Raihan Suara di Bawah Ambang Batas Parlemen, Akankah PPP Tersingkir dari Senayan?
Raihan suara PPP pada pemilu kali ini berada di bawah ambang batas parlemen. Akankah PPP terlempar dari parlemen?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Hasil rekapitulasi suara Pemilu 2024 telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, Rabu (20/3/2024) malam. Dari sembilan partai politik di parlemen yang mengikuti kontestasi, hanya Partai Persatuan Pembangunan yang raihan suaranya di bawah 4 persen, angka ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Raihan itu membuat partai politik yang sudah lima dekade malang-melintang dalam politik Tanah Air tersebut terancam terlempar dari Senayan, tempat para wakil rakyat berkantor.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih 5.878.777 suara sah nasional. Dengan total suara sah nasional sebanyak 151.796.631 bisa diartikan PPP hanya mendapatkan 3,87 persennya. Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Hanya partai-partai politik yang meraih minimal 4 persen suara sah nasional dalam Pemilu 2024 yang akan diikutkan dalam penghitungan kursi di DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Capaian PPP itu tentu mengejutkan. Sebab, sejak berdiri pada tahun 1973, PPP tidak pernah absen mendudukkan para kadernya di kursi DPR. Padahal, pada pemilu pertamanya tahun 1977, PPP bisa meraih 18,74 juta atau 29,29 persen dari suara sah nasional. Dengan raihan suara itu, PPP menguasai 99 atau 27,12 persen kursi DPR. Raihan itu menempatkan PPP sebagai pemenang kedua pemilu setelah Golongan Karya (sekarang Partai Golkar). Posisi PPP sebagai pemenang kedua bertahan hingga pemilu terakhir sebelum Orde Baru tumbang pada tahun 1997.
Setelah Orde Baru tumbang dan keran kebebasan berserikat dan berkumpul dibuka lebar-lebar, dukungan kepada PPP justru tergerus. Maklum saja, sejumlah kekuatan politik Islam yang menyokong PPP selama Orde Baru memilih memisahkan diri dan membentuk partai politik baru.
Meski demikian, pada pemilu pertama di era reformasi tahun 1999, PPP tetap bisa bersaing dengan 47 parpol peserta lainnya. PPP menjadi pemenang keempat parpol dengan raihan suara terbanyak, yakni 11.330.387 atau 10,7 persen suara sah nasional. Bahkan, PPP menguasai 59 kursi DPR, terbanyak ketiga setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meraih suara lebih banyak dari PPP hanya bisa menguasai 51 kursi DPR, lebih sedikit dibanding PPP.
Namun, perolehan suara PPP terus menurun dari pemilu ke pemilu. Dimulai dari Pemilu 2009, raihan kursi PPP di Senayan tinggal 38 kursi. Pada Pemilu 2014, raihan kursi hanya naik tipis menjadi 39 kursi, bahkan Pemilu 2019 menyisakan 19 kursi DPR. Konflik internal yang kerap terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut ditengarai menjadi sebab terus terkikisnya kekuatan PPP.
Bahkan, pada Pemilu 2024, pemilu ke-11 yang diikuti PPP, partai berlambang Ka'bah itu terancam tak bisa masuk kembali ke DPR. Perolehan suara PPP, menurut hasil rekapitulasi KPU, kurang 0,13 persen dari syarat ambang batas parlemen. Lalu, apakah PPP akan benar-benar tersingkir dari parlemen?
Belum tentu, karena PPP masih bisa mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Nantinya, MK-lah yang menjadi pemutus terakhir lolos atau tidaknya PPP ke parlemen.
Sekretaris Jenderal PPP M Arwani Thomafi menegaskan, partainya memang sudah mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan ke MK. ”Ya tentu kami akan ke MK untuk mengajukan permohonan PHPU,” kata Arwani saat dihubungi pada Kamis (21/3/2024).
Sehari sebelumnya, Ketua DPP PPP Ahmad Baidowi juga sudah menegaskan rencana PPP tersebut. Gugatan diajukan karena ada perbedaan cukup signifikan antara hasil rekapitulasi berjenjang yang dilakukan internal partai dan perolehan suara yang ditetapkan KPU. Penghitungan internal menunjukkan PPP meraih 4,04 persen suara sah, selisih 0,17 persen dari hasil rekapitulasi KPU.
Baidowi menegaskan, PPP ingin mengembalikan suara yang hilang atau bergeser sekitar 150.000 suara dan berdampak pada gagalnya mencapai ambang batas parlemen. Suara yang hilang itu ditemukan di Jawa Barat, Papua, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Bagi kami, satu suara itu wajib dipertahankan, apalagi sampai ratusan ribu suara.
Saat ini, Tim Hukum PPP terus mengumpulkan kelengkapan data dan bukti-bukti untuk dibawa ke MK. Waktu tiga hari kalender yang disediakan undang-undang untuk mengajukan gugatan akan dimaksimalkan. Pengajuan gugatan PHPU ke MK sekaligus untuk mengawal suara yang titipkan rakyat kepada partai tersebut.
”Bagi kami, satu suara itu wajib dipertahankan, apalagi sampai ratusan ribu suara,” tuturnya.
Beda pilihan elite dan akar rumput
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menengarai, terus merosotnya raihan suara PPP salah satunya disebabkan perbedaan pandangan atau pilihan antara elite partai dan kalangan akar rumput, konstituen PPP. ”Aspek representativeness dari elite itu rendah sekali di mata akar rumput PPP yang sebetulnya sudah semakin sedikit juga loyalisnya,” tutur Firman saat dihubungi pada Rabu (20/3/2024).
Perbedaan pandangan itu terutama terkait dukungan PPP terhadap calon kepala daerah ataupun calon presiden dan wakil presiden yang tidak sesuai dengan keinginan para pendukung dan simpatisan loyal di akar rumput. ”Perbedaan pandangan elite dengan kader di akar rumput sudah terlihat sejak Pemilihan Gubernur DKI 2017, kemudian berlanjut di Pilpres 2019 dan Pemilu 2024. Hasil Pemilu 2024 ini seperti hukuman akar rumput PPP terhadap partainya,” ujar Firman.
Pengajar Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam juga berpandangan, dukungan PPP terhadap pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada Pilpres 2024 tidak memberikan efek ekor jas yang memadai. Hal ini lantaran Ganjar tidak merepresentasikan corak Islam yang merupakan basis massa tradisional PPP. Mahfud MD, walaupun merepresentasikan kaum Muslim, tidak memiliki kedekatan khusus dengan PPP.
Menurut Umam, PPP yang bermain dengan narasi Islam lebih dekat dengan Anies-Muhaimin atau Prabowo-Gibran. Dengan profil Ganjar yang sangat merah dan Mahfud di Islam moderat, akhirnya suara PPP pun anjlok.
Sementara itu, faktor kehadiran Sandiaga Uno yang bergabung ke PPP sebelum penentuan kandidat pilpres, menurut Umam, juga tidak memberikan efek elektoral karena terpental dari kontestasi pencalonan. Sandiaga yang diharapkan bisa menjadi representasi karakter Islam justru terpental. Sandiaga juga tidak begitu efektif menarik basis pemilih loyal ataupun pemilih bimbang (swing voters and undecided voters).
”Salah satunya barangkali karena faktor ketokohan Sandi yang tidak memiliki akar yang kuat dengan PPP. Ibarat pohon cangkokan yang baru ditanam tidak memiliki akar yang kuat untuk menarik pemilih. Keberadaan Sandi yang merupakan menteri aktif, pengusaha, dan politikus muda tidak begitu terlihat dalam konteks perolehan suara PPP,” kata Umam.
PPP sudah memutuskan untuk mengajukan permohonan PHPU hasil pileg ke MK. Dengan demikian, nasib PPP, apakah akan lolos ke Senayan ataukah tidak, sangat tergantung dengan penilaian dan putusan MK.