Di Balik ”Dapur” Rekapitulasi PPP dan PSI
Suara PPP terancam turun, sebaliknya suara PSI semakin tinggi. Ada apa di balik ”dapur” rekapitulasi kedua partai itu?
Perseteruan menghangat antara Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Solidaritas Indonesia. Di tengah ancaman degradasi dari ambang batas parlemen 4 persen, kedua partai malah terus saling menaruh curiga.
Kubu PPP mempersoalkan suara PSI yang belakangan ini melonjak secara tak wajar, sementara suara PPP menurun. Partai berlambang kabah itu kemudian menuding hal tersebut tak terlepas dari operasi pemenangan PSI yang digerakkan oleh aparat.
Tak terima dengan tuduhan itu, PSI meminta pihak-pihak yang menuduh PSI curang untuk bisa membuktikannya. Lagi pula, kesalahan penghitungan juga terjadi pada partai politik lain, tak terkecuali PPP. Untuk itu, semua pihak diharapkan tidak saling tuduh dan tetap menunggu hasil penghitungan berjenjang dari Komisi Pemilihan Umum.
Di balik aksi saling serang itu, masing-masing partai berjibaku mengawal pergerakan suara setiap harinya. Sebab, di lapangan, bukan tidak mungkin ditemukan berbagai kesalahan penghitungan yang merugikan suara partai mereka.
Baca juga: PPP Pertanyakan Perubahan Suara Tak Wajar di Sirekap
Sekitar 25 kader muda PPP, misalnya, tetap sibuk melakukan kerja-kerja pemenangan untuk mengawal rekapitulasi suara meski telah berakhir tahapan pemungutan suara pada 14 Februari lalu. Pasalnya, hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan perolehan suara PPP belum menyentuh ambang batas parlemen 4 persen.
Setiap hari, mereka datang ke lantai III kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, Menteng, Jakarta Pusat, untuk merekapitulasi perolehan suara di seluruh TPS. Bermodalkan laptop, mereka merekapitulasi perolehan suara PPP ataupun parpol lain di semua tempat pemungutan suara (TPS).
Kubu PPP mempersoalkan suara PSI yang belakangan ini melonjak secara tak wajar, sementara suara PPP menurun.
Para petugas itu bahkan harus pulang larut malam karena banyaknya data dari para saksi yang harus segera dicatat. Kadang, mereka juga harus menunggu masuknya data C Hasil dari berbagai daerah yang sering kali baru dikirimkan malam hari melalui grup aplikasi percakapan.
Setelah formulir C Hasil masuk, para kader menyandingkan data itu dengan foto C Hasil yang telah diunduh dari Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik KPU. Satu per satu angka disandingkan untuk memastikan kesesuaian data yang diperoleh saksi di TPS dengan data yang diunggah oleh KPU.
Terkadang kami menemukan ketidaksesuaian antara data C Hasil dari saksi di TPS dan foto C Hasil yang diunduh dari Sirekap. Ini semua kami catat.
Jika datanya sudah sama, mereka memasukkan angka-angka tersebut ke tabulasi yang telah disiapkan. Beberapa data, seperti perolehan suara 18 parpol peserta pemilu, perolehan suara caleg PPP, jumlah surat suara terpakai, serta suara sah dan suara tidak sah dicatat dalam tabulasi mereka.
”Terkadang kami menemukan ketidaksesuaian antara data C Hasil dari saksi di TPS dengan foto C Hasil yang diunduh dari website Sirekap. Ini semua kami catat,” ujar Ketua DPP PPP Dahlia Umar saat ditemui di Pusat Data PPP, Jakarta, Selasa (6/3/2024).
Kemurnian suara
Manurut Dahlia, pusat data tersebut dibuat untuk memastikan kemurnian suara yang diperoleh para caleg PPP. Setelah para caleg berkampanye selama 75 hari dan mendapatkan mandat dari pemilih, PPP ingin memastikan suara tersebut tidak dicuri oleh pihak lain. Termasuk mengawal tidak adanya perubahan suara di parpol lain karena bisa berdampak pada persentase perolehan suara secara nasional.
Terlebih, hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menempatkan suara PPP berada tipis di bawah ambang batas parlemen 4 persen. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, menunjukkan perolehan suara PPP sebesar 3,86 persen. Adapun toleransi kesalahan (margin of error) sebesar 1 persen.
Kalau data di Sirekap benar, cepat, lengkap, sebenarnya kami tidak perlu mengeluarkan biaya miliaran untuk membuat pusat data sendiri.
Di sisi lain, PPP mengapresiasi KPU yang memiliki Sirekap. Namun, faktanya, foto C Hasil di Sirekap tidak lengkap, bahkan pembacaan data sering kali bermasalah. Hal itu justru menimbulkan polemik dan bisa menggiring opini publik terhadap data yang keliru.
”Kalau data di Sirekap benar, cepat, lengkap, sebenarnya kami tidak perlu mengeluarkan biaya miliaran untuk membuat pusat data sendiri,” ujar Dahlia.
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menambahkan, potensi pencurian suara pileg sangat tinggi. Ia pun mengaku menjadi salah satu korban ketika suara di dua TPS berpindah ke parpol lain. ”Saya langsung melaporkannya ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan akhirnya bisa dikembalikan seperti aslinya,” katanya.
Karena itu, PPP berusaha semaksimal mungkin mendapatkan C Hasil di semua TPS. Meskipun KPU menjanjikan semua parpol mendapatkan C Hasil, pada kenyataannya PPP sulit mendapatkannya. Di kecamatann-kecamatan yang tidak ada pengurusnya, seperti di Nusa Tenggara Timur dan Papua, PPP tidak mendapatkan salinan C Hasil karena tidak ada saksi di TPS dan ketiadaan pengurus di sebagian kecamatan.
Potensi pencurian suara pileg sangat tinggi.
Walhasil, mereka menyiasatinya dengan meminta C Hasil dari Panwaslu ataupun saksi dari parpol koalisi. Pencarian foto C Hasil di Sirekap pun kadang tidak membuahkan hasil karena masih banyak formulir yang belum diunggah.
Jatuh sakit
Kesibukan serupa juga ditemukan di sebuah ruko di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Jika dilihat dari luar, ruko yang merupakan kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI itu terlihat tenang. Namun, semua berubah ketika sudah memasuki satu ruangan di lantai 2.
Sekitar enam anak muda duduk rapih dengan tata letak ruang rapat berongga, menyisakan sedikit ruang kosong di tengah, dalam posisi segi empat. Sudah hampir jam pulang orang kantoran, mereka tetap tidak beranjak dari tempat duduknya. Mereka masih terus memelototi barisan angka-angka yang terpampang di laptop mereka. Sisanya, sibuk membolak-balikkan kertas rekapitulasi internal yang ditulis oleh saksi partainya saat rekapitulasi di kecamatan. Ruangan auditorium seluas 10 meter x 10 meter yang biasa dijadikan sebagai tempat rapat dan acara kecil-kecilan kini disulap menjadi war room.
Di hadapan mereka juga terdapat layar proyektor yang terus menampilkan hasil rekapitulasi terkini, baik perolehan suara DPRD maupun DPR. ”Jadi, di DPW ini hanya untuk mengawal suara di Jakarta, baik DPR maupun DPRD,” ujar Sekretaris DPW Geraldi Ryan Wibinata.
PSI memang tidak membuat secara khusus pemantauan dan pengawalan suara secara nasional. Proses tersebut telah didelegasikan ke DPW-DPW seluruh Indonesia. Di masing-masing kantor DPW, proses pemantauan dan pengawalan suara baru dilakukan, mulai dari kecamatan hingga kabupaten/kota. DPP hanya ikut memantau prosesnya saja.
Jadi, di DPW ini hanya untuk mengawal suara di Jakarta, baik DPR maupun DPRD.
Meski hanya memegang satu provinsi, Geraldi mengaku, keribetannya tetap sama saja. Ia bersama teman-temannya hanya merasa lebih diuntungkan karena berada di Jakarta dengan teknologi yang lebih memadai. Selain itu, sumber daya manusia juga lebih mudah didapatkan.
Sehari setelah pencoblosan, pada 15 Februari PSI telah merekrut puluhan anak magang untuk membantu mengawal suara PSI. Anak-anak magang ini berasal dari berbagai kampus di Jakarta, Depok, dan Tangerang. Kemudian, selama hampir sebulan ini, mereka secara bergantian bertugas melengkapi dan menginput data-data yang belum muncul di Sirekap. Kemudian, data-data tersebut dimasukkan dalam tabulasi yang telah disiapkan.
”Biasanya dari pukul 10.00 sampai 22.00. Kalau sakit-sakit, mah, namanya orang kerja berhari-hari, pasti ada saja (yang sakit). Tetapi, kami kirim vitamin terus, calegnya juga rutin kirim vitamin, obat-obatan. Ini, bahkan, sudah ada yang mau minta libur he-he-he,” ujar Gerladi.
Wakil Sekretaris DPW PSI Allya Natasya Aurora menambahkan, PSI merasa beruntung dengan banyaknya partisipasi anak muda dalam proses ini. Sebab, proses ini membutuhkan kejelian saat melihat angka yang salah dan kedetailan saat proses penginputan ke tabulasi.
Biasanya kesalahan di TPS itu antara lain di jumlahnya salah. Misal kita dapat 15 suara, tetapi ditulisnya 13 suara. Lalu, angka 7 dianggap angka 1 karena, kan, agak mirip tegak lurus. Nah, itu jadi problem juga.
Ia mengungkapkan, dengan keberadaan mereka, PSI justru menemukan ada banyak kesalahan penulisan angka dalam data C Hasil yang diunggah di Sirekap. Ketidaksesuaian data juga ditemukan ketika membandingkan antara C Hasil yang diunggah di Sirekap dengan hasil rekapitulasi yang dicatat oleh saksi PSI. Tak heran ini berdampak pada jumlah suara PSI.
”Biasanya kesalahan di TPS itu antara lain dijumlahnya salah. Misal kita dapat 15 suara, tetapi ditulisnya 13 suara. Lalu, angka 7 dianggap angka 1 karena, kan, agak mirip tegak lurus. Nah, itu jadi problem juga,” tutur Allya.
Apabila menemukan ada kesalahan seperti itu, mereka akan membuat daftar kesalahan. Daftar kesalahan itu meliputi daerah pemilihan dan TPS berapa beserta rincian kesalahannya. Daftar tersebut kemudian dikirimkan ke saksi PSI yang bertugas di kecamatan untuk ditindaklanjuti, salah satunya penghitungan suara ulang.
”Ini dikerjakan day to day. Jadi, pas teman-teman muda ini menemukan kesalahan, direkap, lalu langsung dikirim ke saksi. Nah, nanti ketika saksi lagi lewat di TPS yang terdapat kesalahan penghitungan itu, mereka langsung menindaklanjutinya,” ujar Allya.
Kendala ”partai kecil”
Mantan Ketua Bawaslu, Abhan, mengungkapkan, modus pencurian suara di Pemilu 2024 cenderung sama dengan di pemilu-pemilu sebelumnya. Ada yang mengambil suara dari sesama caleg di internal parpol, mengambil suara dari caleg atau parpol lain, atau mengambil dari suara tidak sah. Praktik kecurangan itu tak hanya melibatkan peserta pemilu, tetapi juga harus ada kerja sama dari penyelenggara pemilu untuk memuluskan aksi.
Modus pencurian suara di Pemilu 2024 cenderung sama dengan di pemilu-pemilu sebelumnya.
Baca juga: Lonjakan Suara PSI Dinilai Tidak Masuk Akal
Karena itu, setiap parpol harus memiliki C Hasil yang menjadi bukti otentik perolehan suara di TPS. Dokumen itu bisa menjadi data pembanding tatkala parpol menemukan perbedaan rekapitulasi suara berjenjang. Data itu juga bisa digunakan sebagai bukti untuk laporan ke Bawaslu ataupun perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
Meski demikian, ”partai-partai kecil” dan partai baru cenderung lebih sulit mengumpulkan formulir C Hasil di semua TPS. Sebab, pada umumnya, kepengurusan yang dimiliki hanya sesuai jumlah minimal yang dipersyaratkan sebagai peserta pemilu, yakni kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan.
”Parpol perlu mencari solusi untuk mendapatkan C Hasil di daerah-daerah yang tidak ada saksi dan pengurus,” kata Abhan.