Pemilu 2024, Pukulan Telak bagi Keterwakilan Perempuan
Komitmen negara terhadap penguatan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024 dinilai melemah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Rekapitulasi suara Pemilu 2024 belum tuntas, tetapi sejumlah nama calon anggota legislatif perempuan dari partai-partai politik diprediksi lolos ke parlemen dengan perolehan suara besar. Mereka di antaranya para politisi senior, yakni Puan Maharani dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P dan Nurul Arifin dari Partai Golkar. Tak hanya itu, para politisi muda, seperti Pinka Haprani dari PDI-P dan Hillary Brigitta Lasut dari Partai Demokrat, juga berpotensi besar masuk ke Senayan.
Meski sejumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan berhasil memasuki parlemen, ada lebih banyak perempuan politisi yang kehilangan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, bahkan sejak awal kontestasi. Sebab, pada pertengahan 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat mengubah ketentuan penghitungan kuota 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang berdampak pada berkurangnya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan pada pencalonan anggota legislatif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Melalui peraturan itu, KPU mengubah cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil). Dari semula dibulatkan ke atas jika hasil penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan menjadi pembulatan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma hasil penghitungan bernilai kurang dari 50.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, pembulatan ke bawah akan menurunkan keterwakilan perempuan di 38 dapil. Koalisi menemukan, sebanyak 7.971 caleg perempuan kehilangan kesempatan. Ini karena ada 290 kursi bakal caleg DPR, 860 bakal caleg DPRD provinsi, dan 6.821 bakal caleg DPRD kabupaten/kota, yang seharusnya diisi perempuan justru diberikan kepada laki-laki (Kompas, 12/8/2023).
Adapun perubahan cara menghitung 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap dapil itu merupakan hasil rapat antara penyelenggara pemilu dan Komisi II DPR. Hal tersebut diklaim sebagai titik tengah atas dilema partai politik (parpol) dalam menghadirkan caleg perempuan.
Perubahan ketentuan itu kemudian mendorong Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan untuk menguji materi Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 ke Mahkamah Agung (MA) karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Gugatan masyarakat sipil pun dikabulkan oleh MA sehingga setiap parpol harus tetap memenuhi ketentuan 30 persen jumlah caleg perempuan dengan model penghitungan sebelumnya.
Kendati demikian, berdasarkan penelusuran Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) terhadap daftar calon tetap (DCT) yang ditetapkan KPU pada November 2023, sebanyak 17 dari total 18 parpol peserta pemilu mendaftarkan calon anggota DPR yang tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen perempuan untuk sejumlah dapil. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PDI-P, dan Partai Demokrat merupakan parpol yang jumlah caleg perempuan di dapilnya paling banyak kurang dari 30 persen. Dari 84 dapil yang diikuti PKB, 29 dapil tidak memuat daftar calon dengan minimal 30 persen perempuan. Sementara daftar caleg di 26 dapil yang didaftarkan PDI-P kurang dari 30 persen dan daftar caleg Demokrat di 24 dapil kurang dari 30 persen (Kompas, 10/11/2023).
Dari seluruh parpol peserta pemilu, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi ketentuan tersebut. PKS menempatkan caleg perempuan minimal 30 persen dari total caleg yang didaftarkan di seluruh dapil untuk DPR.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin mengungkapkan, pada umumnya, parpol kesulitan memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Upaya untuk mencari perempuan politisi yang militan dan tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan administratif pun tidak mudah. Oleh karena itu, meski sempat diubah, ketentuan yang ada saat ini dinilai sudah baik.
”Bagi saya, (aturan) yang ada sekarang sudah cukup baik walaupun belum sempurna. Yang penting perempuannya enggak asal comot, mau maju dengan hati, cerdas, dan bukan hanya untuk melengkapi (persyaratan),” ucap Nurul saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Caleg Partai Golkar dari Dapil Jawa Barat I itu mengungkapkan, menurunnya keterwakilan perempuan juga dipengaruhi kuat oleh persaingan ketat antarcaleg, baik dari parpol yang berbeda maupun parpol yang sama. Dengan kondisi masyarakat saat ini yang cenderung lebih permisif terhadap hal-hal materiil, mau tidak mau caleg harus punya modal finansial besar.
”Dengan kompetisi yang semakin sengit, (caleg) perempuan terengah-engah untuk berkontestasi,” ujarnya.
Di tengah konteks itu, Nurul mengusulkan agar ke depan Indonesia menerapkan sistem pemilu campuran atau mixed member proportional. Dengan sistem tersebut, diharapkan ada perwakilan yang adil dari berbagai kelompok. ”Ini penting supaya (pemilihan anggota legislatif) tidak tergerus dengan sistem pasar bebas,” kata dia.
Komitmen negara turun
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, komitmen negara terhadap penguatan keterwakilan perempuan jelang Pemilu 2024 melemah. Hal itu terlihat dari munculnya aturan yang alih-alih memperkuat justru melemahkan keterwakilan perempuan di bidang politik, pemilu, dan demokrasi. ”PKPU No 10/2023 menjadi pukulan luar biasa bagi gerakan perempuan politik di tengah berbagai target negara untuk menghadirkan tata kelola pemerintahan yang lebih inklusif,” ujar Titi.
Dengan kompetisi yang semakin sengit, (caleg) perempuan terengah-engah untuk berkontestasi.
PKPU No 10/2023, menurut Titi, muncul sebagai bentuk kompromi KPU terhadap aspirasi parpol. Peraturan tersebut juga membuktikan bahwa kebijakan afirmasi belum terinternalisasi dengan baik di kelembagaan parpol. Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan cenderung masih dianggap sebagai beban karena tidak dilakukan bersamaan dengan kaderisasi dan perekrutan politik secara demokratis di internal partai.
”Pelemahan keterwakilan perempuan di pemilu bisa jadi kotak pandora bagi rentetan peristiwa serupa di bidang-bidang lain, dengan alasan keterwakilan perempuan bisa disuarakan tidak harus oleh perempuan,” kata Titi.
Ditambah lagi ekosistem politik berbiaya mahal dan transaksional yang menyulitkan perempuan bisa ikut berkompetisi secara optimal. Lebih dari itu, iklim tersebut berdampak pada banyak perempuan kapok berpolitik. ”Akhirnya, dunia politik makin berat bagi perempuan, maskulin, dan elitis. Besar dugaan bahwa perempuan terpilih di Pemilu 2024 (pun) akan menghadapi tantangan besar dalam mendorong kebijakan yang inklusif dan properempuan,” kata Titi.
Untuk itu, diperlukan evaluasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu agar lebih sederhana, terjangkau, dan kompetitif bagi perempuan. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik untuk mengakomodasi evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu 2024. Tak hanya itu, kenegarawanan anggota DPR dan presiden terpilih juga dibutuhkan untuk mewujudkan perbaikan tersebut.