Wacana Koalisi Permanen Kubu Prabowo untuk Pilkada Dinilai Sulit Terwujud
Presiden terpilih belum tentu sekuat Joko Widodo yang bisa menyatukan banyak partai di level nasional, apalagi daerah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan untuk menjadikan koalisi pengusung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai koalisi permanen untuk menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2024 dinilai tidak relevan. Perbedaan konstelasi politik nasional dan daerah serta tidak sebangunnya hasil pemilihan presiden dengan pemilihan anggota legislatif disinyalir menjadi penyebab yang bakal mempersulit pembentukan koalisi.
Direktur Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana melihat, wacana untuk menjadikan permanen koalisi partai politik (parpol) di level nasional ke daerah untuk menghadapi Pilkada 2024 sulit untuk terwujud. Hal itu disebabkan oleh konstelasi kekuatan politik yang berbeda di level nasional dan daerah.
Meski parpol-parpol pengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul berdasarkan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, perolehan suara parpol-parpol di pemilihan anggota legislatif (pileg), baik tingkat DPR maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, belum tentu unggul.
”Apakah koalisi bisa diselaraskan antara nasional dan daerah? Rasanya masih sulit karena kekuatan politik dan hasil pemilunya relatif tidak sebangun,” kata Aditya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Pengajar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, itu mencontohkan, meski koalisi pengusung Prabowo-Gibran unggul di pilpres, mereka belum tentu bisa bertarung di Pilkada Jawa Tengah dengan mudah. Sebab, hasil pileg di daerah tersebut masih didominasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang di Pilpres 2024 mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Selain itu, menurut Aditya, pertarungan di pilkada lebih dipengaruhi oleh kekuatan figur calon kepala daerah. Mereka umumnya adalah tokoh setempat yang merupakan petahana kepala daerah atau anggota DPR atau DPRD dari daerah pemilihan setempat.
”Para politisi itu (di daerah) belum tentu punya kemampuan atau kekuatan untuk bisa menyatukan koalisi permanen. Dugaan saya, yang mereka lihat hanya koalisi di level daerahnya saja,” kata Aditya.
Dihubungi terpisah, Penasihat Senior Lab 45, Haryadi, mengatakan, setelah pilpres dan pileg setiap parpol memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini mengingat konfigurasi politik nasional dan lokal yang berbeda pula.
Dalam konteks tersebut, kebutuhan koalisi lokal otomatis akan bersifat asimetris atau beragam. ”Sulit membayangkan terjadinya koalisi permanen yang akan disemai hingga ke level pilkada,” katanya.
Lebih dari itu, Haryadi menduga, koalisi pengusung Prabowo-Gibran merupakan gabungan parpol yang muncul atas dasar pemaksaan dengan tekanan oleh Presiden Joko Widodo. Presiden yang memiliki kekuatan politik penuh menguasai dan mengendalikan nyaris seluruh institusi negara. Oleh karena itu, hasil Pemilu 2024 lebih mencerminkam hasil operasi politik negara ketimbang operasi yang dilakukan parpol koalisi.
”Saat pilkada November 2024 nanti, Presiden Jokowi sudah tak lagi menjabat. Presiden baru, sebutlah Prabowo, belum tentu menguasai institusi negara sekuat Jokowi. Hal ini semakin menegaskan betapa upaya membangun koalisi permanen untuk kepentingan pilkada akan lebih merupakan imajinasi belaka,” tutur Haryadi.
Wacana pembentukan koalisi permanen muncul seiring dengan gagasan elite Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk meneruskan kerja sama politik parpol-parpol pengusung Prabowo-Gibran, yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM), setelah Pilpres 2024.
PSI juga mewacanakan agar koalisi permanen tersebut dipimpin oleh Jokowi setelah lengser dari jabatannya. Kepemimpinan Jokowi di koalisi permanen itu dinilai penting karena Jokowi perlu berada di atas semua parpol.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengakui, wacana pembentukan koalisi permanen memang telah dibahas dalam pembicaraan informal para ketua umum parpol Koalisi Indonesia Maju (KIM). Menurut dia, kecocokan yang telah terbangun di pilpres bisa menjadi modal penting untuk kembali bekerja sama di pilkada.
Tak hanya itu, lanjut Doli, koalisi permanen juga dibutuhkan untuk memastikan stabilitas politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan, selama lima tahun ke depan. Situasi yang kondusif merupakan prasyarat agar visi dan misi yang digagas Prabowo-Gibran bisa diimplementasikan dengan baik dalam bentuk berbagai program.
”Makanya, di KIM pernah ada pembicaraan lepas di antara para ketua umum partai agar bagaimana KIM bisa terus dirawat dan cenderung ingin dipermanenkan. Salah satu idenya (membentuk) namanya barisan nasional,” kata Doli.