15,6 Juta Suara Bakal ”Terbuang”, Pemilih Terpaksa Berpaling ke Partai Lain
Para pemilih yang partainya tak lolos ke parlemen terpaksa berharap pada partai lain agar aspirasi mereka tersalurkan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen suara sah nasional membuat tak semua partai politik peserta Pemilu 2024 bisa lolos menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Suara pemilih partai politik yang tak lolos ambang batas parlemen juga terancam ”terbuang”. Diperkirakan pemilih yang suaranya terbuang pada Pemilu 2024 mencapai 15,6 juta suara. Para pemilih itu terpaksa menggantungkan harapan kepada anggota legislatif dari parpol lain karena calon wakil rakyat yang mereka pilih gagal masuk parlemen.
Sejak Pemilu 2009, pemilihan umum legislatif (pileg) sudah diberlakukan ambang batas parlemen dengan besaran yang berbeda-beda, dari 2,5 persen suara sah nasional pada Pemilu 2009, naik menjadi 3,5 persen (Pemilu 2014), dan terakhir di angka 4 persen (Pemilu 2019 dan 2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pada Pemilu 2024 terdapat 18 partai nasional yang berkontestasi untuk memperebutkan kursi DPR. Berdasarkan data rekapitulasi suara yang dilakukan KPU, hingga data masuk sejumlah 51,28 persen, terdapat sembilan parpol yang jumlah pemilihnya memenuhi angka ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Sementara itu, merujuk tingkat partisipasi pemilih untuk pileg versi hitung cepat Litbang Kompas, terdapat 83,24 persen pemilih yang menggunakan hak suaranya. Dari jumlah itu, tak semua suara dinyatakan sah. Ada sekitar 9 persen dari suara yang masuk dinyatakan tidak sah. Artinya, suara sah yang masuk untuk pilihan partai politik sebanyak 74,34 persen atau lebih kurang 152 juta pemilih.
Jika melihat persentase perolehan suara, akumulasi suara yang diperoleh oleh sembilan partai—yang berpotensi lolos parlemen—sebesar 89,89 persen. Adapun sembilan partai perolehan suaranya kurang dari 4 persen, jika ditotal perolehan suaranya bernilai 10,31 persen. Potensi jumlah suara yang akan terkonversi menjadi kursi di DPR lebih kurang 136 juta suara. Sisanya, 15,6 juta suara, kemungkinan besar akan berujung pada wasted votes atau suara-suara yang terbuang (Kompas.id, 19/2/2024).
Sia-sia
Salah satu suara yang terancam terbuang adalah milik Neva Aghisna (34), warga Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak Pemilu 2019 hingga Pemilu 2024, ia konsisten memilih Partai Solidaritas Indonesia (PSI) karena merasa cocok dengan gagasan yang dibawa. Namun, PSI termasuk salah satu partai yang terancam gagal melewati ambang batas parlemen.
”Sebenarnya tak sedih, tetapi kecewa. Suaraku jadi kayak sia-sia dan dipinggirkan. Tapi, ya, mau gimana lagi, setidaknya sudah mencoblos sesuai pilihan hati,” ungkapnya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/3/2024).
Meski begitu, Neva juga memilih PSI untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota sehingga kemungkinan wakil rakyat pilihannya untuk menempati kursi DPRD masih ada. Sementara untuk lembaga legislatif di tingkat pusat, ia menggantungkan harapan pada anggota DPR dari partai yang satu koalisi dengan PSI.
Sebenarnya tak sedih, tetapi kecewa. Suaraku jadi kayak sia-sia dan dipinggirkan. Tapi, ya, mau gimana lagi, setidaknya sudah mencoblos sesuai pilihan hati.
Kondisi serupa menimpa Eleison Cahya Nugraha Luden. Pada gelaran Pemilu 2024, ia memilih salah satu caleg dari Partai Buruh. Lagi-lagi, Partai Buruh yang baru mengikuti pemilu juga terancam gagal lolos ke Senayan akibat perolehan suara yang di bawah ambang batas minimal.
Berbeda dengan PSI, Partai Buruh tidak berkoalisi dengan partai lainnya untuk mendukung calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilu. Ada dua partai yang tidak mendukung capres-cawapres, yaitu Partai Buruh dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Keduanya sama-sama terancam gagal menembus Senayan.
Karena itu, Eleison merasa suaranya terbuang dan tersisihkan. ”Mungkin aspirasi tidak terwakilkan oleh anggota DPR mana pun, tetapi saya hanya bisa berharap ke mereka untuk kebaikan rakyat Indonesia.” katanya.
Angin segar
Kekecewaan Neva dan Eleison sedikit terobati setelah Mahkamah Konstitusi memerintahkan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu direvisi. MK menyatakan ketentuan Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Karena itu, ambang batas parlemen 4 persen tidak boleh lagi diberlakukan pada Pemilu 2029.
Meski belum berlaku untuk Pemilu 2024, putusan MK itu tetap menjadi angin segar bagi sejumlah partai politik serta pemilih partai yang raihan suaranya masih di bawah 4 persen suara sah nasional, tak terkecuali Neva dan Eleison. Sebab, partai yang mereka pilih punya potensi besar untuk lolos ke Senayan apabila ambang batas parlemen diturunkan pada Pemilu 2029.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati, menyayangkan banyaknya suara sah yang terbuang akibat ambang batas parlemen 4 persen. Apalagi, jumlahnya diperkirakan meningkat dari pemilu sebelumnya.
”Sebenarnya disayangkan karena hal itu secara simbolis memperlihatkan pilihan politik mereka tidak terakomodasi karena penerapan parliamentary threshold ini,” katanya.
Pada tahun 2019 ada sekitar 13 juta suara atau 10 persen dari total suara sah nasional yang terbuang. Kemudian pada Pemilu 2024, diperkirakan suara yang terbuang mencapai 15,6 juta suara. Kenaikan jumlah suara terbuang pada 2024 diperkirakan terjadi karena partai peserta pemilu yang terancam gagal lolos lebih banyak dibandingkan tahun 2019.
Wasisto juga menilai, pemilih yang terbuang mau tidak mau mengalihkan aspirasi politiknya kepada calon wakil rakyat dari partai yang lolos ke Senayan. Karena itu, para wakil rakyat diharapkan tidak hanya mengakomodasi aspirasi dari konstituen mereka di daerah pemilihan masing-masing, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Salah satu bentuknya adalah dengan mematuhi putusan MK untuk merumuskan kembali ambang batas parlemen. Menurut Wasisto, pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, harus mempertimbangkan aspirasi dari pemilih dan parpol yang tak lolos ke parlemen.
Dengan demikian, ke depan, diharapkan tidak akan banyak lagi suara rakyat yang terbuang sia-sia. Kekecewaan para pemilih lantaran calon wakil rakyat yang mereka dukung gagal ke parlemen juga bisa terobati. Hal yang penting adalah aspirasi mereka juga terwakili.