Putusan MK Soal Ambang Batas Parlemen Tuai Pro dan Kontra
Sebagian kalangan keberatan dengan putusan MK soal ambang batas parlemen 4 persen, sebagian lainnya menilai tepat.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional dan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubahnya melalui revisi Undang-Undang Pemilu menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan menilai putusan itu tepat, sebagian lainnya keberatan karena menganggap penentuan angka ambang batas parlemen merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Keberatan salah satunya muncul dari anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komarudin Watubun. Menurut dia, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold merupakan kewenangan institusi pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Gugatan soal ambang batas parlemen itu sebenarnya sudah pernah diajukan dulu, tapi ditolak. Alasannya karena itu wewenang pembuat UU. Tugas MK kan menguji UU dengan UUD 1945, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi,” kata Komarudin saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Dalam sidang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Kamis siang, MK menyatakan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional tersebut.
Meski demikian, MK juga menyatakan, ketentuan ambang batas parlemen yang diatur dalam Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu itu masih konstitusional digunakan pada Pemilu 2024. Ambang batas parlemen 4 persen itu tidak bisa lagi diberlakukan di Pemilu 2029.
Komarudin mengaku bingung dengan putusan MK yang kembali berbeda dengan putusan sebelumnya. Pasalnya, MK sudah berulang kali memutus gugatan serupa dan menyatakan penentuan angka ambang batas parlemen merupakan wewenang pembuat undang-undang.
”Tapi sekarang memang lagi banyak anomali berpikir. Ini sebenarnya tergantung pada kepentingan tertentu, sama seperti batas usia calon presiden dan calon wakil presiden,” tambahnya.
Ambang batas parlemen sebenarnya diberlakukan untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan adanya ambang batas itu pula diharapkan sistem pemerintahan presidensiil dapat berjalan efektif.
Gugatan soal ambang batas parlemen itu sebenarnya sudah pernah diajukan dulu, tapi ditolak. Alasannya karena itu wewenang pembuat UU. Tugas MK kan menguji UU dengan UUD 1945, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap konstitusi
Merujuk catatan Kompas, angka ambang batas parlemen sudah beberapa kali berubah. Penentuan angka parliamentary threshold saat pembahasan revisi UU Pemilu pun selalu berlangsung alot. Sebab, tiap-tiap fraksi di DPR selalu berkukuh dengan usulan angka ambang batas yang mereka ajukan.
Pada pemilu pertama pascareformasi, yakni Pemilu 1999, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen. Ambang batas parlemen naik menjadi 3 persen pada Pemilu 2004, dan kembali turun menjadi 2,5 persen di Pemilu 2009. Kemudian pada Pemilu 2014 ambang batas parlemen naik menjadi 3,5 persen dan Pemilu 2019 menjadi 4 persen.
Kembalikan kedaulatan rakyat
Putusan MK yang memerintahkan pembentuk undang-undang mengubah angka ambang batas parlemen disambut baik oleh sebagian kalangan masyarakat sipil. Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow, misalnya, menilai putusan MK tersebut sudah tepat. "Putusan MK itu telah mengembalikan kedaulatan rakyat. Rakyat sudah memilih, maka semestinya (parpol yang dipilih) bisa masuk parlemen," tuturnya.
Jeirry juga menilai, sikap MK yang menyatakan penghapusan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional tidak berlaku dalam Pemilu 2024, dan bisa berlaku pada Pemilu 2029, sudah tepat. Menurut dia, klausul tersebut penting karena pemungutan suara Pemilu 2024 sudah selesai dan partai-partai politik, berikut para caleg, yang masuk parlemen sudah bisa diterka.
Meski demikian, Jeirry menyayangkan pencabutan ambang batas parlemen 4 persen itu tidak disertai dengan ketegasan tentang berapa angka ambang batas yang ideal. "Mestinya MK mencabut saja dan menegaskan ambang batas parlemen itu tidak perlu lagi. Sebab, bisa saja nanti DPR akan menentukan ambang batas parlemen tetap ada dan angkanya bisa dibuat 3,5 persen. Jika begitu, tetap saja akan menghalangi kedaulatan rakyat itu sendiri," tuturnya.
Bertentangan dengan konstitusi
Adapun MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menyoal tentang penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen.
MK pun menyatakan ketentuan Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. MK sependapat dengan sejumlah dalil yang diajukan oleh Perludem.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengungkapkan, ambang batas parlemen perlu segera diubah dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh sejumlah hal, seperti didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Perubahan norma ambang batas parlemen, termasuk besaran angka atau persentase ambang batas, juga harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional.
Selain itu, MK juga sepakat dengan dalil Perludem bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode serta argumen yang memadai. Namun, MK tidak dapat mengabulkan cara penghitungan ambang batas parlemen yang diajukan oleh Perludem.
MK berpandangan bahwa penentuan cara penghitungan ambang batas itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk merumuskannya, termasuk di dalamnya menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.
Saldi menambahkan, perubahan ketentuan ambang batas juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik. Revisi sebaiknya dirampungkan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. ”Dan, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR,” tutur Saldi.