Jawab Gugatan Ganjar-Mahfud, KPU Tak Lagi Pakai ”TSM”, tetapi ”APT”, Apakah Itu?
KPU tak pakai istilah ”terstruktur, sistemik, massif”, tetapi ”abuse of power terkoordinasi” di gugatan pilpres GaMa.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum memperkenalkan istilah baru saat menjawab gugatan Ganjar Pranowo-Mahfud MD atau GaMa dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. KPU tidak lagi menggunakan istilah terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM, tetapi APT atau abuse of power terkoordinasi.
Saat memberikan jawaban terhadap permohonan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, kuasa hukum KPU, Hifdzil Alim, menyebut gugatan kepada KPU tidak tepat. Sebab, gugatan yang disampaikan sebagian besar berisi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan jajarannya.
Padahal, presiden bukan peserta pemilu dan bukan pihak yang berperkara dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Dengan demikian, argumentasi permohonan menjadi tidak tepat dan salah sasaran. Maka, MK diminta menolak permohonan tersebut.
”Permohonan Ganjar-Mahfud mendalilkan adanya pelanggaran kecurangan TSM dalam proses Pilpres 2024, antara lain berupa abuse of power yang terkoordinasi. Ini model baru yang mulia, ada PT namanya sekarang abuse of power yang terkoordinasi,” ujar Hifdzil saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Permohonan Ganjar-Mahfud mendalilkan adanya pelanggaran kecurangan TSM dalam proses Pilpres 2024, antara lain berupa abuse of power yang terkoordinasi. Ini model baru yang mulia, ada PT namanya sekarang abuse of power yang terkoordinasi.
Sidang lanjutan PHPU presiden dan wakil presiden dengan agenda penyampaian jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan badan pengawas pemilu (Bawaslu). Sidang dipimpimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan tujuh hakim MK lainnya.
Sidang dihadiri oleh enam pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni Ketua KPU Hasyim Asy'ari, anggota KPU Mochammad Afifuddin, Idham Holik, Betty Epsilon Idroos, August Mellaz, dan Yulianto Sudrajat. KPU didampingi para kuasa hukum.
Sidang dihadiri oleh enam pimpinan KPU, yakni Ketua KPU Hasyim Asy'ari, anggota KPU Mochammad Afifuddin, Idham Holik, Betty Epsilon Idroos, August Mellaz, dan Yulianto Sudrajat. KPU didampingi para kuasa hukum.
Sementara pihak terkait yang hadir antara lain Yusril Ihza Mahendra dan Otto Hasibuan. Dari pihak Bawaslu yang hadir yaitu Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dan empat anggota Bawaslu, yakni Lolly Suhenty, Puadi, Totok Hariyono, dan Herwyn JH Malonda.
Adapun dari pihak Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang hadir antara lain Ari Yusuf Amir dan Zainuddin Paru. Kemudian dari pihak Ganjar Pranowo-Mahfud MD ada Todung Mulya Lubis dan Maqdir Ismail.
”Abuse of Power” berdampak luas
Sebelumnya, saat sidang perdana PHPU pilpres, tim hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengungkapkan dugaan nepotisme dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan secara terkoordinasi oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden satu putaran.
Nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 dalam satu putaran memiliki dampak yang sangat luas karena menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh seluruh instrumen kekuasaa.
”Nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 dalam satu putaran memiliki dampak yang sangat luas karena menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh seluruh instrumen kekuasaan,” ujar kuasa hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail.
Sementara terhadap permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Hifdzil Alim mempertanyakan gugatan yang diajukan setelah mengetahui penetapan hasil pemilu secara nasional. Padahal, pencalonan Gibran yang disengketakan sudah terjadi sejak tahap pencalonan, penetapan, hingga masa kampanye. Pasangan capres-cawapres nomor urut 1 juga tidak pernah menggugat pencalonan Gibran.
”Bahwa tampak aneh apabila pemohon baru mendalilkan dugaan tidak terpenuhinya syarat formil pendaftaran Pilpres 2024 setelah diketahui hasil penghitungan suara. Pertayaanya adalah, andaikata pemohon memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 2024, apakah pemohon akan mendalilkan dugaan tidak terpenuhinya syarat formil pendaftaran pasangan calon? Tentu jawabannya tidak,” tutur Hifdzil.