Prabowo Sebut Demokrasi Melelahkan, Pengamat: Ngeri-ngeri Sedap Pernyataan Itu
Prabowo Subianto menyebut demokrasi Indonesia mahal dan melelahkan. Apa maknanya di mata pengamat politik?
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Menteri Pertahanan yang juga calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, bahwa proses demokrasi Indonesia sebagai yang terbesar di dunia sangat mahal dan melelahkan dinilai dapat memberi gambaran masa depan demokrasi Indonesia seperti apa di bawah kepemimpinan Prabowo. Sebagai salah satu pemegang jenderal bintang empat kehormatan, pada diri Prabowo melekat prinsip dan tindakan yang efektif, efisien, serta satu komando. Hal ini dinilai akan sulit untuk mewujudkan perbaikan kualitas demokrasi yang saat ini semakin menurun.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, saat dihubungi, Rabu (6/3/2024), berpendapat, penilaian Prabowo bahwa demokrasi melelahkan dan mahal hanya dari pelaksanaan pemilu itu sangat mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Demokrasi dinilai juga akan semakin mundur dibandingkan di era Presiden Joko Widodo.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Ngeri-ngeri sedap pernyataan itu, mudah-mudahan keluhan Prabowo itu hanya sesaat dan bersifat gimik. Namun, saya melihat pernyataan itu kecenderungannya akan disampaikan oleh pihak-pihak yang akan menjalankan pemerintahan otoriter ke depannya,” kata Firman.
Sebelumnya, dalam acara Mandiri Investment Forum yang disiarkan secara daring di Youtube Kompas TV, Selasa, Prabowo mengatakan, demokrasi di Indonesia masih berantakan dan membutuhkan biaya sangat mahal. Sebagai kontestan pemilu, ia merasa masih belum puas dengan pelaksanaan demokrasi sehingga perlu ada perbaikan demokrasi untuk ke depan.
Ngeri-ngeri sedap pernyataan itu, mudah-mudahan keluhan Prabowo itu hanya sesaat dan bersifat gimik. Namun, saya melihat pernyataan itu kecenderungannya akan disampaikan oleh pihak-pihak yang akan menjalankan pemerintahan otoriter ke depannya.
”Izinkan saya bersaksi bahwa demokrasi sungguh sangat melelahkan. Demokrasi itu sangat-sangat berantakan, demokrasi itu sangat-sangat mahal. Dan kita masih belum puas dengan demokrasi kita. Ada banyak ruang untuk perbaikan,” katanya.
Namun, Prabowo tidak menjelaskan lebih lanjut ruang perbaikan demokrasi yang dimaksud. Ia meminta masyarakat Indonesia tidak merasa rendah diri dengan sistem demokrasi yang dianut sekarang ini. Prabowo juga lantas mengapresiasi partisipasi masyarakat Indonesia di pemilu yang bisa mencapai 80 persen.
Menurut dia, angka partisipasi pemilu Indonesia tidak buruk jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi karena partisipasi pemilih mereka tidak sampai 50 persen. Selain itu, ia juga mengapresiasi proses pemilu yang dilakukan di 820.000 lebih tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia tanpa ada insiden. Terkait hal ini, Prabowo juga merinci pernyataannya lagi soal tidak ada insiden di ratusan ribu TPS tersebut.
Meski Prabowo menyebut adanya ruang perbaikan tanpa menjelaskannya seperti apa, lanjut Firman Noor, belum serta-merta dilakukan perbaikan pada kualitas demokrasi untuk menjadi lebih baik. Padahal, demokrasi di Indonesia sudah semakin mundur dan berada di ujung tanduk. Potensi kemunduran demokrasi ini sudah ada sejak sembilan tahun yang lalu. Oleh sebab itu, perlu digarisbawahi seberapa luas ruang demokrasi yang akan diperbaiki Prabowo dan bisa menjadi pintu masuk kedaulatan rakyat.
Secara umum kualitas demokrasi kita sudah stagnan dan mengalami regresi.
”Melihat demokrasi itu juga harus sebelum pelaksanaan pemilu, sudah hampir lima tahun ini demokrasi kita bermasalah. Secara umum kualitas demokrasi kita sudah stagnan dan mengalami regresi,” ujarnya.
Menurut Firman, sebagai mantan jenderal, pada sosok Prabowo lebih melekat prinsip dan tindakan yang bersifat satu komando, efektif, dan efisien dibandingkan nilai-nilai demokrasi. Hal ini bisa menggambarkan sistem pemerintahan ke depan yang akan dijalankan sebab kacamata Prabowo melihat bahwa demokrasi itu melelahkan.
”Pada akhirnya justru bisa semakin mengobarkan demokrasi. Tentara ini, kan, berpikir efektif, efisien, satu komando, yang sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip masyarakat sipil dan substansi demokrasi yang butuh bicara, kolaborasi, bermusyawarah, mufakat, dan lainnya,” tutur Firman.
Untuk itu, ia menekankan, negara demokrasi di Indonesia sangat membutuhkan peran oposisi untuk menjamin adanya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan negara. Tanpa keberadaan oposisi, suara rakyat yang berseberangan dengan pemerintah cenderung tidak bisa terwadahi.