Dibahas Tanpa Partisipasi Publik Bermakna, RUU DKJ Rawan Digugat ke MK
Menyerap aspirasi publik dalam pembahasan RUU menjadi bagian krusial untuk membuktikan partisipasi bermakna masyarakat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena legislasi tersebut dibahas selama empat hari oleh pembentuk undang-undang tanpa partisipasi publik yang bermakna.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang berlangsung singkat membuka peluang digugatnya legislasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tak hanya karena durasi pembahasan, tetapi juga tidak adanya pelibatan publik secara bermakna dalam proses tersebut.
Berkaca dari gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ke MK, prosedur pembahasan RUU juga bisa dijadikan pertimbangan, tidak hanya dalam mengajukan gugatan, tetapi juga memutuskan gugatan.
Gugatan tersebut salah satunya didasarkan pada pembahasan RUU Cipta Kerja yang tak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Pada akhir 2021, MK pun menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
”Persoalan terkait partisipasi bermakna yang diabaikan DPR bisa menjadi alasan kuat bagi siapa pun untuk menggugat UU DKJ ke MK,” ujar Lucius saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/3/2024).
Menurut dia, DPR dan pemerintah tidak bisa beralasan telah menyerap aspirasi publik selama proses perumusan draf RUU DKJ lalu mengklaim hal itu sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna. Sebab, draf RUU merupakan materi awal yang sangat mungkin berubah dalam proses pembahasan. ”(Oleh) karena itu, partisipasi publik sesungguhnya paling dibutuhkan dalam proses pembahasan ketimbang saat penyusunan draf,” ujar Lucius.
Persoalan terkait partisipasi bermakna yang diabaikan DPR bisa menjadi alasan kuat bagi siapa pun untuk menggugat UU DKJ ke MK.
Tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat, Lucius menuturkan, pembentuk UU juga tidak bisa menghindari kecurigaan adanya upaya untuk meloloskan klausul tertentu yang berpotensi ditolak publik. Misalnya, terkait pembentukan Dewan Aglomerasi yang pimpinannya dipilih oleh presiden. Hal itu mengindikasikan intensi untuk menjadikan Dewan Aglomerasi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
”Hal-hal yang terkait dengan kepentingan elite dalam RUU DKJ itu tampaknya menjadi alasan DPR dan pemerintah membahasnya secara ngebut,” ujar Lucius.
RUU DKJ mulai dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR setelah mendapatkan penugasan dari pimpinan DPR pada 13 Maret 2024. Panitia Kerja RUU DKJ mengadakan rapat intensif untuk membahas RUU tersebut pada 14, 15, dan 18 Maret 2024. Selama empat hari tersebut, pembahasan hanya berlangsung antara DPR dan pemerintah. Pembahasan tidak pernah dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat yang terkait.
Sebelumnya, saat ditemui seusai rapat pembahasan RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Jakarta, 18 Maret 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tak sepakat jika dikatakan proses pembahasan RUU DKJ tak melibatkan partisipasi publik. Sebab, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri telah mengadakan beberapa kali uji publik atas RUU DKJ sejak tahun 2022. Menurut dia, Baleg DPR juga telah melakukan konsultasi publik dengan tokoh masyarakat, terutama dari kalangan Betawi, saat penyusunan draf RUU tersebut.
Meski proses pembahasan tak melibatkan aspirasi masyarakat, RUU DKJ disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (28/3/2024). Dalam rapat tersebut, delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR menyetujuinya. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak pengesahan.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Anshory Siregar, mengatakan, pembahasan RUU DKJ terlalu tergesa-gesa sehingga tidak melibatkan masyarakat. Menurut dia, pembahasan tidak perlu terburu-buru karena pembangunan di Ibu Kota Nusantara (IKN) masih berjalan.
”RUU ini dibahas tergesa-gesa, terburu-buru. Saya pernah minta kita cek ke IKN dulu. Saya dengar, gedung DPR (di IKN) belum dibangun,” ujar Anshory.
Belum ada kekhususan
Selain soal prosedur pembahasan, Anshory juga menggarisbawahi soal kekhususan DKJ setelah tak menjadi ibu kota. Menurut dia, UU DKJ belum memuat kekhususan itu. Padahal, penjelasan soal kekhususan itu dibutuhkan.
Ia mencontohkan, DKJ bisa memiliki kekhususan sebagai pusat perekonomian. Untuk mendukungnya, dapat dibuat regulasi penghapusan pajak. Akan tetapi, hal-hal seperti itu belum tertera dalam UU DKJ.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Hermanto, mengusulkan, salah satu kekhususan yang dapat dipertimbangkan adalah menjadikan DKJ sebagai ibu kota legislatif. Artinya, DKJ diposisikan sebagai kota khusus untuk membentuk UU.
Menurut dia, DKJ sangat layak untuk menjadi ibu kota legislatif karena memiliki sejarah, akses, dan sumber daya yang memadai. Dengan modal itu, masyarakat akan selalu bisa menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada para wakil rakyat di Kompleks Parlemen.
”Kompleks DPR di Jakarta sangat efektif dan tepat untuk menjadi kota legislatif yang dikhususkan untuk memproduksi undang-undang. Dengan demikian, Jakarta tetap memiliki label, punya label yang khusus,” kata Hermanto.