Pimpinan DPR/MPR yang Tergusur, dari Lodewijk, Yandri, hingga Syarif Hasan
Dari 5 pemimpin DPR yang ikut Pileg 2024, satu dari Golkar, yakni Lodewijk, gagal. Di MPR, dua gagal: PAN dan Demokrat.
Oleh
IQBAL BASYARI, HIDAYAT SALAM
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jabatan sebagai pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak menjadi jaminan bagi calon anggota legislatif petahana mampu mempertahankan kursi. Sebagian pimpinan DPR/MPR itu justru gagal kembali melenggang ke Senayan. Sebab, mereka tidak mampu memperoleh suara terbanyak dari Pemilu 2024.
Dari lima unsur pimpinan DPR yang kembali berkontestasi di Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2024, satu di antaranya terancam tidak lolos ke Senayan. Dia adalah Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus yang bertarung di Daerah Pemilihan Lampung I. Dengan capaian 50.093 suara, Sekretaris Jenderal Golkar itu berada di urutan kedua di bawah Rycko Menoza, Bupati Kabupaten Lampung Selatan periode 2010-2015 dan putra Gubernur Lampung 2004-2008 dan 2009-2014, yang mendapatkan 53.813 suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Berdasarkan konversi suara menjadi kursi menggunakan metode Sainte Lague, perolehan suara Golkar di dapil tersebut sebanyak 249.053 hanya bisa dikonversi menjadi satu kursi. Dengan demikian, caleg yang berpotensi lolos ke DPR adalah Rycko karena mendapatkan suara terbanyak. Sementara Lodewijk yang berada di urutan kedua kemungkinan tidak lolos kembali ke DPR.
Adapun empat unsur pimpinan DPR lainnya, yakni Ketua DPR Puan Maharani, serta Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Rachmat Gobel diperkirakan kembali melenggang ke Senayan. Capaian suara ketiganya menempatkan mereka sebagai peraih suara terbanyak di internal partai masing-masing. Puan mendapatkan 297.366 suara, Dasco memperoleh 119.692 suara, dan Gobel sebanyak 195.322 suara.
Sementara dari 10 unsur pimpinan MPR yang berlaga di pileg DPR dan DPD, dua unsur pimpinan di antaranya diperkirakan tidak bisa mempertahankan kursi. Keduanya adalah Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto dan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarifuddin Hasan.
Perolehan suara sah PAN di Dapil Banten II sebanyak 244.983 suara kemungkinan hanya bisa dikonversi menjadi kursi. Satu kursi tersebut kemungkinan didapatkan caleg nomor urut 4, Edison Sitorus, yang memperoleh 113.813 suara. Adapun Yandri yang memperoleh 96.334 suara hanya berada di urutan kedua. Edison Sitorus adalah caleg PAN Dapil 2 Banten yang juga Ketua Umum Ikatan Batak Muslim (Ikabamus) Cilegon.
Capaian sebanyak 86.214 suara dari Cianjur dan Kota Bogor diprediksi tidak cukup untuk mengantarkan Syarif kembali bertahan sebagai anggota DPR.
Adapun perolehan suara Demokrat di dapil Jabar III berdasarkan rekapitulasi di Cianjur dan Kota Bogor diperkirakan tidak mampu mempertahankan satu kursi yang diperoleh di Pileg 2019. Capaian sebanyak 86.214 suara dari Cianjur dan Kota Bogor diprediksi tidak cukup untuk mengantarkan Syarif kembali bertahan sebagai anggota DPR.
Di sisi lain, delapan unsur pimpinan MPR lainnya diperkirakan dapat kembali lolos sebagai anggota DPR. Bambang Soesatyo, Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Hidayat Nur Wahid, dan Amir Uskara menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak di partai dan dapilnya masing-masing. Begitu pula Wakil Ketua MPR dari Fraksi DPD, Fadel Muhammad, juga diperkirakan lolos sebagai anggota DPD dari Gorontalo dengan raihan 242.732 suara.
Tak rajin turun ke dapil
Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengatakan, caleg yang menduduki jabatan pimpinan DPR/MPR belum menjamin akan terpilih kembali, apalagi jika mereka tidak rutin turun atau canvassing ke daerah pemilihannya.
Selain itu, ada perubahan lanskap politik, yang mana jumlah pemilih generasi muda mendominasi dalam Pemilu 2024. Sementara itu, para petahana itu cenderung hanya mengandalkan kelompok atau basis massa pemilihnya saja.
”Sementara pemilih mudanya justru tidak digarap. Caleg petahana yang terancam gagal ke Senayan itu bisa dibilang gagal menggarap itu. Padahal. jumlah pemilih muda baik generasi Z dan milenial yang mencapai lebih dari 55 persen dari total pemilih kita. Ini justru dibaca oleh caleg baru,” katanya.
Sementara pemilih mudanya justru tidak digarap. Caleg petahana yang terancam gagal ke Senayan itu bisa dibilang gagal menggarap itu. Padahal. jumlah pemilih muda baik generasi Z dan milenial yang mencapai lebih dari 55 persen dari total pemilih kita. Ini justru dibaca oleh caleg baru.
Usep juga melihat, ada kecenderungan para pemilih yang sebelumnya disebut sebagai pemilih pemula pada Pemilu 2019 kini sudah punya pengalaman dalam mengikuti pemilu. Mereka pun mempunyai preferensi pilihan politik yang lain, yang sesuai dengan aspirasi yang ingin mereka sampaikan.
”Jadi, pemilih muda ini punya ekspektasi terhadap caleg yang sudah pernah mereka pilih pada Pemilu 2019. Jika mereka tidak puas, pasti akan mengubah pilihannya,” kata Usep.
Selain itu, Usep juga berpandangan, ada pesaing tangguh yang ada di daerah pemilihan tertentu sehingga membuat caleg petahana akan terancam gagal kembali menduduki Senayan. Ia mencontohkan, sosok Yandri Susanto, caleg dari Partai Amanat Nasional yang juga Wakil Ketua MPR itu, kalah jumlah perolehan suara dari caleg baru yang berasal dari partai yang sama, yakni Edison Sitorus.
”Saya menduga konstituen dari Pak Yandri dan Pak Edison itu berbeda. Namun, Pak Edison lebih punya citra muda dan sepertinya lebih lengkap dalam menggarap segmen pemilihnya. Jadi, para petahana yang terancam gagal lolos ke Senayan itu tidak memperhatikan detail adanya perubahan lanskap politik dengan dominasi pemilih muda,” ujar Usep.
Tak jaga kedekatan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, jabatan sebagai pimpinan DPR dan MPR seharusnya menjadi tambahan amunisi bagi caleg. Mereka mempunyai akses untuk mendapatkan panggung dan dikenal luas oleh konstituen. Namun, jabatan itu juga sering kali membuat mereka sibuk menjalankan tugas lembaga sehingga waktu untuk berkampanye dan menjaga kedekatan dengan konstituen berkurang.
Jabatan itu juga sering kali membuat mereka sibuk menjalankan tugas lembaga sehingga waktu untuk berkampanye dan menjaga kedekatan dengan konstituen berkurang.
Di sisi lain, pemilu serentak membuat pemilih cenderung mengabaikan pileg. Akibatnya, persaingan mendapatkan kursi DPR seperti pasar bebas dan tidak memandang jabatan kelembagaan. Pemilih akan merasa lebih dekat dengan caleg yang peduli dan lebih sering memberi.
Bahkan, citra DPR dan MPR tidak bisa dijadikan prestasi yang cukup menarik perhatian pemilih karena citranya dalam berbagai survei rendah. Suara dari DPR dan MPR pun di periode 2019-2024 sering kali tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Sikap mereka justru mewakili kepentingan elite tertentu yang merugikan kepentingan rakyat.
”Jabatan pimpinan DPR dan MPR sulit dikapitalisasi untuk kepentingan elektoral. Jabatan itu hanya untuk gengsi perorangan saja,” ujar Lucius.
Di tengah tumbangnya sebagian pimpinan DPR dan MPR, Lucius khawatir parpol akan mengutak-atik caleg terpilih. Sebab, kegagalan sekjen dan wakil ketua umum partai mendapatkan kursi bisa mencoreng citra parpol. Kegagalan itu juga menunjukkan tokoh yang sangat disegani oleh pengurus dan kader tidak dapat membuktikan kekuatannya dalam memengaruhi pemilih.
”Parpol cenderung bersifat oligarkis, memberikan posisi kepada orang-orang di lingkaran inti parpol sehingga potensi Lodewijk dan Yandri untuk kembali lolos ke DPR tetap terbuka,” katanya.