Annisa Eka Fitria Ismail merupakan putri pengacara kenamaan Maqdir Ismail. Dikutip dari laman Maqdir Ismail & Partners, Annisa merupakan penasihat di Maqdir Ismail & Partners. Ia bergabung dengan firma hukum ayahnya sejak Mei 2014. Sebelumnya, Annisa bekerja di firma hukum di Singapura dengan fokus utama litigasi perusahaan dan perdata.
Dari segi pendidikan, Annisa mendapatkan gelar BA dan MA dari Universitas Cambridge, Inggris, serta LLM dari Universitas Utrech, Belanda. Adapun gelar sarjana hukumnya diperoleh dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Selain Annisa, Todung juga menyebut nama Damian Agatha Yuvens yang diperkenalkan sebagai mahasiswa terbaik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan memperoleh gelar master of law dari Melbourn University.
Ada pula Sangun Ragahdo Yosodiningrat, yang menempuh pendidikan sarjana hukum di Universitas Pelita Harapan, Jakarta, kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Erasmus University, Rotterdam, Belanda, dan mengambil gelar doktor di Universitas Trisakti.
Kami sengaja menampilkan anak muda karena anak muda adalah masa depan bangsa ini.
Dari kurun waktu sekitar 1 jam 38 menit sidang pembacaan berkas permohonan tim hukum Ganjar-Mahfud, Annisa ”mencuri” panggung sekitar 25 menit, sedangkan Sangun Ragahdo 16 menit. Annisa menjelaskan nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang kemudian melahirkan abuse of power secara terkoordinasi, yang bertujuan untuk memenangkan anaknya, Gibran.
Ia juga menjelaskan penyebab MK memiliki kewenangan untuk mengadili pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif sebagai konkuensi dari kerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak efektif.
”Jika Mahkamah Konstitusi berkeras bahwa dirinya hanya berwenang untuk memeriksa hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon, maka sama saja Mahkamah Konstitusi melegitimasi kecurangan dalam proses pemilihan umum,” kata Annisa yang mendesak MK agar keluar dari zona nyaman dan masuk ke area lebih luas demi demokrasi yang jujur dan adil.
Sementara itu, Sangun Ragahdo meneguhkan apa yang disampaikan Annisa bahwa MK harus melakukan koreksi atas proses yang sudah terjadi, dengan cara menggagalkan tujuan yang ingin dicapai Presiden Joko Widodo dengan nepotisme yang melahirkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang terkoordinasi. ”Caranya, tentunya dengan mencoret pasangan calon nomor urut 2 dari daftar peserta pilpres atau didiskualifikasi,” ujarnya.
Kubu Prabowo
Di kubu tim pembela Prabowo-Gibran pun ada anak-anak muda yang juga diberi kesempatan untuk membacakan tanggapan terhadap dalil-dalil yang diajukan tim hukum pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Mereka adalah putra Yusril Ihza Mahendra, Yuri Kemal Fadlullah, dan putra Otto Hasibuan, Yakup Hasibuan, yang juga suami aktris Jessica Mila.
Yuri membacakan keterangan tim hukum Prabowo-Gibran selama 11 menit untuk membantah dalil-dalil yang diajukan tim hukum Anies-Muhaimin. Sementara itu, suara Yakup mengalun selama kurang lebih 10 menit di persidangan MK saat menjawab lontaran dalil dari tim hukum Ganjar-Mahfud.
Yuri mengungkap tentang kewenangan MK dalam sengketa pemilu, yaitu sebatas pada hasil penghitungan suara seperti diatur dalam Pasal 475 UU No 7/2017 tentang Pemilu. Ia pun membantah dalil pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif akibat adanya nepotisme yang berujung pada permintaan suara Prabowo-Gibran di 38 provinsi dan dapil luar negeri ”dinolkan”.
Sementara itu, Yakup menguraikan bantahannya terkait dugaan pengerahan pejabat kepala daerah dalam upaya pemenangan pasangan Prabowo-Gibran. Begitu pula dengan dalil nepotisme, Yakup saat membacakan jawaban tim Prabowo-Gibran menilai hal kurang tepat karena yang dimaksud nepotisme adalah bilamana pejabat mengangkat anak atau saudaranya dengan cara penunjukan (appointed).
”Sedangkan jika sang anak dipilih rakyat atau elected, maka tidak termasuk nepotisme. Larangan ini bukan dimaknai seolah anak pejabat tidak boleh berkarier,” katanya sebelum menyerahkan kembali podium kepada ayahnya, Otto Hasibuan, untuk membacakan petitum.
Dikutip dari berbagai sumber, selain kiprah sebagai advokat, Yuri juga terjun di bidang politik sebagai Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), partai yang dibesut ayahnya. Ia pernah mencoba peruntungan sebagai calon kepala daerah Kabupaten Belitung Timur pada pilkada tahun 2020, tetapi tidak berhasil. Yuri kemudian mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dari Daerah Pemilihan Kepulauan Bangka Belitung, tetapi juga tidak berhasil.
Sementara itu, kiprah Yakup tak hanya di perkara sengketa pilpres. Putra tunggal Otto itu juga menangani perkara dugaan perundungan di Binus School Serpong yang melibatkan Legolas Rompies, putra dari aktor Vincent Rompies. Menempuh pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yakup kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjananya di School of Law New York University hingga menyandang gelar latin legum magister (LLM).
Saat ditanya tentang kesempatan berbicara di podium sengketa pilpres, Yakup kepada wartawan mengungkapkan, tidak ada tujuan apa pun berkenaan dengan hal tersebut. Hanya kebetulan saja.
”Pak Yusril, kan, ketua tim. Arahan dari beliau, Bang Yuri ikut membantu membacakan. Kebetulan karena kami merupakan salah satu tim yang drafting, kan. Jadi, menurut beliau, mungkin akan lebih mengerti pokok permohonannya, mungkin. Tapi itu enggak ada maksud apa pun kayaknya,” ujar Yakup. Ia membantah jika hal tersebut dikaitkan dengan nepotisme.
Sementara itu, Henry Yosodiningrat saat dikonfirmasi mengenai keterlibatan Annisa dan Sangun mengungkapkan, anak-anak muda yang ditampilkan tersebut bukan advokat kemarin sore. Mereka sudah bertahun-tahun beracara.
Sangun, misalnya, turut menangani perkara besar, seperti kasus Ferdy Sambo, bekas Kadiv Propam Polri yang diduga terlibat pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat), bersama ayahnya. ”Artinya, mereka punya kualifikasi. Mereka kami bimbing,” ujarnya.
Selama ini publik menyoroti dinasti politik, dengan jabatan-jabatan politik diisi oleh sejumlah orang dari klan yang sama, merupakan buah dari nepotisme. Soal nepotisme ini pula yang menjadi salah satu dalil tim capres-cawapres pemohon PHPU. Mereka menuduh ada nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam pilpres karena putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Namun, relasi anak-ayah dalam satu profesi yang sama rupanya tak hanya terjadi di dunia politik. Buktinya, anak-anak para advokat senior yang sudah lama malang melintang di dunia peradilan juga terjun di profesi yang sama. Bahkan, di panggung sengketa pilpres, sejumlah anak dan ayah ini tampil bersama untuk membela capres dan cawapres.
Meski demikian, jika dilihat dari rekam jejak pendidikan dan pengalaman, anak-anak advokat kondang ini terjun ke pengadilan sengketa pilpres tidak dengan tangan kosong. Meminjam istilah anak-anak muda zaman sekarang, mereka bukan kaleng-kaleng.