Prabowo Subianto, Pernah Dipecat atau Tidak?
Banyak yang menilai Prabowo tak layak dianugerahi pangkat jenderal kehormatan karena pernah dipecat. Apa betul demikian?
Setelah kabar Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dianugerahi pangkat jenderal kehormatan dari Presiden Joko Widodo tersiar, rekam jejak Prabowo jadi sorotan, terutama rekam jejak kejadian pada 1998 saat Prabowo harus keluar dari dinas keprajuritan. Tak sedikit yang lantas melihat Prabowo tak layak dianugerahi pangkat itu karena saat itu Prabowo dipecat. Apakah betul ia dipecat?
Menilai Prabowo dipecat atau tidak, bisa lewat dua jalur. Pertama, dari sisi formal. Kedua, dari sisi kultur TNI. Oleh karena dari sisi formal melihat fakta obyektif, ulasan ini akan dimulai dari kultur TNI.
TNI, karena hakikatnya yang terbentuk dari sejarah pembentukan dan sejarah bangsa, memiliki kultur yang unik. Salah satu faktor penting adalah jiwa korsa yang membentuk TNI seperti sekawanan lebah yang solid. Hal ini memang menjadi kultur militer secara umum. Kedua, kultur TNI melihat dirinya sebagai ksatria yang rela berkorban untuk rakyat Indonesia. Merujuk pada perseteruan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno, hakikat TNI setia pada rakyat, bukan pada pemimpin politik.
Dasar berpikir ini yang perlu menjadi kerangka melihat sengkarut TNI sekitar Reformasi 1998. Pada saat itu, TNI harus memisahkan dirinya dari Orde Baru atau kepemimpinan Presiden Soeharto. Salim Said menuliskan dengan rinci dalam bukunya, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, tentang latar belakang ini. Ia mengungkapkan, kegelisahan tentang peran politik ABRI juga terjadi di internal. Bahkan, beberapa pemikir ABRI menyebut bahwa Orde Baru adalah ciptaan ABRI.
Kala itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto berada di persimpangan. Di satu sisi, ia menantu Presiden Soeharto. Sosoknya juga mencelat, tidak hanya karena tudingan karier yang melesat karena kolusi dan nepotisme, tetapi juga karena sosoknya yang menonjol. Apalagi, ia pernah menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus yang saat itu jadi satuan yang paling ditakuti masyarakat.
Baca juga: Disaksikan Para ”Bintang”, Presiden Angkat Prabowo Jadi Jenderal Kehormatan
Yang tidak banyak diketahui masyarakat adalah Prabowo bukan sosok yang sejak awal cocok dengan kultur TNI. Pendidikannya Barat sejak kecil. Konon, saat masuk Akademi Militer (Akmil), bahasa Indonesia-nya juga belum fasih. Ia pun tidak segan-segan bertanya di kelas dengan menggunakan referensi asing, yang tentu membuat pengajar dan senior kesal. Di era 1970-an itu, kultur TNI lebih feodal dari hari ini.
Ketika ia mulai bertugas aktif, secara personal kinerjanya cukup baik. Namun, hubungannya dengan para senior semakin memburuk ketika ia menjadi menantu Soeharto. Konteksnya, Soeharto bisa dikatakan sebagai penguasa ABRI, bahkan memberikan komando lisan langsung kepada para komandan.
Informasi ini diperoleh Kompas tahun 2014 ketika mewawancarai seorang mantan komandan dari Prabowo yang kemudian duduk di Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Ia menceritakan, beberapa masalah komunikasi yang terjadi karena Prabowo yang menerima telepon di Cendana.
Salah seorang anggota DKP yang lain secara implisit mengakui, sebelum bersidang pun DKP telah memiliki pikiran untuk menyalahkan Prabowo atas segala tudingan masyarakat saat itu, terutama penculikan para aktivis. Penulis lalu membandingkan dengan dokumen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang penyelidikan dan penghilangan paksa aktivis yang tebalnya ratusan halaman.
Baca juga: Pangkat Jenderal Kehormatan Tanda Jokowi Pererat Relasi dengan Prabowo
Terlihat memang tidak ada rantai komando yang jelas. Bahkan, ada bukti keterlibatan kodim dan polres dalam rangkaian penculikan itu, tidak hanya Kopassus di mana Prabowo menjadi danjen. Perintah yang disampaikan bersifat ambigu, seperti ”amankan”, sehingga bisa diinterpretasikan apa saja. Analisis penulis, sebagai Danjen Kopassus, tentu Prabowo ikut bertanggung jawab walaupun belum tentu ia bersalah secara langsung memerintahkan penculikan.
Yang tak kalah penting, ada puluhan, bahkan ratusan perwira lain yang juga terlibat. Dengan demikian, seharusnya pengadilan mengadili semua pihak dimaksud. Namun, saat itu, memang organisasi dan rantai komando ABRI kacau balau karena lebih pada alat politik daripada pertahanan. Kepentingan pribadi menjadi dominan.
Kini, lima presiden sejak reformasi belum ada yang menginisiasi langkah pengadilan untuk mengungkap dan mengadili yang terlibat dalam penculikan aktivis 1998. Sementara para korban dan keluarganya terkatung-katung nasibnya. Pelanggaran HAM dan sejarah kelam ABRI hanya jadi komoditas politik setiap pemilu.
Baca juga: Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Dinilai Lukai Hati Keluarga Korban Penculikan
Dalam konteks seputar 1998 inilah DKP bekerja. Ada kepentingan yang lebih besar untuk menyelamatkan TNI dan diri sendiri. Prabowo menjadi sosok yang pas untuk ”dikorbankan”. Biar bagaimanapun, dia menantu Presiden. Keengganan DKP mengungkap secara komprehensif sebenarnya terlihat dalam berbagai berita di harian Kompas.
Pada Kompas terbitan 11 Agustus 1998, Ketua DKP Jenderal Subagyo HS mengatakan, penculikan adalah hasil analisis Prabowo terhadap perintah Bawah Kendali Operasi (BKO) yang diterimanya. Subagyo tidak mengungkapkan siapa yang memberikan perintah BKO. Di Kompas terbitan 12 Agustus 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto juga menolak membuka siapa yang memerintahkan Prabowo. Sayangnya, saat itu tidak diungkap siapa saja yang mendapat perintah BKO itu selain Prabowo.
Harian Kompas pada 25 Agustus 1998 memuat headline di halaman satu, berjudul ”Prabowo Diberhentikan”. Dalam berita tersebut terungkap bahwa konferensi pers tidak disertai tanya jawab dan dasar dari pemberhentian Prabowo adalah hasil DKP. Hasil DKP tertulis ”maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan”.
Sangat disayangkan saat itu memang tidak ada tanya jawab sehingga tidak ada ketajaman informasi. Padahal, dalam ABRI, dipecat dan diberhentikan dengan hormat sangat jauh nilainya. Selain itu, untuk pangkat jenderal, surat yang sah adalah yang ditandatangani Presiden. DKP hanya di posisi memberikan rekomendasi. Semua anggota TNI yang pensiun secara legal disebut sebagai diberhentikan dengan hormat. Kalau diberhentikan dengan hormat, seorang pribadi bahkan mendapat hak seperti seluruh pensiunan, seperti uang pensiun. Ia pun masih diperlakukan secara hormat oleh TNI, misalnya diundang di berbagai acara resmi. Dari dua hal ini terlihat bahwa secara kultural TNI tidak pernah mem-persona-non-grata-kan Prabowo yang berarti bahwa institusi tersebut tidak menganggap Prabowo dipecat.
Hal itu juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar. Ia menegaskan bahwa pada 1998 Prabowo diberhentikan dengan hormat. ”Menurut Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 62/ABRI/98 tanggal 22 November 1998, isi keputusannya diberhentikan dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun, tidak ada kata-kata pemecatan, ya,” kata Nugraha melalui pesan singkat, Selasa (27/2/2024).
Jenderal kehormatan
Upaya merehabilitasi nama Prabowo berlangsung bertahun-tahun kemudian. Tahun 2014, Sudaryono, salah seorang anggota tim kampanye Prabowo, mengatakan, Prabowo menolak untuk diwawancarai terkait peristiwa 1998 karena hal itu bisa meruntuhkan TNI. Menurut Prabowo, sebagaimana diungkap Sudaryono, kalau TNI runtuh, Indonesia runtuh. Hal ini kembali menguatkan asumsi penulis tentang kekacauan organisasi TNI saat itu.
Dimulai dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid yang mengupayakannya. Kemudian dilanjutkan dengan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang mengirimkan orang dekatnya untuk menjemput Prabowo dari Jordania. Sementara dari TNI belum terlihat ada upaya formal untuk merehabilitasi. Tahun 2014, penulis dalam sebuah konferensi pers bertanya kepada Panglima TNI Jenderal Moeldoko tentang sepak terjang Prabowo sebagai perwira TNI, tetapi tidak dijawab.
Namun, berbagai tanda mulai terlihat, seperti acara temu kangen yang diadakan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI pada September 2017. Saat itu, hadir Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Wiranto, dan Jenderal (HOR) Agum Gumelar. Sejumlah mantan panglima TNI juga hadir di acara tersebut, seperti Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto, Jenderal TNI Endriartono Sutarto, dan Laksamana TNI Agus Suhartono, serta tentunya Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Pertemuan ini cukup penting karena dari sisi waktu, tidak ada nuansa politiknya.
Baca juga: Presiden: Pemberian Kenaikan Pangkat Istimewa Prabowo Bukan Transaksi Politik
Di satu sisi, Prabowo tampaknya menyadari kesalahannya di masa lalu. Dalam pertemuan dengan beberapa purnawirawan selama kampanye 2019, ia sempat meminta maaf atas tindakan-tindakannya saat masih aktif. Secara spesifik, pengakuan tentang masalah komunikasi dengan beberapa senior seperti Agum Gumelar disampaikan Prabowo lewat bukunya, Kepemimpinan Militer 1. Prabowo juga mengapresiasi Subagyo HS sebagai sosok Bima.
Pemberian gelar jenderal kehormatan adalah bentuk rehabilitasi formal dari TNI dan negara. Prabowo tidak pernah dipecat, tetapi pensiun, terlihat dalam surat KSAD, ”Letjen Prabowo Subianto telah memenuhi syarat pensiun”. Makanya ia mendapat pensiun awal Rp 330.700 sejak Desember 1998.
Bahwa pengadilan HAM seharusnya digelar dan pemberian pangkat kehormatan tersebut politis, tentu saja. Namun, hal ini terjadi karena lemahnya demokrasi dan masyarakat sipil.