Data Dianggap Tidak Akurat, Desakan Penghentian Sirekap Menguat
KPU menegaskan, Sirekap tak digunakan sebagai acuan penetapan hasil pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik peserta pemilu dan kelompok masyarakat sipil mendesak Komisi Pemilihan Umum untuk menghentikan publikasi hasil pemilu melalui Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap. Data yang diunggah ke Sirekap dinilai tidak akurat dan justru menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jazuli Juwaini mengatakan, pihaknya menerima banyak masukan dari masyarakat mengenai Sirekap. Data yang ditampilkan dalam laman resmi Sirekap melalui https://pemilu2024.kpu.go.id/ dinilai tidak akurat dan kacau.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Data perolehan suara partai-partai tidak mencerminkan realitas persentase suara masuk. Pun jika dijumlahkan perolehan suara partai dan masing-masing calegnya, totalnya tidak sinkron dengan yang tertulis di laman tersebut,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu (18/2/2024).
Menurut Jazuli, kesalahan data di Sirekap dikhawatirkan menjadi sumber masalah baru yang dapat berdampak pada integritas hasil pemilu. Sebab, setiap suara yang diberikan pemilih di bilik suara harus dijamin hingga penetapan hasil pemilu. Oleh karena itu, akurasi dan validitas rekapitulasi suara harus terjamin. Jangan sampai proses rekapitulasi justru menimbulkan tanda tanya dan keraguan publik.
”KPU harus mengevaluasi real count penghitungan suara yang ditampilkan di Sirekap dan menjelaskan kepada publik mengapa angka-angkanya demikian dan menimbulkan banyak tanya di masyarakat,” kata Jazuli.
Ia bahkan berpandangan, Sirekap sebaiknya ditutup apabila KPU tidak segera memperbaiki akurasi dan validitas data. Sebab, berbagai perbedaan data antara formulir C.Hasil dan hasil di Sirekap justru menimbulkan keraguan terhadap kualitas dan integritas hasil pemilu.
”Demikian juga jika Sirekap KPU tidak terjamin validitasnya karena berbagai alasan teknis, maka proses rekap harus dikembalikan hanya dengan penghitungan manual berdasarkan C.Hasil di setiap TPS,” tutur Jazuli.
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Zainudin Paru menambahkan, PKS mengirimkan surat resmi kepada KPU. Surat tersebut pada intinya meminta KPU menghentikan publikasi Sirekap karena kesalahan dalam memasukkan data bisa berdampak pada integritas pemilu.
Meskipun Sirekap bukan basis penetapan hasil pemilu, lanjutnya, keberadaan Sirekap yang tidak akurat justru menimbulkan kegaduhan publik. Apalagi, banyak kesalahan data di Sirekap yang ditemukan oleh masyarakat dalam beberapa hari terakhir.
”Sembari menunggu hasil resmi berdasarkan hasil rekap berjenjang, sebaiknya KPU tidak memublikasikan hasil yang justru berbeda karena banyaknya temuan kesalahan sistem di Sirekap,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, pengunggahan data di Sirekap pun cenderung lambat. Hingga Minggu pukul 10.00, data pilpres yang masuk baru 66,61 persen dari total 823.236 TPS dan pileg baru 51,28 persen. Padahal, penghitungan suara di TPS telah berakhir maksimal Kamis (15/2/2024) pukul 12.00.
Di sisi lain, perbedaan data antara Sirekap dan formulir C.Hasil telah mengganggu suasana sosial politik di masyarakat. Padahal, proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS relatif berlangsung lancar. Kegaduhan justru terjadi seusai penghitungan suara yang bersumber dari Sirekap.
Oleh karena itu, KIPP meminta KPU menghentikan proses publikasi di Sirekap agar tidak menimbulkan spekulasi dan keresahan di masyarakat. KPU sebaiknya mengembalikan fungsi publikasi untuk hanya menampilkan formulir C.Hasil dan C.Hasil Salinan dari semua TPS.
”KPU lebih baik fokus pada rekapitulasi manual berjenjang yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu yang digunakan sebagai basis penetapan hasil pemilu,” ucap Kaka.
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan, pihaknya juga menemukan perbedaan data antara C.Hasil dan data yang ditampilkan di Sirekap. Hingga Sabtu siang, perbedaan data untuk surat suara pilpres terdeteksi di 1.700 TPS atau 0,32 persen dari total 533,435 TPS yang masuk. Sementara untuk pileg DPR, kesalahan ditemukan di 7.473 TPS atau 1,85 persen dari data masuk 402.911 TPS.
”Ada mekanisme perbaikan data jika ditemukan ketidaksesuaian antara formulir C.Hasil dengan Sirekap,” ujarnya.
Betty menegaskan, Sirekap tidak digunakan sebagai acuan penetapan hasil pemilu. Publikasi data di Sirekap bertujuan untuk memudahkan akses informasi publik dalam mengawal suara yang telah diberikan di TPS. ”Sirekap hanya alat bantu, bukan hasil resmi rekapitulasi suara," katanya.
Sementara itu, peneliti Cyberity, Arif Kurniawan, mengatakan, hasil investigasi sistem keamanan web aplikasi Sirekap (sirekap-web.kpu.go.id) dan pemilu2024.kpu.go.id menunjukkan kedua sistem tersebut menggunakan layanan komputasi awan dengan lokasi server di China, Perancis, dan Singapura. Layanan komputasi awan tersebut dimiliki penyedia internet (ISP) raksasa Alibaba. Dengan demikian, posisi data serta lalu lintas e-mail untuk Sirekap berada dan diatur di China.
Menurut dia, data penting untuk pemilu semestinya berada di Indonesia karena menyangkut sektor publik. Ketentuan itu pun diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).
”KPU harus memperlihatkan audit keamanan dan perlindungan data agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” kata Arif.