Dugaan ”Fraud” Kredit LPEI, Nilai Jaminan Lebih Kecil dari Pinjaman
Selain nilai jaminan lebih kecil dari pinjaman yang diterima, penggunaan pinjaman tidak sesuai peruntukan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan terjadinya fraud atau penyimpangan dalam penyaluran kredit sebesar Rp 2,5 triliun oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI salah satunya adalah nilai jaminan yang lebih kecil dari kredit yang disalurkan. Kejaksaan Agung menyebut fraud itu ditemukan pada 2019.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyampaikan, penyaluran kredit yang terindikasi fraud tersebut baru tahap pertama. ”Ini baru tahap pertama. Bahkan, kemungkinan ada tahap kedua, tahap ketiga,” kata Ketut ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Hal itu dikatakan Ketut setelah sehari sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani melaporkan empat perusahaan yang bertindak sebagai debitor LPEI yang penyaluran kreditnya bermasalah karena terindikasi terjadi fraud. Nilai kredit terhadap empat perusahaan yang terindikasi fraud berjumlah Rp 2,5 triliun.
Menurut Ketut, salah satu bentuk indikasi fraud adalah penggunaan jaminan (collateral) perusahaan yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kredit yang disalurkan oleh LPEI. Adapun nilai kredit yang diterima antara satu debitor dan debitor lain berbeda-beda. Indikasi fraud lainnya adalah penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan penyaluran.
”Ada perusahaan yang diberi kredit Rp 7 triliun, ada perusahaan yang menerima puluhan triliun. Tapi, antara jaminan yang diberikan dan pinjamannya tidak sesuai,” ujar Ketut.
Terdapat empat perusahaan yang penyaluran kreditnya terindikasi fraud dengan total nilai Rp 2,5 triliun. Mereka adalah PT RII sebesar Rp 1,8 triliun, PT SMS sebesar Rp 216 miliar, PT SPV sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar. Perusahaan tersebut bergerak di bidang kelapa sawit, batubara, nikel, dan perkapalan. Meski demikian, Ketut tidak merinci nama lengkap keempat perusahaan itu.
Ada perusahaan yang diberi kredit Rp 7 triliun, ada perusahaan yang menerima puluhan triliun. Tapi, antara jaminan yang diberikan dan pinjamannya tidak sesuai.
Menurut Ketut, kredit bagi keempat perusahaan tersebut disalurkan pada 2015. Kemudian, dugaan fraud tersebut ditemukan oleh tim gabungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pada 2019.
Selain empat perusahaan tersebut, lanjut Ketut, terdapat penyaluran kredit bagi enam perusahaan yang juga bermasalah dengan nilai Rp 3 triliun.
Menurut Ketut, kredit yang disalurkan kepada keenam perusahaan tersebut juga mengalami masalah (non-performing loan/NPL). Pada jumpa pers kemarin, Jaksa Agung sempat mengingatkan keenam perusahaaan itu agar segera menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat bersama tim gabungan. Jika tidak, kredit bermasalah yang dialami keenam perusahaan itu akan dibawa ke ranah pidana.
Setelah adanya laporan dari Menkeu tersebut, kata Ketut, Kejagung akan segera menindaklanjuti untuk menemukan unsur pidananya melalui pemanggilan saksi. Setelah itu, penyidik akan menetapkan pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
Secara terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, berpandangan, sebuah perkara dapat dijerat sebagai tindak pidana korupsi ketika memenuhi unsurnya, yakni barang siapa memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau merugikan keuangan negara. Salah satu tanda suatu perkara masuk tindak pidana korupsi adalah terjadinya fraud.
”Kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh fraud, kecurangan, maka itu termasuk tindak pidana korupsi. Kalau bukan karena fraud, bisa jadi itu risiko bisnis yang tidak bisa dijerat tipikor, tetapi perdata,” kata Zaenur.
Zaenur menduga, laporan Menkeu tersebut akan bergulir menjadi perkara korupsi karena jumlah kerugian keuangan negaranya sangat besar dan indikasi awalnya adalah terjadi fraud. Ketika terjadi fraud, bisa dijerat dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.