Kisah Sedih Tak Main ”Politik Uang”, Banyak Caleg Tumbang?
Pascapemilu, kisah sedih caleg bermunculan. Sebagian karena tak mampu main politik uang. Benarkah pemilu butuh modal?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Demokrasi di Indonesia yang dinilai berantakan dan mahal oleh calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, saat berbicara di acara Mandiri Investment Forum, Selasa (5/3/2024) lalu, tampaknya dimengerti sebagian anggota DPR. Sebagian dari mereka kini menjadi saksi bagaimana rekan-rekannya yang maju lagi menjadi calon anggota legislati (caleg) gagal masuk kembali sebagai anggota DPR meskipun sudah berkampanye mati-matian.
Kisah sedih itu pun kini sebagian mulai muncul setelah pemungutan suara pada 14 Februari 2024 lalu. Cerita datang dari sejumlah anggota DPR yang masih terpilih. Mereka bercerita tentang kisah sedih teman-temannya yang gagal tersebut. Selain karena faktor keuangan, juga penyelenggara pemilu yang dinilai tidak menjalankan tugasnya secara benar dan profesional. Bukti adanya sebagian caleg yang kemungkinan menggunakan politik uang selama pemilu dan adanya penilaian tidak etiknya komisioner KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebelum pemilu lalu menjadi bukti penilaian berantakan dan mahalnya demokrasi selama ini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Di Komisi II DPR, misalnya, dari 48 anggota DPR, tercatat hanya 16 orang yang terpilih kembali. Memang banyak yang terpanggil, tetapi sedikit yang terpilih. Sebagian sisanya mungkin, selain masih ada yang berjuang untuk berusaha masuk kembali ke DPR dalam proses rekapitulasi, sebagian besarnya juga sudah cukup sadar diri dan mengetahui bahwa perolehan suaranya sangat minim. Akhirnya ia pun menerima saja menjadi rakyat biasa dan bukan lagi ”anggota Dewan yang terhormat” atau ”wakil rakyat”.
Komisi II DPR menangani, antara lain, masalah pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara dan reformasi birokrasi, dan pertanahan dan reforma agraria, termasuk soal kepemiluan.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, saat dihubungi Kompas pada Rabu (6/3/2024) lalu, mengakui, demokrasi yang dijalankan di Indonesia memang berantakan dan mahal ongkosnya. Pasalnya, banyak petahana atau para calon anggota legislatif dari Komisi II DPR yang tumbang dan tidak lolos ke Senayan. Padahal, mereka ingin dapat melenggang kembali masuk ke DPR. Alasannya, mereka tidak melakukan politik uang kepada para pemilihnya. Ia hanya memberikan alat peraga kampanye kepada para calon pemilihnya berupa jilbab, jam tangan, kain sarung, dan sebagainya.
Apa yang diatur dan disetujui undang-undang itu yang kamu lakukan. Ternyata, sekarang ini praktiknya ugal-ugalan karena banyak calon anggota legislatif yang menggelontorkan politik uang.
”Apa yang diatur dan disetujui undang-undang itu yang kamu lakukan. Ternyata, sekarang ini praktiknya ugal-ugalan karena banyak calon anggota legislatif menggelontorkan politik uang,” kata Guspardi.
Ia pun menyebut, selain dirinya dari 48 anggota DPR dari Komisi II, hanya 16 orang yang terpilih kembali. Di kursi pimpinan Komisi II, dari lima orang petahana juga hanya dua yang bertahan. Padahal, menurut dia, prestasinya selama menjabat sebagai anggota dewan cukup baik. Dia rajin datang ke rapat dan selalu mengutarakan pendapatnya.
”Selama menjadi anggota DPR periode 2019-2024, saya pun sudah membuat tujuh buku. Rekam jejak saya juga pernah menjadi pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin), aktivis, dosen, pegawai negeri, lalu berkiprah di DPRD provinsi selama tiga periode. Sekarang, kalah dengan kepentingan sesaat duit, duit, dan duit saja,” ujarnya.
Perbaikan dimulai dari penyelenggara pemilu
Guspardi juga sepakat bahwa situasi demokrasi di Indonesia yang dinilai berantakan harus diperbaiki. Salah satunya dimulai dari penyelenggara pemilu yang bekerja kurang optimal sebagai wasit pemilu. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan melanggar etik beberapa kali, tetapi tetap tidak diberhentikan dari kursi ketua. Artinya, ada intrik-intrik dalam seleksi KPU dan Bawaslu yang harus dibenahi.
Ke depan, diharapkan penyelenggara pemilu dikembalikan seperti tahun 1999, yaitu dari partai politik, sehingga bisa saling mengawasi. Adapun Bawaslu diambil dari organisasi masyarakat sipil supaya lebih kritis.
Saya bersyukur di dapil Jakarta Timur yang secara umum pemilih bisa disentuh dengan media, televisi, dan sosial media. Saya juga mendatangi kantong-kantong tokoh (agar dipilih rakyat).
Anggota Komisi II DPR asal Partai Keadilan Sejehtera (PKS), Mardani Ali Sera, juga menyatakan hal serupa. Ia menyebutkan, apa yang disampaikan Prabowo Subianto benar bahwa demokrasi itu berantakan dan mahal. Meski demikian, demokrasi masih menjadi sistem penjaga kepentingan rakyat yang terbaik. Oleh karena itu, demokrasi juga perlu diperbaiki dan diikuti dengan etika dan perilaku yang menghargai suara rakyat dari pemilu.
Mardani menyampaikan, berdasarkan pengalamannya bertarung di dapil Jakarta Timur. Diakuinya, memang tidak semua caleg bermain politik uang. Hal itu dinilainya tergantung dari para calon itu sendiri. Masih ada calon yang sudah memiliki popularitas dan bisa menang dengan cara yang cerdas dan murah.
”Saya bersyukur di dapil Jakarta Timur secara umum pemilih bisa disentuh dengan media, televisi, dan sosial media. Saya juga mendatangi kantong-kantong tokoh (agar dipilih rakyat),” tutur Mardani mengungkapkan pengalamannya.
Pengungkapan butuh proses panjang
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati membenarkan, memang banyak laporan yang masuk ke lembaganya berkaitan dengan maraknya politik uang yang terjadi selama pemilu. Namun, hal itu masih sulit dibuktikan sampai putusan pengadilan yang inkrah karena membutuhkan proses hukum dan pembuktian yang panjang.
Banyak laporan yang masuk ke lembaganya berkaitan dengan maraknya politik uang yang terjadi selama pemilu. Namun, hal itu masih sulit dibuktikan sampai putusan pengadilan yang inkrah kerena membutuhkan proses hukum dan pembuktian yang panjang.
Selama ini, laporan ke Bawaslu pun kerap tak diindahkan. Terakhir, DEEP Indonesia menerima laporan dan meminta untuk melaporkan ke Bawaslu terkait dengan penggelembungan suara yang terjadi pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di salah satu kabupaten/kota di Jawa Barat. Namun, sepertinya mandul dan tak benar-benar diungkap kebenarannya.
Neni menambahkan, pola transaksional tidak hanya terjadi dari peserta pemilu kepada pemilih, tetapi juga peserta kepada penyelenggara pemilu. Akhirnya, Pemilu 2024 ini seperti pertarungan bebas dan pasar bebas pemilu. ”Persaingannya memang sangat ketat,” kata Neni.
Ia menambahkan, riset Pramono Anung yang berjudul ”Mahalnya Demokrasi, Pudarnya Ideologi” memang fakta yang nyata bahwa yang terpenting itu adalah uang. Kehadiran Bawaslu sebagai pengawas dan penindak politik uang sebagai tindak pidana pemilu juga tidak mampu menjawab tantangan permasalahan itu, malah justru politik uang semakin tidak terbendung.
Dalam disertasinya yang kemudian menjadi buku itu, Pramono yang kini Sekretaris Kabinet menemukan adanya perubahan luar biasa dalam pemilihan anggota legislatif, terutama soal biaya yang mahal. Begitu juga munculnya orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang sebagai politisi, tetapi memaksa diri untuk menjadi politisi dengan bermodalkan uang besar. Mayoritas para caleg Pemilu 2009 tersebut memunculkan fenomena baru, yakni nama caleg yang paling dominan adalah pengusaha dan publik figur. Karena itu, bisa disimpulkan, untuk menjadi anggota legislatif saat ini ada dua syarat, modal yang semakin besar dan biaya politik yang makin tinggi. (DEA)