Fenomena Pencurian Suara lewat Pemindahan Suara ke Partai
Dugaan kecurangan pada Pemilu 2024, antara lain, berupa pencurian suara dan penggelembungan suara modus pemindahan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencurian hingga penggelembungan suara masih terekam dalam Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum. Meski tak berlaku saat rekapitulasi suara, modus pencurian suara lewat pemindahan terus berpotensi terjadi. Kali ini, suara tidak sah digunakan untuk mendongkrak suara partai tertentu.
Data Sirekap masih digunakan publik untuk membuktikan dugaan kecurangan. Mereka mengungkap adanya perbedaan angka yang muncul di Sirekap dengan formulir C Hasil dari proses rekapitulasi di tempat pemungutan suara (TPS). Salah satunya berkaitan dengan lonjakan perolehan suara sejumlah partai politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengungkapkan, lonjakan suara yang muncul dalam Sirekap pada dasarnya tidak bermakna apabila saksi dari peserta pemilu teliti pada proses rekapitulasi suara, khususnya di tingkat kecamatan. Sebab, basis rekapitulasi suara adalah dokumen C Hasil Plano beserta salinannya, bukan Sirekap.
”Saksi hingga pengawas pemilu perlu mengawasi proses rekapitulasi dengan cermat dan menyeluruh. Tidak hanya angka perolehan partai saja, tapi juga konsistensi suara sah, suara tidak sah, pengguna hak pilih, dan sisa surat suara,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (4/3/2024).
Saksi hingga pengawas pemilu perlu mengawasi proses rekapitulasi dengan cermat dan menyeluruh. Tidak hanya angka perolehan partai saja, tapi juga konsistensi suara sah, suara tidak sah, pengguna hak pilih, dan sisa surat suara.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia itu menegaskan, kecurangan bisa terjadi lewat pemindahan suara tidak sah atau jumlah surat suara untuk menambah perolehan suara partai tertentu. Suara tidak sah itu diincar karena tidak merugikan dan mengganggu partai mana pun.
Saksi-saksi juga umumnya cenderung fokus mengawal perolehan suara peserta pemilu yang diwakilinya. Faktor kelelahan juga membuat pengawas mengabaikan detail kecil. Adapun kecurangan menggunakan metode pemindahan suara ini pernah terjadi pada pemilu sebelumnya.
Saksi hingga pengawas pemilu perlu mengawasi proses rekapitulasi dengan cermat dan menyeluruh. Tidak hanya angka perolehan partai saja, tapi juga konsistensi suara sah, suara tidak sah, pengguna hak pilih, dan sisa surat suara.
”Modus itu sudah terjadi pada pemilu sebelumnya. Namun, sulit diketahui publik karena akses yang terbatas dan semakin naik ke jenjang yang lebih tinggi prosesnya makin susah dijangkau publik,” tambahnya.
Dalam Pasal 15 Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu, Sirekap digunakan sebagai tampilan awal bahan rekapitulasi di kecamatan. Artinya, kata Titi, kalau data anomali dalam Sirekap tidak terkoreksi, maka angka anomali tersebut akan terus digunakan dan ditetapkan sebagai hasil resmi rekapitulasi suara di kecamatan. ”Dengan demikian, telah terjadi penggelembungan suara,” tambahnya.
Petugas nakal
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief melihat memang ada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) nakal yang bermain dengan penggelembungan dan pemindahan suara. Praktik ini umumnya terjadi di pemilu legislatif untuk mengejar kursi terakhir di daerah pemilihan.
Biasanya di setiap pemilu itu ada permainan-permainan di tingkat kecamatan. Ada yang berani menggelembungkan, memindahkan suara, demi perebutan kursi terakhir anggota legislatif.
”Biasanya di setiap pemilu itu ada permainan-permainan di tingkat kecamatan. Ada yang berani menggelembungkan, memindahkan suara, demi perebutan kursi terakhir anggota legislatif,” katanya.
Lewat praktik nakal tersebut, Partai Demokrat, kata Andi, turut menjadi korban di lima daerah pemilihan di mana diduga terjadi penggelembungan. Kondisi itu menggerus suara Demokrat. Demokrat pun melapor kepada Bawaslu dan KPU serta menyiapkan kebutuhan untuk menghadapi sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Hal senada dituturkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Firman Soebagyo. Ia melihat adanya praktik pencurian suara dengan modus memindahkan suara calon anggota legislatif satu ke yang lain saat berlangsung proses rekapitulasi suara berjenjang.
”Saat di TPS, suara caleg A misalnya 14 suara, tetapi saat rekapitulasi suara di tingkat atasnya, di tingkat kecamatan, suara caleg A berubah menjadi tinggal 1 atau 4 suara, sisanya bergeser ke caleg lain. Itu cara-cara mencuri suara,” ujarnya lewat keterangan tertulis.
Selain antarparpol, pencurian suara juga terjadi antarcaleg dari partai yang sama. Praktik tersebut bisa berjalan mulus karena adanya keterlibatan penyelenggara pemilu di setiap tingkatan rekapitulasi suara.
Karena itu, sangat penting bagi caleg atau parpol menempatkan saksi sejak proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Kemudian, saksi harus pula ditugaskan untuk memantau proses rekapitulasi suara di setiap jenjang berikutnya, yakni di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional.