”Pasukan Burung Hantu” dan ”Alap-alap”, Saat Si Pencuri Suara Caleg Beraksi sejak Lama...
Lonjakan suara PSI menghebohkan. Perbincangan berujung tudingan ada ”pasukan burung hantu” dan ”alap-alap”. Siapa dia?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lonjakan suara Partai Solidaritas Indonesia menjadi perbincangan hangat di publik belakangan ini. Perbincangan itu lalu berujung pada tudingan adanya upaya penggelembungan suara, yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu. Namun, Komisi Pemilihan Umum membantahnya dan menyebut lonjakan suara PSI terjadi akibat kesalahan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dalam membaca formulir hasil penghitungan suara. Apa benar begitu?
Bantahan tersebut tak serta-merta bisa diterima sebagai kebenaran. Sebab, nyatanya penggelembungan suara diduga memang jamak terjadi di pemilu dan itu sudah berlangsung lama. Anehnya sama sekali tidak pernah dibawa ke ranah pengadilan dan diungkap secara jelas dan tegas sehingga peristiwa pencurian ataupun pemindahan suara hasil pemilu ilegal tak pernah diungkap tuntas.
Melihat sejumlah kasus yang terjadi di daerah, hal itu menunjukkan pencurian atau pemindahan suara hasil pemilu memang selalu terjadi dan terulang dari pemilu ke pemilu. Bukan hanya suara partai politik, suara calon anggota DPR hingga DPRD kabupaten/kota juga berpotensi digelembungkan. Hal itu salah satunya menjadi pertimbangan Badan Pengawas Pemilu merekomendasikan pemungutan suara ulang.
Kasus Serang dan Purworejo
Bawaslu Kota Serang, misalnya, merekomendasikan pemungutan suara ulang di tujuh tempat pemungutan suara (TPS) karena diduga ada penggelembungan suara salah satu calon anggota legislatif DPRD Kota Serang. Hal itu terungkap dalam proses hitung ulang di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Baca juga: Cerita Lonjakan Suara PSI dari Sebuah Desa di Jateng
”Ada perbedaan antara hasil pemilihan di 14 Februari dan saat dihitung ulang oleh petugas PPK,” ujar anggota Bawaslu Kota Serang, Fierly M Mabruri, Selasa (5/3/2024).
Ada perbedaan antara hasil pemilihan di 14 Februari dan saat dihitung ulang oleh petugas PPK.
Fierly menegaskan, meski telah dilakukan pemungutan suara ulang di tujuh TPS itu, Bawaslu tetap akan menindaklanjuti kasus tersebut. Sebab, ini merupakan kasus serius dan bisa berujung pada tindak pidana pemilu. Ia menambahkan, setidaknya 60 orang akan diperiksa sebagai saksi atas kasus tersebut. Mereka terdiri dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), saksi, hingga petugas TPS.
”Kami ingin mendalami kira-kira motif kesengajaan ini muncul secara personal pribadi atau memang didesain oleh kelompok politik tertentu. Kami juga sudah koordinasi dengan Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) dan Bawaslu provinsi. Kalau ditemukan pidana, kami akan limpahkan ke polres,” ucap Fierly.
Harian Kompas juga mencoba menelusuri hasil penghitungan suara di TPS di salah satu desa di Jawa Tengah dengan data Sirekap. Awalnya saksi salah satu partai politik di TPS Desa Kroyo, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Ario Bayu, penasaran dengan lonjakan perolehan suara PSI yang muncul di data Sirekap.
Bayu mengaku sangat terkejut karena seharusnya perolehan suara PSI untuk DPR di TPS 005 Desa Kroyo, tempatnya menjadi saksi, hanya nol suara. Bayu sempat mengecek hasil perolehan suara PSI di TPS lain di desanya yang juga hanya menghasilkan nol suara untuk PSI.
Sementara dari hasil penelusurannya ke data Sirekap KPU per 29 Februari 2024, total perolehan suara nasional untuk PSI dari TPS desanya mencapai 69 suara. Angka itu, kata Bayu, berubah lagi menjadi total 58 suara sesuai data per tanggal 4 Maret 2024, pukul 14.00, yang berasal dari dua TPS.
”Jadi, dari yang saya temukan, ada ketidaksamaan data plano asli dengan data Sirekap KPU terkait TPS 002 berjumlah 48 suara tercoblos untuk PSI dan di TPS 006 berjumlah 10 suara tercoblos juga untuk PSI. Padahal, TPS 002 seharusnya nol, sementara TPS 006 seharusnya 1 suara,” ujar Bayu, Senin (4/3/2024) (Kompas.id, 4/3/2024).
Dari dokumen rekapitulasi suara Desa Kroyo, PSI mendapatkan 12 suara. Namun, data di Sirekap, PSI mendapatkan total 69 suara.
Jaringan senyap
Keterlibatan oknum penyelenggara pemilu untuk otak-atik suara memang bukan isapan jempol. Caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah X, Hendrawan Supratikno, mengalaminya. Ia mengaku sempat ditawari oleh oknum yang mengenal PPK. ”Staf saya dapat telepon,” ungkapnya kepada Kompas, baru-baru ini.
Oknum tersebut mengaku bisa otak-atik suara sebelum pleno di TPS atau sebelum rekapitulasi di PPK. Tawarannya pun beragam. Ada yang menawarkan suara partai gurem yang tak punya harapan untuk diambil alih. Ada pula tawaran untuk menggeser suara yang tidak sah atau suara yang rusak agar masuk ke hitungan. Cara ini diyakini oleh oknum tersebut lebih ampuh karena mengurangi risiko ”teriakan” dari saksi partai.
Hal menarik lain ialah oknum itu juga berdagang di ”pasar keresahan atau kepanikan” karena mereka tahu banyak caleg yang sedang stres atau bingung menunggu tambahan informasi dan tambahan suara. Besaran harga untuk setiap data yang dijual bisa berbeda-beda. Untuk bisa menaikkan harga, oknum biasa menyampaikan kepada caleg partai A bahwa suara partai B terlihat besar. Begitu pula, ketika mereka menawari suara ke caleg partai B. Oknum tersebut akan menyampaikan ke caleg partai B bahwasanya suara partai A terlihat lebih besar.
Jadi diciptakan intensitas ketegangan. Ada desain untuk menaikkan harga jual informasi dan suara.
”Jadi diciptakan intensitas ketegangan. Ada desain untuk menaikkan harga jual informasi dan suara,” ungkap pria yang sudah ketiga kalinya terpilih sebagai anggota dewan ini.
Namun, Hendrawan mengaku tidak pernah tertarik atas tawaran-tawaran itu. Selain tidak tahu persis mekanismenya, ia juga takut melanggar hukum. Lagi pula partai tidak pernah memberikan arahan untuk melakukan kecurangan tersebut. ”Harus diinvestigasi (siapa saja oknum yang bermain). Saya berusaha cermati, tetapi susah karena mereka bekerja dalam jaringan yang senyap,” katanya.
Tak hanya itu, ia pernah mendengar pula bahwa setiap partai politik mempunyai ”pasukan” yang bisa mengotak-atik suara. ”Pasukan” itu biasa dinamakan ”pasukan burung hantu”. Ada pula yang memakai istilah ”pasukan alap-alap”.
”Mereka tahu sisik melik manajemen suara, tahu lika-liku penyelenggaraan mekanisme penghitungan suara,” kata Hendrawan.
Pergeseran suara
Modus-modus pencurian suara juga diungkap oleh caleg lain. Caleg dari Partai Golkar di Dapil Jawa Tengah III, Firman Soebagyo, mengungkapkan, salah satu modus pencurian suara yang jamak terjadi ialah suara dari caleg tertentu bergeser ke caleg lain saat proses rekapitulasi suara berjenjang. ”Saat di TPS, suara caleg A misalnya 14 suara, tetapi saat rekapitulasi suara di tingkat atasnya, di tingkat kecamatan, suara caleg A berubah menjadi tinggal 1 atau 4 suara, sisanya bergeser ke caleg lain. Itu cara-cara mencuri suara,” ujarnya.
Saat di TPS, suara caleg A misalnya 14 suara, tetapi saat rekapitulasi suara di tingkat atasnya, di tingkat kecamatan, suara caleg A berubah menjadi tinggal 1 atau 4 suara, sisanya bergeser ke caleg lain. Itu cara-cara mencuri suara.
Pencurian suara biasanya dilakukan oleh caleg dari parpol lain, tetapi tak jarang pula dilakukan oleh caleg dari parpol yang sama. Menurut Firman, praktik ini biasanya bisa berjalan mulus karena melibatkan pula penyelenggara pemilu di setiap tingkatan rekapitulasi suara.
Pria yang sudah berulang mengikuti pemilu ini pun kerap mengalami suaranya bergeser ke caleg lain, termasuk di pemilu kali ini. Namun, adanya saksi yang ditugaskannya untuk mengawal suara bisa mencegah pergeseran suara tersebut.
”Beberapa waktu lalu saya dapat laporan ada selisih suara antara raihan suara saya di TPS dan raihan suara yang ada di Sirekap. Memang selisihnya hanya satu suara. Tetapi, meski satu suara, itu berharga. Makanya, saksi protes dan kemudian pergeseran suara ke caleg dari parpol lain itu bisa dicegah,” ucapnya.
M meski satu suara, itu berharga. Makanya, saksi protes dan kemudian pergeseran suara ke caleg dari parpol lain itu bisa dicegah.
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief melihat memang ada PPK ”nakal” yang bermain dengan penggelembungan dan pemindahan suara. Praktik ini umumnya terjadi di pemilu legislatif untuk mengejar kursi terakhir di dapil. ”Biasanya di setiap pemilu itu ada permainan-permainan di tingkat kecamatan. Ada yang berani menggelembungkan, memindahkan suara, demi perebutan kursi terakhir anggota legislatif,” katanya.
Lewat praktik ”nakal” tersebut, Partai Demokrat turut menjadi korban di lima dapil di mana diduga terjadi penggelembungan suara. Kondisi itu menggerus suara Demokrat. Demokrat pun telah melaporkan hal tersebut ke Bawaslu dan KPU serta menyiapkan kebutuhan untuk menghadapi sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Sering terbukti
Mantan Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengemukakan, laporan penggelembungan suara memang kerap ditemukan dari pemilu ke pemilu. Bawaslu juga sering membuktikannya.
Ada beberapa model yang sering ditemukan mengenai manipulasi suara tersebut. Pertama, kecurangan bersifat sporadis. Jumlah suara yang diotak-atik sedikit dan melibatkan aktor tunggal. Misalnya, secara sengaja petugas di TPS mengubah bentuk angka, misalnya angka 6 lalu ditambahkan cekungannya menjadi angka 8. Ada pula dengan cara penambahan angka atau 0 di akhir.
Cara ini dilakukan secara culas oleh petugas, memanfaatkan kelengahan orang waktu penghitungan suara di TPS. Baru ketahuan ketika rekapitulasi suara di PPK.
”Cara ini dilakukan secara culas oleh petugas, memanfaatkan kelengahan orang waktu penghitungan suara di TPS. Baru ketahuan ketika rekapitulasi suara di PPK,” katanya.
Model kedua, melibatkan lebih dari dua orang dalam satu unit atau rekapitulasi suara. Kecurangan berangkat sejak di TPS, lalu didukung oleh PPK. Para oknum itu sudah saling tahu dan kemudian bersama-sama melakukan kecurangan.
Untuk melakukan manipulasi suara, mereka, kan, harus mengonsolidasikan semua pihak yang punya kewenangan untuk melakukan tindakan.
”Untuk melakukan manipulasi suara, mereka, kan, harus mengonsolidasikan semua pihak yang punya kewenangan untuk melakukan tindakan. Kalau tidak, tidak mungkin jalan. Kalau semua jalan, semua bisa dikondisikan hanya dengan kedipan mata,” tutur Nur Hidayat.
Model ketiga adalah skala kecurangan yang lebih besar dan melibatkan banyak pihak. Penggelembungan suara terjadi secara sistematis dengan melibatkan PPK setempat, lalu didukung anggota KPU kabupaten/kota setempat, serta sebagian anggota pengawas kecamatan serta pengawas kabupaten.
”Saya menyidangkan kasus-kasus semacam itu sampai kenyang banget karena saking banyaknya. Saya pimpin 700 kali sidang dan total ada 448 orang yang saya berhentikan,” ujar Nur Hidayat, yang juga pernah menjabat anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Baca juga: Fenomena Pencurian Suara lewat Pemindahan Suara ke Partai
Nur Hidayat mengungkapkan, model kecurangan tipe pertama yang bersifat sporadis lebih banyak terjadi dan banyak pula yang tidak dilaporkan. ”Padahal, itu menunjukkan fenomena gunung es,” ucapnya.
Para oknum penyelenggara yang terbukti terlibat pelanggaran pun memang didominasi yang bermasalah secara profesionalitas. Di sisi lain, terungkap pula faktor-faktor lain dalam persidangan, seperti kebutuhan materi, balas budi, atau intimidasi. ”Ada pula yang memadukan intimidasi dan iming-iming,” katanya.
Karena itu, lanjut Nur Hidayat, perlu diperbaiki dimensi rekrutmen penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Jangan sampai ada kongkalikong sejak proses rekrutmen penyelenggara pemilu. Ia melihat, makin ke sini, dari pemilu ke pemilu, proses rekrutmen makin parah. ”Hubungan antarpribadi, balas budi, baik secara hubungan personal maupun latar belakang penyelenggara sangat kuat dengan kepentingan politik. Ini, kan, bahaya. Jika tidak diperbaiki, ya, kita harus siap untuk terus mengulang persoalan-persoalan seperti ini, entah sampai kapan,” ucapnya.