Semua Pasangan Calon Terindikasi Melakukan Kecurangan
Fenomena dugaan kecurangan disebut sudah bermula sejak di hulu sehingga di hilir sudah pasti bermasalah.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menemukan dugaan pelanggaran pemilu yang berhubungan dengan semua peserta pemilu, khususnya pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Metode pelanggaran beragam, mulai dari keberpihakan aparatur desa, netralitas penyelenggara pemilu, politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara, hingga manipulasi suara.
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pemilu Curang itu terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Themis Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pemantauan dilakukan pada 14-19 Februari 2024 di 10 provinsi. Secara umum, terdapat dua pemantau di setiap daerah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mereka menemukan sedikitnya 104 dugaan kecurangan terjadi saat penyelenggaraan Pemilu 2024. Dari jumlah itu, 31 kecurangan di pemilu presiden (pilpres), 34 kecurangan di pemilu legislatif (pileg), 10 kecurangan di pilpres-pileg, dan 29 kecurangan lainnya bersifat umum.
Peneliti bidang hukum Themis Indonesia, Hemi Lavour, saat konferensi pemaparan hasil temuan di Jakarta, Kamis (22/2/2024), mengatakan, semua peserta pemilu terindikasi curang dan mendapatkan keuntungan suara dari tindakan tersebut. Misalnya, sebanyak 81 persen temuan dugaan kecurangan yang berkaitan dengan pilpres mengarah pada pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sementara itu, sebanyak 15 persen dugaan kecurangan di pilpres mengarah pada dukungan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan pada pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, tidak ditemukan. Meskipun begitu, partai pendukung Anies-Muhaimin, seperti Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ditemukan indikasi kecurangan.
Tak hanya Nasdem dan PKB, partai pendukung calon lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga diduga melakukan kecurangan. Metode pelanggaran cukup beragam, antara lain lewat keberpihakan aparatur desa dan penyelenggara negara, politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara, serta manipulasi suara.
”Dugaan kecurangan umumnya berkaitan dengan netralitas pejabat. Sebanyak 34 persen temuan kecurangan berkaitan dengan netralitas kepala desa,” terang Hemi.
Selain pelaku, indikasi kecurangan juga terjadi saat pemantauan tempat pemungutan suara (TPS). Terdapat inkonsistensi syarat untuk menggunakan hak suara, seperti yang terjadi di TPS 09 Parang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; TPS 16 Dalung, Serang, Banten; dan TPS 12 Penkase Oeleta, Alak, Nusa Tenggara Timur. Hal ini berdampak pada pemilih yang pulang dan tidak menggunakan hak suaranya.
Dugaan kecurangan umumnya berkaitan dengan netralitas pejabat. Sebanyak 34 persen temuan kecurangan berkaitan dengan netralitas kepala desa.
Ada pula petugas pemungutan suara yang melarang warga dan pemantau memotret C1, TPS yang tidak menyediakan daftar hadir, dan pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali. Berbagai kondisi ini, lanjut Hemi, diperparah dengan hasil pemindaian C1 di Sirekap—aplikasi berbasis digital yang digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendokumentasikan hasil penghitungan suara di TPS—yang tidak sesuai dengan C1 dari lapangan.
Di TPS 01 Glumpang Tutong, Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, misalnya, ditemukan dugaan C1 hasil pemantauan TPS yang berbeda dengan C1 dalam Sirekap. Suara dari salah satu pasangan calon malah beralih atau menggelembung untuk calon lainnya.
”Penghitungan pertama (di TPS) dan Sirekap berbeda. Ada dokumen C1 yang di-tipex yang mengubah jumlah perolehan suara. Ini perusakan terhadap form C1 dan pelanggaran pidana karena tidak memenuhi syarat rekapitulasi,” jelasnya.
Sejak hulu
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, penyelenggaraan pemilu sudah bermasalah sejak di hulu. Karena itu, prosesnya di hilir seperti pemungutan suara tentu bermasalah.
Fenomena dugaan kecurangan, lanjutnya, dinilai sudah memenuhi elemen terstruktur, sistematis, dan masif. Terstruktur karena melibatkan skenario pejabat penyelenggara negara yang secara sistematis membentuk alur dugaan kecurangan. Potensi terjadi secara masif juga sudah terungkap lewat temuan Badan Pengawas Pemilu di TPS.
”Dugaan kecurangan ini juga terjadi merata, dari ujung Aceh hingga Papua. Ini sudah menggambarkan situasi, tinggal dikonversi jumlah suaranya (yang terindikasi curang),” tambahnya.
Meskipun begitu, Feri mengaku harapan pembuktian tinggal menunggu kebijaksanaan hakim saat penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi. Pembuktian kecurangan dan prosesnya hanya bisa dilakukan di Bawaslu, sedangkan MK hanya fokus pada penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Selain itu, hanya peserta pemilu yang bisa terlibat sidang sengketa hasil pemilu di MK sehingga masyarakat sipil tidak bisa ikut serta. Publik boleh ikut apabila dipanggil sebagai saksi oleh hakim konstitusi.
”Koalisi masyarakat sipil itu bukan partisan sehingga tidak bisa ikut sidang sengketa nanti di MK. Akan tetapi, temuan-temuan kecurangan bakal kami laporkan ke Bawaslu untuk segera ditindaklanjuti,” tambah Feri.
Di sisi lain, merujuk catatan Kompas, tim hukum dari pasangan calon nomor urut 1 dan 3 mulai menyusun bahan untuk uji materi kecurangan pemilu. Sementara tim hukum pasangan calon nomor urut 2 kini berupaya mengantisipasi potensi gugatan hasil perselisihan pilpres.