MK Batalkan Pasal Penyebaran Berita Bohong di Peraturan Hukum Pidana
Dinilai sebagai pasal karet, MK membatalkan pasal penyebaran berita bohong di UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi membatalkan dua pasal tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet yang tidak jelas parameter atau tolok ukurnya sehingga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penerapannya.
Pasal tersebut dapat digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa. Apabila hal ini terjadi, kebebasan warga untuk berpendapat dapat terancam aktualisasinya. Sebab, hal yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subyektif dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ”keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
”Hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Selain itu, unsur ”onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 UU 1/1946 sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang berkembang pesat. Masyarakat kini sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informsi melalui berbagai media, khususnya media sosial.
Oleh karena itu, pendapat dan kritik terhadap kebijakan pemerintah di ruang publik sudah menjadi bagian dari dinamika demokrasi, sebagai pengejawantahan dari partisipasi publik. Hal itu tidak serta-merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
”Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apa pun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta-merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana,” ujar Enny.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menyoal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, Pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) UU 9/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mereka didampingi tim kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Diketahui, Hariz dan Fatia pernah diajukan ke pengadilan dan didakwa dengan pasal-pasal tersebut. Ia semula diadukan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta Timur, keduanya dibebaskan dari seluruh dakwaan.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, MK mengabulkan sebagian permohonan mereka, yakni yang terkait Peraturan Hukum Pidana dan KUHP. Adapun pengujian UU ITE tidak diterima karena kehilangan obyek perkara mengingat UU tersebut telah direvisi dan regulasi yang baru telah ditetapkan pada 2 Januari 2024 lalu.
Berkenaan dengan norma di dalam Pasal 14 dan 15 UU 1/1946, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengurai terlebih dahulu unsur-unsur yang ada di dalam kedua pasal tersebut, yaitu berita atau pemberitahuan bohong, onar atau kenonaran, dan kabar tidak pasti atau kabar berkelebihan.
Dalam pertimbangannya, MK menemukan adanya ambiguitas dalam unsur ”berita atau pemberitahuan bohong” serta ”kabar tidak pasti atau kabar berkelebihan” sehingga sulit menemukan ukuran serta parameter akan ”kebenaran” atas suatu hal yang disampaikan masyarakat.
”Ketidakjelasan ukuran atau parameter demikian dapat menjadi benih atau embrio bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu hal tersebut telah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan penyampaian berita atau pemberitahuan bohong,” kata Arsul.
Hal itu sangat bergantung pada penilaian oleh subyek hukum yang memiliki latar belakang berbeda-beda.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan pembatasan terhadap hak tiap orang untuk berkreativitas dalam berpikir guna menemukan kebenaran itu sendiri. ”Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Arsul.
Padahal, pada hakikatnya, keputusan demokratis yang diambil oleh negara membutuhkan pendapat dan informasi dari warga negara. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan menerapkan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa sesuatu yang disampaikan adalah hal yang benar atau tidak bohong.
Negara, Arsul mengatakan, harus memberi ruang bagi warganya untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas.
MK juga menilai, ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 mengandung pasal karet yang tidak jelas tolok ukurnya. Pasal tersebut tak lagi relevan di mana saat ini, dengan perkembangan teknologi informasi, masyarakat dengan mudah mengakses informasi secara cepat tanpa diketahui informasi itu berita bohong atau berita benar atau berita berkelebihan.
Dalam pertimbangannya, MK juga menilai unsur onar atau keonaran di dalam Pasal 14 UU 1/1946 mengandung ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya. Penggunaan kata keonaran dalam kedua pasal tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda. Demikian pula akibat yang ditimbulkan.
”Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat tindak pidana,” kata Arsul Sani.
Selain menghapus ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946, MK juga mengubah ketentuan Pasal 310 UU 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan menambahkan frasa ”dengan cara lisan”.
Terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat tindak pidana.
Oleh karena itu, pasal tersebut menjadi berbunyi: ”Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah”.