Komisi II DPR Segera Kaji Revisi UU Pemilu Imbas Putusan MK terhadap Ambang Batas
›
Komisi II DPR Segera Kaji...
Iklan
Komisi II DPR Segera Kaji Revisi UU Pemilu Imbas Putusan MK terhadap Ambang Batas
Meski diwarnai perbedaan pendapat, Komisi II DPR bakal segera mengkaji perubahan UU Pemilu, sesuai permintaan MK.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR bakal segera mengkaji perubahan ambang batas minimal parlemen atau parliamentary threshold sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Pada akhir masa persidangan 2024 diharapkan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bisa segera tercapai. Sebab, perubahan ambang batas sejalan dengan tujuan untuk menyempurnakan sistem pemilu.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, mengatakan, perubahan ambang batas minimal parlemen yang diminta oleh MK sejalan dengan pandangan komisinya. Pada awal 2019, sebetulnya Komisi II sudah mengajukan inisiatif revisi UU Pemilu untuk menyempurnakan sistem yang ada, salah satunya berkaitan dengan ambang batas minimal.
”Dari berita yang saya baca, MK memerintahkan adanya perubahan tentang parliamentary threshold. Buat saya, apa yang diputus MK sama dengan semangat yang ada di Komisi II DPR. Kami juga di awal periode 2019 kemarin sebenarnya sudah mengajukan inisiatif revisi UU,” ujar anggota Fraksi Partai Golkar saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Dalam sidang uji materi UU No 7/2017 di Gedung MK, Kamis siang, MK menyatakan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. MK lantas meminta pembuat UU untuk merumuskan kembali penghitungan ambang batas untuk diberlakukan pada Pemilu 2029.
”Dari berita yang saya baca, MK memerintahkan adanya perubahan tentang parliamentary threshold. Buat saya, apa yang diputus MK sama dengan semangat yang ada di Komisi II DPR. Kami juga di awal periode 2019 kemarin sebenarnya sudah mengajukan inisiatif revisi UU”
Menurut Doli, DPR dan pemerintah harus segera merevisi serta menyempurnakan UU Pemilu sesuai dengan putusan MK. Artinya, perubahan harus selesai sebelum gelaran Pemilu 2029 dan sudah memasukkan pertimbangan penyederhanaan partai politik (parpol).
Anggota Komisi II DPR asal Fraksi PKS, Mardani Ali Sera berpandangan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga DPR selaku pembentuk undang-undang perlu segera meresponsnya. Dengan demikian, putusan MK bisa berbuah posisi hukum yang jelas.
”Threshold itu niatnya kan untuk menyederhanakan sistem multipartai. Dengan itu, memang ada suara yang terbuang, tapi itu juga membuat jumlah partai kian sedikit,” tambahnya.
Dengan jumlah partai yang sedikit, lanjut Mardani, ideologi parpol dan kedekatannya dengan publik kian mengakar kuat. Namun, kegagalan menjalankan ambang batas membuat pemilih bimbang atau suara yang tidak terpakai terus tinggi.
” Threshold itu niatnya kan untuk menyederhanakan sistem multipartai. Dengan itu, memang ada suara yang terbuang, tapi itu juga membuat jumlah partai kian sedikit”
Perubahan UU No 7/2017 merupakan pilihan yang harus diambil. Mardani berharap pada akhir masa persidangan parlemen ini, DPR bisa merumuskan revisi UU Pemilu dengan norma hukum baru.
Kewenangan pembuat UU
”Gugatan soal ambang batas parlemen itu sebenarnya sudah pernah diajukan dulu, tapi ditolak. Alasannya karena itu wewenang pembuat UU. Tugas MK kan menguji UU dengan UUD 1945, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi”
Sementara itu, keberatan turut muncul dari anggota Komisi II DPR qasal Fraksi PDi-Perjuangan Komarudin Watubun. Menurut dia, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold merupakan kewenangan institusi pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
”Gugatan soal ambang batas parlemen itu sebenarnya sudah pernah diajukan dulu, tapi ditolak. Alasannya karena itu wewenang pembuat UU. Tugas MK kan menguji UU dengan UUD 1945, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya, Kamis.
Komarudin mengaku bingung dengan putusan MK yang kembali berbeda dengan putusan sebelumnya. Pasalnya, MK sudah berulang kali memutus gugatan serupa dan menyatakan penentuan angka ambang batas parlemen merupakan wewenang pembuat undang-undang.
”Tapi sekarang memang lagi banyak anomali berpikir. Ini sebenarnya tergantung pada kepentingan tertentu, sama seperti batas usia calon presiden dan calon wakil presiden,” tambahnya.