Kursi DPR demi Elite Partai, Siapa Lagi Setelah Ratu Wulla?
Perludem menilai penggantian caleg yang sudah hampir pasti terpilih, seperti Ratu Wulla, mengkhianati kedaulatan rakyat.
Suasana rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat nasional untuk Nusa Tenggara Timur, Selasa (12/3/2024) siang, mendadak riuh. Anggota Komisi Pemilihan Umum, August Mellaz, yang baru saja mengetok palu untuk mengesahkan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah pemilihan NTT II, urung melanjutkan rekapitulasi hasil pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah NTT.
Betapa tidak, saksi Partai Nasdem, Dedy Ramanta, tiba-tiba menyampaikan surat dari Ketua Umum Nasdem Surya Paloh berisi usulan pengunduran diri Ratu Ngadu Bonu Wulla. Caleg Nasdem dengan raihan suara tertinggi di dapil yang meliputi Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, dan Kota Kupang itu tiba-tiba mundur di tengah proses rekapitulasi yang masih berjalan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Pada sesi rapat pleno rekapitulasi ini, kami dari saksi Partai Nasdem. Saya ingin menyampaikan ada surat dari Ketua Umum Nasdem kepada KPU dan nanti dilampirkan pada Bawaslu RI, terkait dengan pengunduran diri calon anggota legislatif nomor urut 5 di dapil NTT II,” ujar Dedy.
Baca juga: Sekjen Nasdem Enggan Beberkan Alasan Caleg Ratu Wulla Mundur
Dedy yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Nasdem itu lantas menyerahkan surat pengunduran diri beserta sejumlah lampiran pendukung yang disimpan dalam map berlogo Nasdem kepada Mellaz. Surat pengunduran diri juga diberikan langsung kepada anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Totok Hariyono, yang mengawasi rekapitulasi tersebut.
”Alasan pengunduran diri sesuai dengan kehendak dari yang bersangkutan. Karena suratnya kepada KPU RI, saya tidak berhak untuk membacakan,” kata Dedy.
Seusai penyerahan surat pengunduran diri, sejumlah peserta rapat pleno pun mengeluarkan celetukan, ”Nomor satu naik, selamat.”
Sebab, mengacu hasil rekapitulasi suara tingkat nasional yang telah dibacakan, Ratu Wulla memperoleh 76.331 suara. Dengan raihan suara itu, calon legislator (caleg) bernomor urut 5 itu menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak.
Ratu Wulla bahkan mengungguli caleg unggulan Nasdem di nomor urut 1, Viktor Laiskodat, yang memperoleh 65.359 suara. Dengan perolehan suara itu pula, Ratu Wulla akan ditetapkan sebagai caleg terpilih dan bisa kembali melenggang ke Senayan.
Sementara itu, Viktor kemungkinan tersisih karena suara Nasdem di daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) II sebanyak 207.732 suara hanya cukup untuk dikonversi menjadi satu kursi DPR. Namun, dengan keputusan Ratu Wulla untuk mundur, Viktor yang meraih suara terbanyak kedua dari Nasdem di NTT II akan ditetapkan sebagai caleg terpilih.
Baca juga: Caleg Nasdem Ratu Ngadu Bonu Mundur, Benarkah Suara Rakyat Dibohongi?
Pencermatan suara caleg
Selang 3,5 jam kemudian, saat rekapitulasi untuk pemilihan legislatif (pileg) DPR dapil Banten II, interupsi kembali muncul dari saksi Partai Amanat Nasional (PAN), Ibnu Mahmud Bilaluddin. Sebelum rekapitulasi dimulai, ia meminta KPU agar tidak membacakan perolehan suara caleg PAN dari dapil tersebut.
Hal ini disebabkan PAN masih mencermati perolehan suara partai dan caleg. Permintaan itu pun disetujui KPU dengan hanya membacakan perolehan suara sah partai dan caleg PAN dapil Banten II sebanyak 244.983 suara.
Adapun berdasarkan rekapitulasi tingkat provinsi, perolehan suara PAN di dapil tersebut kemungkinan hanya mampu merebut satu kursi dari enam kursi yang diperebutkan. Caleg PAN dengan perolehan suara terbanyak adalah Edison Sitorus yang mendapatkan 113.813 suara.
Baca juga: Persaingan Caleg di Dapil Banten 3 Tangerang Raya
Adapun di urutan kedua adalah Wakil Ketua Umum PAN yang kini menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Yandri Susanto dengan perolehan 96.334 suara. Yandri pun merupakan caleg terpilih dari dapil Banten II dua periode sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Berbagai peristiwa saat rekapitulasi tingkat nasional itu pun menimbulkan spekulasi adanya utak-atik caleg terpilih oleh parpol. Sebab, parpol memiliki ruang untuk mengganti caleg terpilih melalui berbagai jalur. Terlebih, sejumlah petahana dan elite parpol justru terancam tidak lolos ke parlemen.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur mengenai penggantian caleg terpilih. Ada empat kondisi yang mengakibatkan caleg terpilih dapat berubah, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota legislatif, serta terbukti melakukan tindak pidana pemilu, berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Dugaan Kampanye dan Politik Uang Marak Terjadi Jelang Pencoblosan
Aturan itu juga diturunkan dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu. Dalam Pasal 48 Ayat (3) Huruf c bahkan disebutkan, caleg yang tidak lagi memenuhi syarat antara lain adalah caleg diberhentikan atau mundur dari parpol yang mengajukannya.
Jika ada penggantian caleg terpilih, KPU akan menggantinya dengan caleg parpol yang sama di dapil tersebut berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya. Penetapan caleg terpilih pengganti dilakukan paling lambat 14 hari setelah caleg terpilih berhalangan.
Sekretaris Jenderal Nasdem Hermawi Taslim mengatakan, Nasdem akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Caleg terpilih yang akan menduduki kursi sebagai anggota Dewan adalah berdasarkan suara terbanyak yang didapatkan di setiap dapil. Ia pun mengklaim tidak akan mengutak-atik daftar caleg terpilih meskipun ada banyak jalur yang diatur dalam undang-undang.
”Nasdem tidak akan meminta pencermatan penggantian caleg terpilih kepada KPU, kecuali ada caleg yang berhalangan tetap atau mengundurkan diri,” ujarnya di Jakarta, Jumat (14/3/2024).
Hak dan kewenangan parpol
Sekjen PAN Eddy Soeparno tidak membantah ataupun membenarkan bahwa pencermatan yang dilakukan oleh PAN karena ingin mengganti caleg terpilih dari dapil Banten II dari Edison menjadi Yandri. Ia hanya menegaskan bahwa parpol sebagai peserta pemilu memiliki hak dan kewenangan penuh untuk menetapkan seseorang menjadi anggota legislatif.
Menurut Eddy, peserta pemilu adalah parpol, sedangkan caleg mendapatkan tugas dan mandat dari partai untuk memenangkan kursi dengan mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari calon pemilih.
”Meskipun kita menganut sistem proporsional terbuka, pada akhirnya partailah yang menentukan dengan pertimbangannya sendiri siapa yang akan duduk, dilantik, dan ditetapkan sebagai caleg terpilih,” ucap Eddy.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, parpol masih bisa mengganti caleg terpilih meskipun proses rekapitulasi telah tuntas. Sepanjang memenuhi kriteria yang diatur dalam UU Pemilu dan PKPU 6/2024, KPU akan memproses pengajuan penggantian caleg yang diajukan parpol.
Ia mencontohkan, caleg yang mengundurkan diri hanya perlu mengajukan surat pengunduran diri ke KPU. Adapun bagi caleg yang diberhentikan atau mundur dari parpol, ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Baca juga: Batal ”Nyaleg” karena Tak Sanggup Menanggung Mahalnya Biaya Politik
Syarat tersebut ialah harus melampirkan surat keterangan parpol tentang pemberhentian sebagai anggota dan mesti melampirkan pula dokumen yang membuktikan tidak ada sengketa calon dengan parpol di mahkamah partai atau di pengadilan.
”Surat pengunduran diri ataupun pemberhentian atau mundur dari parpol harus disampaikan ke KPU maksimal sebelum diterbitkannya keputusan presiden tentang peresmian anggota DPR,” kata Hasyim.
Pengkhianatan daulat rakyat
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, utak-atik caleg terpilih mencederai sistem proporsional terbuka. Sebab, mandat dari pemilih kepada caleg secara langsung seharusnya dilaksanakan oleh parpol.
Tindakan parpol untuk mengganti caleg terpilih melalui berbagai dalih justru menunjukkan pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat. ”Parpol gagal memahami esensi dari sistem pemilu proporsional terbuka karena dengan seenaknya mempermainkan suara pemilih yang diberikan kepada calegnya secara langsung,” ujarnya.
Menurut Fadli, fenomena penggantian caleg pada Pemilu 2024 merupakan tragedi yang berulang sejak Pemilu 2019. Kala itu, Partai Gerindra memecat lima caleg, dengan empat di antaranya merupakan caleg terpilih yang sudah ditetapkan KPU.
Status mereka sebagai caleg terpilih akhirnya digantikan oleh caleg dengan perolehan suara di bawahnya. Keempat caleg Gerindra yang akhirnya lolos ke Senayan melalui jalur penggantian caleg tersebut ialah Mulan Jameela, Sugiono, Katherine A, dan Yan Permenas Mandenas.
Baca juga: Biaya Politik Tinggi Sumbang Kemunduran Demokrasi
Fadli memperkirakan, ada dua jalur yang kembali akan digunakan sejumlah parpol untuk mengutak-atik caleg terpilih. Dua jalur dimaksud ialah melalui mekanisme caleg mengundurkan diri dan memberhentikan caleg dari keanggotaan parpol.
Parpol gagal memahami esensi dari sistem pemilu proporsional terbuka karena dengan seenaknya mempermainkan suara pemilih yang diberikan kepada calegnya secara langsung.
Parpol biasanya akan meminta caleg terpilih untuk mengundurkan diri dengan kompensasi uang atau jabatan lain. Jalur ini dinilai lebih mudah karena tidak membutuhkan persyaratan yang rumit.
Jika perintah untuk mengundurkan diri ditolak atau tidak menemui kesepakatan, parpol akan memberhentikan caleg terpilih sehingga kursi dapat digantikan oleh caleg yang diinginkan oleh parpol. Namun, skenario kedua ini rentan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Caleg yang diberhentikan juga bakal dicoret dari keanggotaan parpol sehingga tidak bisa dicalonkan untuk menduduki kursi eksekutif dan legislatif di lain kesempatan.
Baca juga: Kaum Muda Butuh Keberpihakan Elite Politik
Kedua jalur penggantian caleg terpilih tersebut rentan dimanfaatkan oleh caleg petahana dan figur yang dekat dengan pemimpin parpol untuk merebut kursi dari caleg internal parpol. Korbannya ialah caleg terpilih dari pendatang baru dan caleg yang tidak memiliki kedekatan dengan elite parpol.
Posisi politik mereka biasanya lemah di internal sehingga tidak memiliki daya tawar kuat dengan pengurus di tingkat pusat. ”Potensi utak-atik caleg terpilih menjadi lebih tinggi karena sejumlah elite parpol gagal mendapatkan suara terbanyak sehingga tidak bisa memperoleh kursi DPR,” tuturnya.
Baca juga: Pertahankan Jumlah Kursi DPR, Parpol Andalkan Caleg Petahana
Fadli menilai, aturan dalam UU Pemilu dan PKPU untuk mengganti caleg terpilih sangat longgar. Penggantian caleg terpilih seharusnya hanya bisa dilakukan jika caleg berhalangan tetap, sama seperti ketentuan penggantian calon presiden dan wakil presiden terpilih. Jika ada yang mengundurkan diri, mesti ada kualifikasi yang ketat agar pengunduran diri tidak mudah diajukan.
Oleh karena itu, ia mengingatkan agar KPU tidak dengan mudah memproses surat pengunduran diri ataupun surat pemberhentian dari parpol. KPU harus memverifikasi kebenaran dari berbagai dalih tersebut untuk memastikan tidak adanya unsur paksaan dan kesengajaan untuk mengkhianati mandat dari pemilih. Jangan sampai suara pemilih dan prinsip daulat rakyat seenaknya dipermainkan oleh parpol.