Utak-atik Ambang Batas Parlemen
MK telah memerintahkan pembentuk undang-undang mengubah ambang batas parlemen. Berapa angka ideal untuk ambang batas?
Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional mulai Pemilu 2029. MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen tersebut melalui revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menyoal tentang penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen. Perludem menilai ketentuan ambang batas tersebut telah menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Concern kami adalah kita menggunakan sistem pemilu proporsional, tetapi hasil pemilu kita tidak proporsional, salah satunya karena banyaknya suara yang terbuang. Pemilu 2019 itu sekitar 23 juta suara yang terbuang, padahal dia memilih secara sah. Sebanyak 13 juta ini memilih parpol, calon legislatif dengan benar tetapi suaranya terbuang karena ambang batas tadi,” kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Ambang Batas Diubah, Siapa Diuntungkan?” di Kompas TV, Rabu (6/3/2024) malam.
Dalam acara yang dipandu wartawan senior Budiman Tanuredjo itu, hadir pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari; Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung; Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Djarot Saiful Hidayat; anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto; Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi; Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie; serta Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi.
Menurut Khoirunnisa, kenaikan ambang batas dari 2,5 persen pada Pemilu 2009 menjadi 3,5 persen pada Pemilu 2014, kemudian menjadi 4 persen pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 tidak didasarkan pada argumentasi yang rasional. Penyederhanaan partai politik yang menjadi pertimbangan menaikkan ambang batas nyatanya tak terjadi. Dari 14 parpol peserta Pemilu 2019, sembilan parpol di antaranya lolos masuk parlemen. Adapun Pemilu 2014, dari 12 parpol yang ikut kontestasi, 10 parpol di antaranya lolos ambang batas parlemen 3,5 persen.
Sementara perdebatan yang mengemuka adalah keinginan partai besar untuk mematok ambang batas parlemen yang tinggi. Sementara partai menengah dan kecil merasa diuntungkan kalau ambang batas parlemen kecil.
Baca juga: Mayoritas Parpol Tak Ingin Ambang Batas Parlemen Diturunkan
Oleh karena itu, kata Khoirunnisa, alih-alih memohon angka ambang batas parlemen yang spesifik ke MK, Perludem memohon agar ada perhitungan yang rasional terhadap ambang batas parlemen. Bagi Perludem, rumus untuk menghitung angka ambang batas parlemen secara rasional tersebut sudah ada meski dalam putusan MK, hal itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang.
Perludem, kata Khoirunnisa, mengusulkan metode lain untuk menyederhanakan partai karena kenaikan ambang batas parlemen ternyata tak efektif. Metode yang diusulkan adalah mengurangi alokasi kursi di daerah pemilihan, dari 3-10 kursi per dapil menjadi 3-8 kursi atau 3-6 kursi.
Feri juga berpandangan, putusan MK tentang ambang batas parlemen itu penting untuk keberlanjutan pemilu ke depan. Putusan itu juga dinilai cukup adil karena tidak langsung diberlakukan untuk Pemilu 2024 sehingga terhindar dari tuduhan bahwa putusan MK itu bertujuan guna memberikan keuntungan bagi parpol tertentu.
Meski demikian, Feri juga melihat putusan MK tersebut sekaligus bisa menjadi ancaman. Sebab, MK mengembalikan rumusan tentang ambang batas parlemen kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Padahal, selama ini DPR menetapkan ambang batas parlemen tanpa pertimbangan yang rasional. ”Kenapa MK tidak langsung tunjuk angka saja supaya adil bagi seluruh peserta,” ujar Feri.
Selain itu, Feri menilai, putusan MK itu juga membingungkan. Di satu sisi terdapat keinginan untuk menyederhanakan parpol, tetapi di sisi lain tidak ada perintah untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Seharusnya, ketentuan mengenai syarat mendirikan serta mendaftarkan parpol sebagai badan hukum juga diperbaiki.
Perludem mengusulkan metode lain untuk menyederhanakan partai karena kenaikan ambang batas parlemen ternyata tak efektif. Metode yang diusulkan adalah mengurangi alokasi kursi di daerah pemilihan, dari 3-10 kursi per dapil menjadi 3-8 kursi atau 3-6 kursi.
Burhanuddin juga menilai, tujuan penerapan ambang batas parlemen untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial juga tak terwujud. Sebab, sejak 1999 hingga 2019, jumlah parpol di parlemen sebanyak 9-10 parpol. Padahal, pada Pemilu 1999 ambang batas parlemen belum diberlakukan. Di sisi lain, dengan sistem proporsional, seharusnya tidak ada suara sah yang hilang. Namun, pengalaman selama ini tidak demikian.
Burhanuddin menyampaikan beberapa pengalaman negara lain yang menerapkan ambang batas parlemen serupa. Dari kesemuanya itu, tidak ada formula tunggal yang baku. Sementara, dari kajian yang dilakukan terhadap parpol di Indonesia, terjadi fenomena yang disebut sebagai mediokerisasi partai. Artinya, partai-partai politik semakin mengarah ke tengah dengan perbedaan atau selisih suara antarpartai semakin menipis.
Oleh karena itu, Burhanuddin mengusulkan agar jumlah dapil diperbanyak sementara besaran daerah pemilihan (district magnitude) diperkecil. ”Tidak ada yang bisa memuaskan semua orang. Harus ada keputusan yang diambil yang paling sedikit mudaratnya, paling besar manfaatnya,” katanya.
Suara terbuang
Bagi Grace, putusan MK tersebut patut diapresiasi. Sebab, pemberlakuan ambang batas parlemen tinggi telah mengakibatkan banyak suara rakyat, yang merupakan pemilik kedaulatan tertinggi, akhirnya terbuang.
Grace pun mempertanyakan urgensi diterapkannya ambang batas parlemen. ”Kalau terkait parliamentary threshold, semangatnya yang penting adalah agar yang diuntungkan masyarakat. Jadi sesedikit mungkin suara sah terbuang itu terjadi. Bagaimana rumusannya, bisa dibahas di DPR,” tuturnya.
Baidowi menambahkan, DPR perlu merumuskan angka moderat untuk ambang batas parlemen demi menyelamatkan suara rakyat sekaligus menjaga proporsionalitas hasil pemilu. PPP mengusulkan, ambang batas parlemen dikembalikan ke angka 2,5 persen.
Baidowi menampik alasan dari usulan tersebut adalah karena posisi PPP masih belum aman dari ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Menurut dia, PPP memperhatikan pertimbangan hukum dari MK yang menyatakan agar jangan sampai ada suara rakyat yang terbuang.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Belum Berlaku di Pemilu 2024
”Pertimbangannya adalah memperhatikan penyederhanaan partai politik. Dengan angka 2,5 persen, disproporsionalitas tidak terjadi, penyederhanaan parpol tercapai, suara yang terbuang semakin sedikit,” kata Baidowi.
Doli juga berpandangan, putusan MK bisa menjadi momentum untuk menyempurnakan sistem pemilu di Indonesia. Karena itu, perbaikan tidak hanya menyangkut angka ambang batas parlemen, tetapi juga sistem pemilu proporsional hingga upaya mengatasi praktik penyelewengan dalam pemilu, seperti politik uang dan jual-beli suara.
”Dalam rangka memperkuat sistem presidensial sambil juga memastikan semua suara rakyat tidak hilang, boleh ambang batas diturunkan. Tetapi setidaknya ada dua syarat. Pertama, sistem pemilunya, mungkin kita perlu mengkaji sistem pemilu campuran antara proporsional dengan distrik. Kedua adalah dengan mempersempit besaran kursi per dapil,” kata Doli.
Sementara itu, menurut Wihadi, penurunan ambang batas parlemen bisa mengakibatkan munculnya parpol yang hanya memiliki satu-dua kursi. Kondisi ini dikhawatirkan akan berakibat pada kinerja parlemen karena DPR memiliki 11 komisi.
PDI-P punya pandangan berbeda. Menurut Djarot, ambang batas parlemen idealnya diatur berjenjang, tidak hanya berlaku di DPR, tetapi juga di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota.
”Menurut saya, idealnya parliamentary threshold itu paling tidak minimal 5 persen, tetapi itu berjenjang. Untuk DPR 5 persen, untuk DPRD tingkat provinsi 4 persen, untuk DPRD tingkat kota atau kabupaten 3 persen,” tuturnya.
Menurut Djarot, jika Indonesia menganut sistem multipartai sederhana, ambang batas parlemen mesti dinaikkan. Bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen, maka pada pemilu berikutnya tidak diperkenankan untuk mengikuti kontestasi pemilu lagi. Dengan demikian, kata Djarot, terjadi konsolidasi demokrasi.