Pulihkan Kerugian Ekologis, Kejaksaan Diharapkan Sita Aset Lebih Awal
Penyidik Kejagung semestinya bertindak lebih progresif karena kasus timah tersebut menimbulkan kerusakan ekologis besar.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung diharapkan meningkatkan penelusuran dan penyitaan aset terkait dengan dugaan korupsi komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah Tbk dalam rentang tahun 2015-2022. Ini karena kasus tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara, tetapi juga merusak lingkungan dengan nilai kerugian mencapai Rp 271 triliun.
Harapan itu salah satunya disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Minggu (10/3/2024). Menurut dia, penelusuran aset terkait dengan tindak pidana harus menjadi prioritas utama penyidik, baik aset yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana maupun aset hasil kejahatan.
”Aset tersebut harus disita oleh penyidik agar kemudian nanti dalam proses persidangan barang sitaan itu bisa ditunjukkan untuk kemudian dimintakan perampasan kepada majelis hakim,” ujar Kurnia.
Kasus dugaan korupsi tata niaga timah itu bermula dari adanya kerja sama penambangan antara PT Timah Tbk dan pihak swasta yang diduga ilegal. Tak hanya di wilayah IUP PT Timah, penambangan ilegal juga dilakukan di luar kawasan IUP, termasuk di kawasan hutan lindung. Penambangan ilegal itu mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dengan nilai kerugian mencapai Rp 271 triliun. Angka itu mencakup kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
Selain itu, lanjut Kurnia, ICW juga merekomendasikan agar penyidik menyita jaminan sebagaimana diatur dalam hukum perdata. Melalui sita jaminan, aset hasil kejahatan dapat langsung dirampas atau digunakan untuk membayar jika terdakwa diputus membayar sejumlah uang pengganti. Konsep itu dinilai lebih efektif karena selama ini vonis untuk membayar uang pengganti tidak bisa maksimal karena aset terdakwa telah lebih dulu dialihkan ke pihak lain.
”Kenapa ini kami dorong? Karena selama ini selisih antara uang pengganti yang dibayar dan kerugian negara terlalu besar. Negara baru fokus pada pemidanaan badan, bukan pemulihan kerugian keuangan negara,” ujar Kurnia.
Lebih progresif
Kurnia menambahkan, penyidik Kejaksaan Agung semestinya bertindak lebih progresif lagi karena kasus tersebut terbukti telah menimbulkan kerusakan lingkungan atau ekologis yang besar. Ketika penyidik berupaya menerapkan pasal mengenai kerugian perekonomian negara, langkah progresif berupa sita jaminan sudah sejalan untuk diterapkan karena perspektif penyidik menjadi lebih luas.
Meski demikian, agar pasal mengenai kerugian perekonomian negara dapat diterapkan di persidangan, dibutuhkan kesamaan pandanganan antara jaksa penuntut umum dan majelis hakim. ”Jangan sampai hanya penuntut umum saja yang punya perspektif bahwa kerugian ekologis ini harus dipulihkan,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyampaikan, penyidik telah melakukan penggeledahan dan penyitaan pada Rabu (6/3/2024) sampai Jumat (8/3/2024) di beberapa tempat terkait kasus dugaan korupsi komoditas timah di IUP PT Timah Tbk. Penggeledahan dilakukan di kantor PT QSE, PT SD, dan rumah tinggal saksi HL yang berada di Jakarta.
Penyidik Kejaksaan Agung semestinya bertindak lebih progresif lagi karena kasus tersebut terbukti telah menimbulkan kerusakan lingkungan atau ekologis yang besar.
Saksi HL diketahui merupakan pemilik dari PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN) yang kini adalah General Manager dari PT Tinindo Inter Nusa, yakni Rosalina, telah ditetapkan menjadi tersangka. Hingga saat ini, terdapat 13 tersangka yang terkait dengan pokok perkara dan satu tersangka terkait perintangan penyidikan kasus tersebut.
Penggeledahan dan penyitaan dilakukan tim penyidik untuk menindaklanjuti kesesuaian antara hasil dari pemeriksaan para tersangka dan saksi mengenai aliran dana yang diduga berasal dari beberapa perusahaan dan terkait dengan kegiatan tata niaga timah ilegal,” ujar Ketut.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik melakukan penyitaan terhadap barang bukti elektronik, dokumen, serta uang tunai sebesar Rp 10 miliar dan 2 juta dollar Singapura. Uang tersebut diduga berhubungan atau merupakan hasil tindak kejahatan. Ketut memastikan penyidik mengembangkan kasus tersebut dengan menggali fakta-fakta baru dari barang bukti yang didapatkan.